Orang-Orang Cenderung Salahkan Sistem Mobil Otonomos ketika Terjadi Kecelakaan

Orang-orang cenderung lebih menyalahkan sistem kendaraan otonomos dan pabrikannya daripada pengemudi manusianya ketika terjadi kecelakaan.

oleh M Hidayat diperbarui 03 Feb 2021, 15:00 WIB
Ilustrasi mobil otonomos, mobil pintar. Kredit: Julien Tromeur via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Para ahli memperkirakan kendaraan atau mobil otonomos akan membuat jalanan lebih aman karena sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh kesalahan manusia.

Namun, untuk sampai ke tahap itu, mungkin masih perlu waktu hinggaa orang betul-betul memercayai mobil yang bisa mengemudi sendiri.

Sebuah studi baru yang terbit di jurnal Risk Analysis itu menemukan bahwa orang-orang cenderung lebih menyalahkan sistem mobil otonomos dan pabrikannya daripada pengemudi manusianya ketika terjadi kecelakaan.

Kendaraan semiotonomos, yang memungkinkan manusia untuk mengawasi kemudi otomatis kendaraan, saat ini sudah mulai mengaspal di jalanan. Sebut saja Tesla Model S 2020 dengan sistem Autopilot dan Cadillac CT6 2020 dengan sistem Super Cruise.

Studi baru ini, sebagaimana dikutip dari rilis pers via Eurekalert, Rabu (3/2/2021), menunjukkan bahwa mungkin akan muncul pertanyaan terkait kesalahan, tanggung jawab, dan kompensasi ketika kendaraan semiotonomos terlibat di dalam tabrakan.

Peneliti yang dipimpin oleh Peng Liu, seorang profesor di College of Management and Economics di Tianjin University, melakukan eksperimen untuk mengukur tanggapan para responden terhadap potensi kecelakaan kendaraan semiotonomos.

Saat kecelakaan disebabkan oleh sistem otomatis kendaraan, responden lebih banyak melimpahkan kesalahan dan tanggung jawab kepada sistem kendaraan dan pabrikannya.


Kompensasi bagi korban

Selain itu, menurut mereka, korban harus diberi kompensasi lebih banyak, dibandingkan dengan kecelakaan yang disebabkan oleh pengemudi manusia.

Mereka juga menilai kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan otomatis lebih parah dan kurang dapat diterima daripada yang disebabkan oleh manusia, terlepas dari keseriusan kecelakaan tersebut.

Liu dan rekannya menyebut bias terhadap sistem otomatis ini sebagai "menyalahkan asimetri atribusi". Ini berarti, kecenderungan orang untuk bereaksi berlebihan terhadap kecelakaan itu mungkin karena pengaruh negatif atau perasaan dan emosi yang lebih tinggi, yang ditimbulkan oleh kecelakaan itu. Emosi negatif seperti kemarahan dapat memperkuat atribusi tanggung jawab hukum dan kesalahan.

Para peneliti menunjukkan bahwa asimetri atribusi kesalahan juga dapat ditemukan di situasi serupa yang melibatkan manusia dan mesin. Misalnya, ahli bedah yang bekerja dengan robot medis dan pilot yang bekerja dengan drone.

 


Perlu perhatian regulator

Pembuat kebijakan dan regulator, menurut para peneliti, perlu memehartikan dan menyadari potensi reaksi berlebihan orang-orang terhadap kerusakan yang melibatkan kendaraan otonomos ketika mereka menetapkan kebijakan untuk menyebarkan dan mengaturnya, terutama yang berkaitan dengan kompensasi keuangan bagi korban yang terluka atau terbunuh oleh sistem kemudi otomatis ini.

"Menurut temuan kami, mereka mungkin perlu mempertimbangkan kemungkinan bahwa bagi orang awam, korban kecelakaan kendaraan otonomos harus diberi kompensasi lebih dari yang biasanya dihitung," tulis para penulis.

Kebijakan yang memungkinkan orang merasa semiotonomos "tidak aman" di jalan raya dapat menjadi bumerang karena kecelakaan tak terhindarkan yang mungkin terjadi dapat menghalangi lebih banyak orang untuk mengadopsinya. Untuk

mengubah sikap negatif hal itu, Liu berpendapat bahwa "kampanye komunikasi publik sangat dibutuhkan untuk menyampaikan informasi akurat secara transparan, menghilangkan kesalahpahaman publik."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya