Liputan6.com, Jakarta - Istana merespons surat yang dilayangkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terkait upaya kudeta partai berlambang mirip mercy tersebut. Surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu berisi permohonan klarifikasi terkait pejabat negara yang diduga akan menggoyangkan kursi AHY.
"Ya benar kami sudah menerima surat dari Pak AHY yang ditujukan kepada Bapak Presiden. Diantar langsung oleh Pak Sekjen Partai Demokrat," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam keterangan pers di Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (4/2/2021).
Advertisement
Pratiko tak menyebut apakah Jokowi telah membaca surat tersebut. Namun, dia mengatakan Istana tidak akan membalas surat tersebut sebab itu adalah masalah internal Partai Demokrat.
"Kami rasa, kami tidak perlu menjawab surat tersebut. Karena itu adalah perihal dinamika internal partai. Itu adalah perihal rumah tangga internal Partai Demokrat yang semuanya kan sudah diatur di dalam AD/ART," jelas Pratikno.
Langkah Istana menutup pintu klarifikasi ini disayangkan para petinggi partai. Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan menyatakan pihaknya menunggu arahan dari Presiden Jokowi.
"Sangat disayangkan. Justru PD (Partai Demokrat) mengharapkan ketegasan sikap dan arahan dari Bapak Presiden RI kita," kata Syarief kepada Merdeka.com, Kamis (4/2/2021).
Menurut dia, apa yang disampaikan oleh Demokrat ini harus disikapi oleh Presiden Jokowi.
"Justru saya mengatakan Presiden kita bersama, artinya kalau ada persoalan politik apalagi melibatkan ring satunya, maka perlu sikap dan arahan dari Bapak Presiden," ungkap Syarief.
Sementara, Wasekjen Demokrat Jansen Sitindaon menyepakati persoalan yang terkait dengan AD/ART merupakan urusan internal partai. Namun begitu, permasalahan ini juga terkait dengan pihak Istana.
"Sebagai pembantu Presiden, yang dilakukan Pak Mul (Moeldoko) Presiden tahu tidak, boleh tidak dan lain-lain yang telah kami sampaikan dalam surat. Jangan nanti pejabat lain mengikuti," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY mengatakan, telah menaruh curiga terkait gerakan pendongkelan paksa atau kudeta kursi ketua umum partai yang tengah dijabatnya. Pada awalnya, hal tersebut dinilai sebagai problem internal yang dapat diselesaikan tanpa diumbar.
AHY pun membeberkan siapa saja para pelaku gerakan pendongkelan paksa atau pengkudeta kursi ketua umum Partai Demokrat. Menurutnya, dari kesaksian para kader diterimanya dalam berita acara pemeriksaan, ada dua golongan.
Pertama, pelaku yang berasal dari kader partai dan kedua mereka yang berasal dari nonkader partai. Belakangan, nama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terseret dalam isu kudeta tersebut.
"Sedangkan non kader, adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sekali lagi sedang kami mintakan konfirmasi dan klarifikasinya ke Presiden Joko Widodo," tegas AHY saat jumpa pers di Kantor DPP Partai Demokrat yang disiarkan secara daring, Senin (1/2/2021).
Tudingan AHY ini diperkuat oleh pernyataan Ketua DPD Partai Demokrat Kalimantan Selatan, Rusian yang menuturkan, bahwa mendapatkan laporan sejumlah DPC Kalsel adanya pertemuan dengan Moeldoko di Jakarta.
Hal ini dimulai dari undangan politikus senior Demokrat Jhoni Allen Marbun (JAM) untuk datang ke Jakarta, menerima bantuan untuk korban bencana banjir di Kalimantan Selatan.
"Ada sembilan DPC, mereka diundang dan berangkat ke Jakarta berkaitan bantuan banjir. Karena diundang kader senior mereka berangkat, mereka (berangkat) tanpa sepengetahuan saya," kata Rusian pada Liputan6.com, Rabu 3 Januari 2021
Dalam laporan DPC kepadanya, pertemuan tersebut tidak membahas bantuan banjir. Melainkan terkait kelemahan-kelemahan partai. Di pertemuan tersebut juga hadir Moeldoko.
"Nah pada saat sampai di sana, ternyata pembicaraan tidak sesuai apa yang disampaikan di awal. Pembicaraan melenceng sampai mengarah soal kelemahan partai. Disana ada JAM, ada Mantan Bendum 2010 dan isial M yang berasal dari pemerintah," ungkap Rusian.
DPC langsung mengadu ke DPP Demokrat terkait pertemuan di Hotel Aston, Jakarta Selatan yang dihadiri Jhoni Allen, Nazaruddin, dan Moeldoko itu.
Saat ini, lanjut Rusian, DPC dan DPD Kalsel bersiap menunggu arahan dari DPP Demokrat.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Moeldoko Akui Bertemu Kader Demokrat
Moeldoko membenarkan adanya pertemuan dengan sejumlah kader partai berlambang bintang mercy ini. Dia menuturkan, pertemuan itu dilakukan di rumahnya dan beberapa tempat lain, salah satunya di hotel.
"Beberapa kali di rumah saya. Ya ada di hotel, di mana-mana. Tidak terlalu pentinglah. Intinya kan aku datang diajak ketemuan. Ya wong saya biasa. Di kantor saya itu, setiap hari menerima orang. Menerima berbagai kelompok di kantor saya," kata Moeldoko saat menggelar konferensi pers di rumahnya, Rabu 3 Januari 2021.
Moeldoko menyatakan pertemuan dirinya dengan siapa saja dan di mana saja adalah haknya.
"Yang marah saya suruh marah-marah. Emosimu keluarkan, marah-marah saja. Biar saya paham apa yang kalian pikirkan. Jadi apa yang salah gitu lho. Aku mau pertemuan di mana kan hak saya. Ngapain Ikut campur," ucap Moeldoko.
Moeldoko tidak membeberkan berapa kali pertemuan itu dilakukan. Ia juga tidak memberi tahu apakah ada nama-nama kader Demokrat seperti Nazaruddin dalam pertemuan tersebut.
"Ya masa saya hitung kan tidak perlu dihitung. Ya banyak, biasa kita ketemu. Saya tidak peduli ini siapa wong saya itu hanya datang aja ngobrol saja," katanya.
Selain itu, Mantan Panglima TNI itu juga enggan membahas topik pembicaraan dalam pertemuan itu. Menurutnya, hal itu urusan Demokrat. "Itu urusan intern partai lah. Kan tidak etis lah kalau saya bicara. Itu urusan partai," jelas Moeldoko.
Meski demikian, Moeldoko membantah tudingan ingin kudeta kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Dia mengakui pernah meminum kopi bersama orang partai. Moeldoko menyebut acara ngopi itu hanya informal atau acara pribadi dan tidak butuh izin dari Presiden Jokowi.
"Jadi kalau kita bicara human capital itu bukan intelektual capital yang tepat, emotional capital. Jadi tenang merespon sesuatu. Masa gua ngopi harus izin presiden? gila apa? ngopi-ngopi aja kok harus presiden, izin presiden tau? yah berlebihan, jangan begitu lah ya, biasa lah itu internal parpol. Aku orang luar ini. Enggak ada urusannya itu di dalam,” kata Moeldoko
Advertisement