Liputan6.com, Jakarta - Menyatukan dua entitas berbeda dalam relasi intim, entah pacaran atau pernikahan, tentu tak selalu mulus. Sebagai manusia yang punya akal dan budi, memproses realitas berujung pada pandangan pribadi kerap berbeda, dan akhirnya menimbulkan cekcok.
Tapi, di tengah pemakluman situasi, Anda tetap harus bisa membedakan antara pertengkaran normal dengan kekerasan verbal. Mengidentifikasi mana yang termasuk dalam kekerasan verbal bisa jadi langkah awal pemahaman tersebut.
Menurut Cantyo A. Dannisworo, Psikolog Klinis Yayasan Pulih, kekerasan verbal biasanya merujuk pada pengucapan kata-kata yang menyakiti, menyinggung, bahkan merendahkan. Tapi, dalam konteks berbeda, kekerasan verbal juga bisa terjadi dalam lingkungan sosial.
Baca Juga
Advertisement
Identifikasi umumnya, ini terjadi antara dua pihak yang berbeda secara kedudukan. "Salah satunya itu punya 'power'," katanya dalam Campus Online Talkshow Series "Relasi Asik Nggak Toksik," Jumat (5/2/2021).
Dannis menjelaskan, kekerasan verbal hanya satu dari beberapa tindakan kekerasan yang mengidentifikasi seseorang berada dalam hubungan toksik. Ada juga kekerasan fisik, perlakuan berbeda dengan kekerasan verbal yang lebih menyasar psikis.
Kemudian, kekerasan seksual, di mana hubungan seksual terjadi dalam persetujuan kedua pihak terlibat. Lalu, kekerasan ekonomi. "Ini termasuk diperas, dipaksa untuk 'menafkahi', maupun desakan membelikan barang," ungkap Dannis.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ambil Tongkat Estafet Perangi Kekerasan Seksual
Edisi perdana Campus Online Talkshow Series ini merupakan bagian rangkaian program kampanye "Stop Sexual Violence" gagasan The Body Shop Indonesia. Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual bisa diibaratkan seperti gunung es.
"Baru sebagian kecil saja yang muncul ke permukaan. Karena untuk bisa melapor, bahkan membagi ke teman saja prosesnya tak mudah. Merujuk pada data yang kami terima, termasuk dari Komnas Perempuan, akhirnya memutuskan harus bergerak sebagai brand," ungkapnya di kesempatan yang sama.
Salah satunya direfleksikan dengan mendesak segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). "Semua NGO, komunitas, sudah bergerak sejak lama. The Body Shop hanya sedang mengambil tongkat estafet untuk melanjutkan perjuangan ini," tuturnya.
Brand yang sudah ada sejak 1976 ini, kata Maya, memang tak sekadar membuat produk kecantikan, namun juga punya misi membawa dampak baik bagi komunitas dan lingkungan. Maka dari itu, hal-hal bersifat advokasi sudah jadi bagian operasionalnya.
"Kami mulai dengan mengedukasi, dari karyawan, pelanggan, hingga membuat petisi yang nantinya akan dibawa ke komisi VIII DPR supaya RUU PKS segera disahkan," tandasnya.
Advertisement