Liputan6.com, Jakarta - Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyuarakan kritik keras terhadap kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Tindakan itu dinyatakan tak memiliki landasan hukum, politik, dan moral yang kredibel.
Ketua FPCI Dino Patti Djalal mengatakan, kudeta ini menjadi preseden buruk dalam usaha Myanmar membangun negara. Argumen militer ada kecurangan pemilu juga tak bisa menjadi pembenaran untuk merebut kekuasaan.
Baca Juga
Advertisement
"Laporan penangkapan Daw Aung San Suu Kyi dan sekutu-sekutu politiknya setelah hasil pemilihan November 2020 jelas merupakan langkah mundur dari konsolidasi demokrasi Myanmar yang sudah terkendala dalam beberapa tahun terakhir," ujar Dino Patti Djalal dalam pernyataan resmi kepada Liputan6.com, Selasa (2/2/2021).
Dino lantas mengingatkan kondisi Indonesia juga pernah seperti Myanmar. Dulu, Indonesia turut menghadapi masalah finansial, separatisme, institusi-institusi yang lemah, konflik sosial, hingga terorisme. Namun, Indonesia terus memegang demokrasi.
Militer Indonesia juga dapat meninggalkan politik dan menjadi profesional di bawah pemerintahan sipil untuk melindungi demokrasi.
"Sayangnya, pada kasus Myanmar, setelah pemilihan 2015, militer mempertahankan peran politiknya yang kuat pada sistem politik Myanmar yang rapuh, sehingga mengorbankan pembangunan demokrasi Myanmar," jelas Dino.
"Meski ada masalah-masalah politik, keamanan, dan sosial yang persisten selama beberapa tahun terakhir, Myanmar telah berkembang pesat. Ia seharusnya tidak mundur dari jalan demokrasi," ucap Dino.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Lepaskan Suu Kyi
FPCI turut meminta agar Suu Kyi segera dilepaskan. Suu Kyi ditangkap pada Senin 1 Februari dan lokasinya kini belum diketahui.
"FPCI meminta kepemimpinan militer Myanmar untuk memastikan pelepasan cepat tanpa syarat bagi Daw Aung San Suu Kyi dan rekan-rekan politiknya dan semua tahanan politik yang sedang ditangkap," ucap Dino.
Selain Suu Kyi, tokoh-tokoh partai berkuasa National League for Democracy juga ikut ditangkap, begitu pula Presiden Myanmar Win Myint. FPCI berharap agar mereka semua juga dibiarkan menyuarakan aspirasi politiknya.
FPCI menyorot bahwa NDL merupakan pemenang pemilu, sehingga otomatis mereka mewakili porsi rakyat yang besar. Maka dari itu, militer yang mengaku ingin menyelesaikan masalah negara perlu berkonsultasi dengan NDL.
"Solusi bersifat sepihak atau eksklusif tidak akan pernah menyelesaikan masalah-masalah politik mendasar di Myanmar," jelas Dino.
Advertisement
Apa Peran ASEAN?
Sejauh ini, negara-negara ASEAN belum satu suara mengecam kudeta Myanmar. Namun, FPCI menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Myanmar tidak sejalan dengan Piagam ASEAN.
Pada Piagam ASEAN, ada komitmen agar rakyat dan anggota negara ASEAN hidup dalam lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis, serta memperkuat demokrasi, pemerintahan yang baik, memperkuat hukum, melindungi HAM, dan hak-hak fundamental.
"Kami mendorong ASEAN agar terus secara kompak mendorong Myanmar agar menghidupi semangan Piagam ASEAN dan visi ASEAN Political Security Community. Sebabnya, apa yang terjadi di Myanmar itu tidak hanya penting untuk Myanmar, tetapi untuk masa depan di rumah kita bersama Asia Tenggara," jelas Dino.
Lebih lanjut, komunitas internasional, terutama ASEAN, juga diminta agar terlibat untuk mengobservasi pemilihan umum di Myanmar apabila militer mengadakannya.
"Pemilihan di Myanmar haruslah diputuskan oleh kehendak rakyat dan bukan oleh desain elit politik," ujar Dino.