Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang lain termasuk dalam hal menikah. Menurut aktivis disabilitas asal Bandung, Handayani, menikah baginya bukanlah semata untuk memiliki keturunan.
Perempuan penyandang polio ini sempat mendapat stigma dari keluarga suami terkait pernikahan. Keluarganya sendiri mendukung untuk menikah, tapi keluarga suami sempat menyarankan untuk menikah karena ada berbagai kekhawatiran terutama terkait masalah ekonomi.
Advertisement
Sang suami juga penyandang disabilitas polio, tapi lebih parah darinya. Perempuan yang akrab disapa Teh Yani itu termasuk penyandang disabilitas ringan karena polionya hanya memengaruhi satu kaki, sedang polio pada suami memengaruhi kedua kakinya sehingga harus menggunakan kursi roda.
“Setiap keluarga itu beda-beda, ketika anaknya memiliki disabilitas berat ya banyak ketakutan, tapi kalau disabilitas seperti saya, keluarga malah mendukung agar di masa tua ada yang megurus,” ujar Yani kepada Disabilitas Liputan6.com, Senin (1/2/2021).
Ia menambahkan, setiap orang memiliki tujuan hidup dan menikah itu bukan berarti harus memiliki keturunan.
“Dengan menikah kita bisa berbagi, kalau hidup sendirian terus kan gimana," katanya.
Simak Video Berikut Ini
Dikaruniai Dua Anak
Setelah menikah dengan suami, Yani akhirnya dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan, yang kini tengah beranjak remaja.
Ibu yang hobi kuliner ini juga melihat kedua anaknya berkembang dengan baik dan memiliki kesadaran yang baik pula terkait kehidupan disabilitas. Sebagai non disabilitas, kedua anak Yani cenderung lebih berperilaku inklusif ketimbang anak-anak pada umumnya.
Hal ini dikarenakan mereka tumbuh bersama orangtua disabilitas yang mengajarkan kesetaraan. Secara otomatis jiwa sosial mereka juga terbangun sejak dini.
“Anak saya yang perempuan suka ikut kalau saya melakukan kunjungan ke teman-teman disabilitas. Kalau anak saya kesadarannya lebih karena sudah lihat keseharian saya.”
Tak jarang, kedua anaknya mendapatkan pertanyaan-pertanyaan atau bahkan cemoohan yang seharusnya tidak dilayangkan. Keduanya memiliki cara yang berbeda untuk menghadapinya.
Jika anak perempuan ditanya tentang disabilitas orangtuanya, maka ia akan menjawab dan menjelaskan kondisi disabilitas fisiknya.
Namun, sempat juga terjadi masalah ketika anak laki-lakinya mendengar hinaan yang dilayangkan kepada sang ayah. Perkelahian pun tidak terhindarkan dan pada akhirnya ia pindah sekolah.
“Selalu pihak disabilitas itu yang disalahkan, akhirnya untuk mengamankan anak, saya pindahin aja (sekolahnya).”
Advertisement