Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menyayangkan dan mengkritisi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri soal Seragam dan Atribut Sekolah Negeri.
Guspardi mengatakan keputusan yang mengatur tentang penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) tidak bijak dan berpotensi memicu kontroversi.
Advertisement
"Masih banyak persoalan dunia pendidikan yang lebih esensi untuk diprioritas. Seperti pembelajaran daring (jarak jauh) akibat Covid-19 untuk murid-murid di daerah terpencil dan tertinggal yang tidak ada aliran listrik dan jaringan internetnya," ujar Guspardi dalam pesan singkat kepada merdeka.com, Sabtu (6/2/2021).
Ikuti cerita dalam foto ini https://story.merdeka.com/2303605/volume-5
Politikus PAN ini juga meminta persoalan tersebut segera dituntaskan. Sebab menurutnya masih banyak sekolah yang belum menyelenggarakan belajar tatap muka.
"Kebijakan yang di terbitkan bersama oleh Mendikbud, Menag dan Mendagri disebabkan satu kasus merupakan sikap pemerintah yang gagal paham dalam menyikapi persoalan dan sangat berlebihan," ungkapnya.
Guspardi juga menilai peraturan tersebut tidak bijak untuk diberlakukan di seluruh Indonesia dan dapat menimbulkan kontroversi.
"Karena 'membebaskan' para peserta didik yang notabene belum dewasa itu, untuk 'boleh memilih' seragam dan atribut tanpa atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama," ungkapnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dorong Perserta Didik Berpikir Liberal
Dia pun mengkhawatirkan peraturan tersebut akan menggiring dan mendorong para peserta didik berpikir liberal. Sebab dia menilai cita-cita pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dia pun menilai aturan tersebut akan mengkebiri terkait peraturan otonomi daerah no 32 /2004 dan diamandemen dengan UU no 12/2008.
Kewenangan pengaturan dan tata cara berpakaian di sekolah tersebut, kata dia seharusnya diatur oleh pemerintah daerah, bukan oleh pemerintah pusat.
"Karena pemerintah daerah yang lebih memahami keberagaman adat budaya dan kearifan lokal di masing-masing daerahnya. Yang tidak boleh itu adalah 'pemaksaan' bagi siswa yang berlainan keyakinan untuk memakai atribut tertentu diluar keyakinan agama yang dianutnya," bebernya.
Reporter: Intan Umbari Prihatin
Sumber: Merdeka
Advertisement