Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah bakal melanjutkan beberapa program perlindungan sosial pada tahun 2021. Langkah tersebut demi mendorong program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diusung pemerintah selama pandemi COVID-19.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan, alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk tahun 2021 mencapai Rp553,1 triliun. Angka tersebut berpotensi mengalami kenaikan apabila insentif usaha sudah dimasukkan.
Advertisement
Rincian anggaran PEN adalah sebagai berikut: Yang pertama untuk Sektor Kesehatan dengan alokasi anggaran Rp 104,7 triliun. Anggaran ini dipakai untuk pengadaan dan operasional vaksin COVID-19, sarana prasarana dan alat kesehatan, biaya klaim perawatan, insentif tenaga kesehatan dan santunan kematian, serta bantuan iuran BPJS untuk PBPU/BP.
Lalu yang kedua, Anggaran Perlindungan Sosial lewat program Bantuan Sosial atau Bansos sebesar Rp150,96 triliun. Anggaran ini dikhususkan untuk Program Keluarga Harapan (PKH) bagi 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM), kartu sembako, program pra kerja, bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, bantuan sosial tunai 10 juta KPM, subsidi kuota, dan diskon listrik.
Kemudian yang ketiga mencakup program prioritas dengan anggaran Rp 141,36 triliun. Program ini demi mendukung pariwisata, terutama yang paling terdampak pandemi COVID-19 seperti hotel, restoran, serta kafe.
Program prioritas ditujukan untuk ketahanan pangan atau food estate, pengembangan ICT, pinjaman ke daerah dan subsidi pinjaman daerah, program padat karya K/L, kawasan industri, dan program prioritas lainnya.
Dan yang terakhir yaitu program dukungan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pembiayaan korporasi sebesar Rp 156,06 triliun. Anggaran ini diberikan untuk subsidi bunga KUR dan non KUR, penjaminan loss limit UMKM dan korporasi, IJP UMKM dan korporasi, pembiayaan PEN lainnya, penempatan dana, dan PMN kepada BUMN yang menjalankan penugasan seperti HK, ITDC, Pelindo III, dan KIW).
Anggaran Perlindungan Sosial atau Bansos menjadi yang terbesar dibanding program PEN lainnya. Anggaran Perlindungan Sosial tahun 2021 sebesar Rp150,96 triliun itu dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Menurut Presiden Joko Widodo, terdapat tujuh program bansos yang tetap berjalan untuk tahun ini. Pemerintah telah menyiapkan anggaran lebih dari Rp300 triliun untuk meningkatkan daya beli masyarakat di tengah pandemi COVID-19.
Tujuh program perlindungan sosial atau bantuan sosial (bansos) yang akan dilanjutkan pada 2021 antara lain; (1) Program Kartu Sembako, (2) Program Keluarga Harapan, (3)Program Bantuan Sosial Tunai, (4) Program Kartu Prakerja, (5) Bantuan Langsung Tunai Desa, (6) Insentif Tenaga Kesehatan, (7) Pemberian insentif usaha termasuk bantuan modal kerja bagi UMKM.
"Terkait pemulihan ekonomi nasional, percepatan dan kebangkitan ekonomi terus diupayakan oleh pemerintah. Pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 372,3 triliun untuk mendongkrak daya beli dan konsumsi masyarakat, serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional," jelas Jokowi dalam Sidang MPL-PGI, Senin (25/1/2021).
"Dan di tahun 2021 ini, program perlindungan sosial tetap dilanjutkan. Program Kartu Sembako, Program Keluarga Harapan, Bantuan Sosial Tunai, Kartu Prakerja, Bantuan Langsung Tunai Desa tetap dilanjutkan. Selain itu juga ada insentif tenaga kesehatan dan pemberian insentif usaha termasuk Bantuan Modal Kerja bagi UMKM agar mampu bertahan dan bergerak kembali," imbuhnya.
Namun, tahun ini tidak ada lagi program dana bantuan subsidi upah (BSU) dalam program bansos. Hal itu dikonfirmasi oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahwa BSU tahun ini tidak ada alokasinya dalam APBN 2021.
Ida mengungkapkan, pemerintah telah dan akan terus melakukan sejumlah program demi membantu pekerja di luar pemberian BSU, seperti yang dilakukan pada 2020 saat mulai pandemi COVID-19. Sebelumnya diketahui, para pekerja dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan memperoleh BSU sebesar Rp2,4 juta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga telah menyiratkan pada November 2020 untuk tidak melanjutkan BSU. Ketika itu dalam rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI, Sri Mulyani, menuturkan dugaan dia bahwa penerima bantuan subsidi upah senilai Rp2,4 juta tidak melakukan belanja atau konsumsi yang bisa mendorong perekonomian.
Sri Mulyani menyebut, hal tersebut terekam dari kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan setiap pemerintah menyetorkan bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja yang bergaji di bawah Rp5 juta dan anggota BPJS Ketenagakerjaan.
"Walau yang Rp2,4 juta kalau bayangkan teori ekonomi, pasti mereka harusnya habis untuk konsumsi. Ternyata enggak juga. Kami suspect dia kembali ke perbankan," beber Sri Mulyani dalam rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI, Kamis (12/11/2020).
Saksikan Video Berikut Ini
Tujuan Bansos
Pemberian bansos memang diharapkan mampu mendorong ekonomi dan penciptaan lapangan kerja saat pandemi. Selain itu, program perlindungan sosial juga bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat.
Lalu, yang terjadi di lapangan apakah masyarakat benar-benar merasakan adanya program perlindungan sosial? Program bansos sendiri kerap dikritik, apalagi setelah munculnya kasus korupsi yang bahkan dilakukan Menteri Sosial kala itu, Juliari Peter Batubara.
Bahkan, gara-gara korupsi bansos yang dilakukan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, diyakini membuat Indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (ICP) Indonesia 2020 mengalami penurunan tiga poin, dari 40 di tahun sebelumnya menjadi 37 poin. Tak hanya itu, posisi Indonesia juga melorot, dari sebelumnya peringkat 85 menjadi 102 dari 180 negara yang diukur IPK-nya.
Namun, pada 30 Desember 2020, Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial (Kemensos) Hartono Laras mengklaim, realisasi anggaran PEN sektor perlindungan sosial untuk tahun 2020 telah mencapai 98,54 persen atau setara dengan Rp125,35 triliun dari target Kementerian Sosial sebesar Rp127,20 triliun.
Hartono menjelaskan, secara rinci program bantuan sembako atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sudah terealisasi mencapai 97,59 persen atau setara Rp41,56 triliun dari target Rp42,59 triliun.
Sementara Program Keluarga Harapan (PKH) telah terealisasi sebesar 100 persen atau setara dengan Rp36,71 triliun. Serta Bantuan Sosial Tunai (BST) terealisasi mencapai 97,55 persen atau sebesar Rp31,58 triliun dengan target Rp32,4 triliun.
Lalu, untuk Bansos Sembako Jabodetabek telah terealisasi sebesar 98,4 persen atau setara dengan Rp6,492 triliun dari target pagu anggaran Rp6,498 triliun. Bansos beras telah terealisasi sebesar 100 persen dengan pagu anggaran mencapai Rp4,51 triliun, terakhir Bansos Tunai bagi KPM Sembako Non-PKH sudah terealisasi sebesar 100 persen dengan nilai total mencapai Rp4,5 triliun.
Kemensos di bawah Tri Rismaharini menghadapi tantangan besar memulihkan citra mereka, setelah menteri sebelumnya malah terjerat korupsi bansos. Program Bansos tahun 2021 seharusnya menjadi momen pembuktian Kemensos di bawah Tri Rismaharini mampu menyalurkannya tepat sasaran.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, bansos memang sangat diperlukan masyarakat untuk menyambung hidup di tengah pandemi COVID-19. Terlebih dalam situasi pandemi seperti sekarang di mana tidak sedikit masyarakat yang mengalami kesulitan keuangan.
"Dampak bansos besar dalam situasi seperti ini, sangat berpengaruh dan menolong masyarakat yang terdampak, apakah itu oleh bencana alam atau masalah ekonomi. Dengan adanya bansos, masyarakat bisa terbantu, bisa menyambung hidup, tidak jadi kriminal atau penjahat karena kelaparan," kata Agus kepada Liputan6.com.
Advertisement
Belum Efektif
Selama pemberian bantuan sosial atau bansos pada 2020, ternyata tujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat belum terwujud. Bahkan, untuk sekedar menahan penurunan daya beli pun tidak terjadi.
Menurut Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, sampai dengan triwulan 4 2020, penurunan daya beli masyarakat secara resisten. Bahkan, hingga Januari 2021 juga masih terjadi penurunan daya beli di masyarakat.
"Dari mana indikatornya, dari pengumuman atau rilis tentang inflasi oleh BPS kemarin (1/2/2021). Itu beberapa harga tidak mengalami perubahan, itu bukan karena stabilitasi harga, ya karena enggak ada permintaan. Dan yang mengalami lonjakan harga mulai di pangan, itu semakin memperlemah daya beli masyarakat," kata Enny Hartati ketika dihubungi Liputan6.com.
"Kedua dari indikator penjualan ritel masih negatif. Ketiga dari indeks produksi, kapasitas industri terpasang juga masih di kisaran 50-60 persen. Artinya, belum ada peningkatan produksi, karena omsetnya masih sangat rendah, karena penjualan ritelnya rendah tadi."
Enny juga melihat, selama pandemi COVID-19 menerpa Indonesia, terdapat penurunan pendapatan di masyarakat kecil terbawah. Wanita berusia 48 tahun ini menyebut, kelompok pendapatan rendah, yang tadinya rentan miskin, tergeser menjadi miskin dan jumlahnya sangat besar.
"Ini artinya apa? Artinya efektivitas dari dana-dana perlindungan sosial, termasuk di dalamnya bansos, mestinya harus efektif untuk menahan orang yang rentan miskin ke miskin," terang Enny.
"Ini ternyata terjadi peningkatan penduduk miskin yang sangat signifikan. Artinya, ya itu terkonfirmasi bahwa efektivitas dari dana bansos itu tidak optimal."
Salah satu penyebab tidak optimalnya program tersebut tidak lain adalah terjadinya korupsi dana bansos, sehingga mengurangi efektivitasnya. Selain dikorupsi, distribusi dan mekanisme dana bansos dianggap tidak terintegrasi, sehingga pemetaan dari penduduk yang menerima bansos dan tidak menerima bansos tidak terklarifikasi secara valid.
"Jadi, sebenarnya berapa sih penduduk yang mampu diintervensi daya belinya oleh pemerintah dengan mendapatkan bansos itu, sampai hari ini kan datanya tidak terintegrasi, karena programnya melalui 8 skema," paparnya. "Bisa jadi secara contoh di lapangan, ada satu keluarga yang mendapatkan beberapa skema, tapi ada yang sama sekali yang tidak mendapatkan skema bantuan, sehingga ini juga mengurangi efektivitas dari dana bansos," ucap perempuan kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah ini.
Wanita yang menyelesaikan gelar doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dengan Konsentrasi Ekonomi Pembangunan di Institut Pertanian Bogor ini berharap adanya evaluasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait data penerima bansos. Tapi, Enny menyadari evaluasi itu mungkin akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Tetapi kalau kita melihat secara makro ekonomi, sampai Januari 2021 masih terjadi penurunan daya beli masyarakat, itu sekaligus menunjukkan memang efektivitas dari dana perlindungan sosial maupun dana PEN selama 2020 itu memang tidak optimal," ujarnya.
"Artinya kalau itu tidak efektif, mestinya ada yang namanya Regulatory Impact Assessment (RIA). Dalam kebijakan itu selalu ada RIA, seberapa dampak dari sebuah kebijakan itu efektif memengaruhi target-target yang diharapkan."
Dia juga mengutarakan mengenai banyaknya kritik soal anggaran untuk program kartu prakerja. Enny menyarankan pemerintah mengevaluasi program itu, karena berdasarkan data BPS pun menyebut sudah lebih dari 60 persen yang mengikuti kartu prakerja, sekarang sudah bekerja.
"Ini kan tidak ada evaluasi. Yang terjadi malah program itu lanjut saja sampai 2021. Terus juga, dengan adanya kasus korupsi bansos, ini kan juga tidak ada evaluasi. Jadi, tetap saja, sistem dan mekanismenya sama," kata Enny.
"Kalau seperti itu, bagaimana kita berharap di 2021 anggaran yang jumlahnya sudah mulai berkurang itu. Jadi kalau 2020 itu kan bansos lebih dari Rp200 triliun, ini kan separuhnya untuk 2021. Jadi, sudah dikurangi, tapi mekanisme tetap enggak ada, yang semakin tidak efektif."
Data Bermasalah
Selama program bantuan sosial dijalankan pada 2020, masalah data menjadi sorotan. Masalah timbul ketika data yang dipakai pemerintah untuk menyalurkan bantuan tidak update.
Banyak warga yang sebenarnya berhak mendapatkan bansos, malah tidak termasuk dalam daftar penerima program ini. Malah, warga yang sudah meninggal ada yang masuk dalam daftar penerima bansos.
"Bansos efektif, asal datanya benar. Kadang-kadang datanya tidak benar. Sampai hari ini data kan belum jelas. Di daerah saya saja, bantuan pakai data 2015. Itu kan merugikan," kata Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, kepada Liputan6.com.
Menurut Agus, kalau bansos mau dilanjutkan, apapun jenisnya, yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki data. "Karena kalau datanya ngaco, itu jadi sumber korupsi. Kan sudah terbukti sebelumnya. Kalau data ngaco, itu patut diduga sengaja tidak dibenarin, supaya bisa korupsi."
Ia menjelaskan, berdasarkan Perpres Nomor 39 tahun 2018, mengumpulkan data sebenarnya adalah tugas dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
"Jadi, namanya Satu Data Indonesia di Bapennas. Tapi, sampai sekarang tidak jelas juga kelanjutannya. Lalu apa gunanya ada Perpres. Data sebenarnya bisa saja disusun Kementrian Sosial atau Kementrian Keuangan, tapi kan by Perpres itu ada di Bappenas. Ya, itu harusnya dikerjakan dulu," ucap dia.
Sementara menurut Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, perbaikan skema untuk program bantuan sosial bisa dimulai dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Enny meminta hal itu diperbaiki oleh pemerintah agar bansos tepat sasaran.
"Jadi, kalau datanya tidak terpadu dan tidak valid, ya susah untuk menargetkan atau berharap bahwa intervensi program-program itu akan tepat sasaran," ujar Enny.
"Sudah ada permintaan dari bawah (bottom up) itu meng-update data. Misalnya dari RT/RW sampai kelurahan sudah di-update, tapi begitu dana itu turun, itu enggak dipake. Yang dipakai itu data lama lagi, banyak yang sudah meninggal, banyak yang sudah pindah, dan sebagainya. Artinya, data ini masih bermasalah."
Enny mengatakan, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi basis utama dalam memperoleh data yang lebih baik untuk penerima bansos. Apabila tidak ada perbaikan dari data DTKS, program akan tumpang tindih lagi dan tidak terintegrasi.
"Misalnya, DTKS sudah rapi dan terintegrasi, siapa yang mendapatkan melalui jalur A, misalnya jalur bantuan langsung tunai. Terus siapa yang sudah mendapatkan dari Banpres (Bantuan Presiden). Siapa yang sudah mendapatkan dari sembako. Siapa yang sudah mendapatkan program lain dan sebagainya, begitu. Jadi terukur. Yang menjadi target itu terukur dan yang diintervensi juga jelas," beber wanita yang pernah menjadi staf ahli Komisi X DPR RI pada 2007-2010 ini.
"Kalau seperti itu, di-mapping dengan terkoordinasi seperti itu, maka ketahuan dan terukur juga nanti dampak dari setiap program. Kalau ini kan nanti saling lempar kesalahan, kalau berhasil semua mengakui, tapi kalau ketidakberhasilan, semua saling menyalahkan."
Advertisement