Liputan6.com, Jakarta - Militer Myanmar menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan tokoh senior politik lainnya dalam kudeta 1 Februari 2021. Pihak militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun dan menjadikan Jenderal Ming Aung Hlaing sebagai pemimpin Myanmar.
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto, militer Myanmar telah mempelajari tentang bahaya internet bebas sehingga melakukan kontrol ketat.
Advertisement
UU Telekomunikasi Myanmar pada 2013 bahkan secara terbuka mengizinkan kriminalisasi aktivitas di internet atas komunikasi yang "tidak jujur" ataupun "tidak benar" menurut rezim.
Cara internet Myanmar dikontrol ketat adalah dengan melakukan pemadaman, pengawasan, serta pemblokiran internet dengan alasan menjaga keamanan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Cyber Army Myanmar
Menurut catatan Koalisi Keep It On, salah satu aksi pemadaman internet Myanmar terjadi pada 2019 di negara bagian Rakhine dan Chin. Negara bagian Rakhine adalah wilayah di mana terjadinya konflik yang masih aktif antara warga Muslim Rohingya dan militer Myanmar.
Demokrasi Myanmar yang merosot sudah menjadi sorotan di laporan Freedom House pada 2019 ketika seorang jurnalis dipenjara atas liputan investigasinya tentang Myanmar. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa militer Myanmar dituduh penyelidik PBB melakukan aksi genosida terhadap warga yang tinggal di Rohingya sejak 2017.
Dalam webinar tersebut, Juniarto memaparkan data dari NetBlocks Internet Observatory yang menunjukkan bahwa pemadaman internet mulai berlaku dan meluas di Myanmar pada Minggu 31 Januari. Keesokan harinya pada 1 Februari waktu dinihari, Aung San Suu Kyi dilaporkan tertangkap dan pemberontakan militer sedang berlangsung.
Pemadaman internet yang awalnya 75% turun menjadi 50% sampai akhirnya kembali normal lagi pada pukul 08.00 waktu setempat pada hari yang sama. Menurut Juniarto, penggunaan Facebook juga diblokir. Aksi pemblokiran tersebut adalah hambatan luar biasa untuk warga menggunakan Facebook.
"Facebook memainkan peran yang penting sekaligus rentan," jelasnya dalam webinar, Kamis (4/2/2021).
Menurut Juniarto, Facebook adalah "gudang disinformasi" untuk Myanmar. Facebook sendiri telah menghapus akun Facebook Myanmar American News dengan alasan penyebaran hoax yang sering di unggah untuk menyebarkan disinformasi tentang partai yang merupakan oposisi partai afiliasi militer.
Julianto mengatakan cyber army dari militer Myanmar juga ditakutkan. Pasukan tersebut telah dilatih di China.
Militer Myanmar juga mempunyai "Blink Hacker Group (BHG)" dan "Kachin Cyber Army" yang dioperasikan oleh Tatmadaw militer Myanmar. Juniarto juga mengatakan, yang dapat dilakukan Indonesia untuk membantu Myanmar saat ini adalah untuk membangun tekanan regional dan internasional.
Selain membangun tekanan, sambung dia, Indonesia juga dapat mendukung revisi Konstitusi Myanmar 2008 -- sebuah konstitusi yang dirancang oleh militer, serta memimpin konsolidasi demokrasi di ASEAN.
Ketua Institusi Sarinah, Eva Kusuma Sundari menambahkan, "Indonesia masih diharapkan" untuk bersuara dalam upaya untuk membantu demokrasi Myanmar.
Reporter: Paquita Gadin
Advertisement