Liputan6.com, Jakarta Sejak 2018 Komunitas Difalitera menyajikan cerita suara untuk para difabel netra di Indonesia melalui situs yang dapat diakses dari mana pun dan kapan pun.
Menurut pendiri Difalitera, Indah Darmastuti, ini adalah komunitas yang fokus mengubah berbagai karya sastra seperti cerita pendek, cerita anak, puisi, dan geguritan ke dalam bentuk audio.
Advertisement
Komunitas ini dibangun dengan semangat memenuhi hak baca para difabel netra yang kesulitan mendapatkan akses bacaan mutakhir dan dibacakan langsung oleh narator bukan oleh mesin.
Maka dari itu, situs difalitera.org dirancang agar mudah diakses oleh difabel netra. Dalam perancangan situsnya, pihak Difalitera melakukan banyak diskusi dengan para pengguna yakni teman netra.
“Jadi dulu, masa awal aku membangun Difalitera website-nya itu dicobakan kepada teman-teman difabel netra. Website setelah dibuat itu dibuka selama satu minggu lalu link-nya aku sebar ke teman-teman difabel netra,” ujar Indah kepada Disabilitas Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (3/2/2021).
Dalam masa percobaan tersebut, teman-teman difabel netra akan memberikan tanggapan terkait aksesibilitas situsnya. Setiap kekurangan yang ditemukan akan dilaporkan kepada pihak Difalitera.
“Jadi memang situs itu harus aksesibel bagi mereka, ketika mereka memberi masukan maka situsnya ditutup kembali untuk diperbaiki , itu kalau nggak salah sampai 3 atau 4 kali baru mereka mengatakan ini sangat akses, ringan, mudah, dan sederhana.”
Simak Video Berikut Ini
Konsultasi Hingga Kini
Pelibatan difabel netra dalam perbaikan situs Difalitera terbilang sangat penting karena mereka adalah sasaran utama dari komunitas ini.
“Sampai sekarang aku konsultasi terus, kalau ada karya baru gitu.”
Indah menambahkan, hal pertama yang dikomentari oleh difabel netra terkait situs Difalitera adalah sub menu. Pada masa awal pembukaan situs, sub menu belum tersedia, hal tersebut menyulitkan difabel netra untuk memilih cerita yang ingin didengarkan.
“Teman-teman difabel netra menginginkan di situ sudah ada menunya sendiri-sendiri, misalnya cerpen, cerita anak, dan puisi, itu sudah ada kandangnya sendiri-sendiri, itu masukan yang pertama kali diberikan kepada Difalitera.”
Selain itu, tombol-tombol seperti tombol pemutar, tombol berhenti dan lain-lain masih kurang jelas. Sekarang sudah jelas karena masukan-masukan dari difabel netra.
“Kami kan membuat karya itu untuk mereka (difabel netra) jadi benar-benar harus aksesibel bagi mereka, maka sampai sekarang pun mereka masih menjadi konsultan kami,” tutupnya.
Advertisement