Menelusuri Jejak Terakhir Potjut Meurah Intan, Singa Betina Aceh yang Wafat di Blora

Aceh dalam sejarahnya banyak melahirkan perempuan-perempuan pemberani.

oleh Ahmad Adirin diperbarui 05 Feb 2021, 06:00 WIB
Makam Potjut Meurah Intan di komplek pesarean keluarga Ki Donomochammad, Dukuh Tegalsari, Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Liputan6.com, Blora - Aceh dalam sejarahnya banyak melahirkan perempuan-perempuan pemberani. Sebut saja di antaranya Laksamana Keumalahayati, laksamana perempuan yang memimpin ribuan inong bale berperang melawan kolonialisme.

Tjut Nyak Dien, pemimpin perang gerilya melawan Belanda di pedalaman Meulaboh. Sampai Potjut Meurah Intan, yang memilih bercerai dengan suaminya, Tuanku Abdul Majid, karena menyerah kepada Belanda. Dengan menyerahnya sang suami, maka Potjut Meurah Intan melanjutkan perjuangan dengan mengajak anak-anaknya ikut berjuang melawan penjajah.

Setelah tertangkap Belanda, Potjut Meurah Intan yang bergelar Pahlawan Nasional, diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. Pahlawan bergelar Singa betina itu akhirnya wafat pada 19 September 1937 di pengasingannya.   

Makamnya di kompleks pesarean keluarga Ki Donomochammad, yang beralamatkan di Dukuh Tegalsari, Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu perjuangan Potjut.

Di tempat ini masih terdapat kijing atau batu nisan tua sepanjang 1,5 meter membujur utara-selatan. Pada kijing itu tertulis 'Potjut Mirah Intan, Wafat: 20-9-1937' dan pada satu sisi kijing yang lainnya tertulis kalimat Syahadat.

"Meurah Intan dibuang ke Jawa Tengah, tepatnya di Blora ini," kata Sugeng Wakimut (61), seorang warga yang mengaku salah satu cicit dari Potjut Meurah Intan, Kamis (4/2/2021).

Sugeng menceritakan, Potjut Meurah Intan dibuang pada zaman penjajahan kompeni Belanda. Yang diketahuinya, tokoh dari tanah rencong ini dibuang bersama puteranya yang bernama Tuanku Nurdin dan Panglima Mahmud.

Makam Potjut Meurah Intan kerap diziarahi banyak orang, baik penduduk setempat, para tokoh dari Blora, maupun peziarah yang datang langsung dari Aceh.

"Pengajian-pengajian biasanya ada setiap malam Jumat," ungkapnya.

Sugeng juga mengaku masih menyimpan sejumlah benda-benda peninggalan milik Panglima Mahmud.

Saat awak Liputan6.com berkunjung ke kompleks pemakaman itu, yang terlihat baru adalah kijingnya Potjut Meurah Intan. Belum lama ini kijing Potjut dicat warna hitam agar tampak beda dengan kijing-kijing di sekitarnya.

Di lokasi, banyak ditemui kijing makam para tokoh hebat lain dari abad 18-19. Sebagian besar kijing yang ada di sana, sudah tidak bisa terbaca lagi dengan jelas nama maupun tanggal wafatnya.

 

**Ingat #PesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Jenderal Wanita Dunia di Abad 18-19

Sugeng Wakimut saat memegangi foto Potjut Meurah Intan di kediamannya Blora kota. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Banyak versi yang menceritakan kapan Potjut Meurah Intan lahir. Ada yang menyebut lahir pada 1873 di Desa Lam Padang, Mukim VI, Laweung, Pidie. Ada pula yang menyebut lahir pada 1833 di Biheue, sebuah wilayah Sagi XXII Mukim di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. 

Berdasarkan dokumentasi yang terarsip di salah satu keturunan keluarga Ki Donomochammad, diketahui bahwa Potjut Meurah Intan dibuang ke Blora pada 1905 dan dinyatakan wafat pada 1937. Artinya, pahlawan yang dikenal dengan nama Jenderal Potjut Baren Biheue ini hidup selama 32 tahun di Blora.

Ki Donomochammad sendiri adalah seorang Penghulu Landraad (Pengadilan Negeri Blora) sejak 1914. Pada masa itu, Potjut Meurah Intan bertempat tinggal di samping Masjid Agung Baitunnur (Barat Alun-Alun Blora).

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya