57 Persen Perusahaan Jepang Siap Ekspansi di Vietnam, Indonesia Kurang Peminat

Survei membuktikan perusahaan Jepang lebih tertarik untuk ekspansi di Vietnam. Indonesia terpantau kurang peminat.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 08 Feb 2021, 07:00 WIB
Presiden Joko Widodo bersama Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga (kiri), sama-sama mengenakan masker sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19, mendengarkan lagu kebangsaan saat upacara penyambutan di Istana Bogor, 20 Oktober 2020. (Laily Rachev/Indonesian Presidential Palace via AP)

Liputan6.com, Tokyo - Survei menunjukan minat perusahaan Jepang di berbagai negara Asia Tenggara untuk ekspansi. Vietnam menjadi primadona, sementara Indonesia termasuk yang peminatnya kurang.

Berdasarkan survei Pasona Group pada Desember 2020, sebanyak 57 persen perusahan Jepang di Vietnam berminat untuk ekspansi, selain itu India ternyata juga populer dengan 55 persen perusahaan ingin ekspansi.

Menurut laporan Kyodo, Minggu (7/2/2021), survei itu menunjukan bahwa perusahaan Jepang ingin melepas ketergantungan dari China. Pada survei itu, sebanyak 67 persen perusahaan Jepang di Hong Kong juga tak minat ekspansi.

Surutnya minat di Hong Kong terjadi setelah pemerintah China menerapkan UU Keamanan Nasional yang dinilai represif terhadap kebebasan di Hong Kong.

Selain Vietnam, negara Asia Tenggara yang diminati perusahaan Jepang untuk ekspansi adalah Thailand dengan 50 persen perusahaan ingin ekspansi.

Indonesia termasuk yang kurang peminat. Hanya 44 persen perusahaan Jepang dalam negeri yang ingin ekspansi. Hal itu juga dialami Singapura (35 persen) dan Malaysia (36 persen).

Load More

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Perusahaan di Luar ASEAN

Orang-orang yang memakai masker wajah untuk membantu mengekang penyebaran COVID-19 berjalan menaiki tangga luar ruangan di Tokyo, Jepang, Kamis (4/2/2021). Tokyo mengonfirmasi lebih dari 730 kasus baru COVID-19 pada 4 Februari 2021. (AP Photo/Hiro Komae)

Di Korea Selatan, ada total 47 persen perusahaan Jepang yang ingin ekspansi, sementara di Taiwan ada 43 persen.

Ekspansi di dua negara barat yang disurvei juga rendah. Di Kanada hanya 45 persen, sementara di AS hanya 37 persen.

Terkait COVID-19, 30 persen perusahaan Jepang di Thailand telah melakukan downsizing terhadap staf, atau berencana melakukannya dalam tiga bulan ke depan.

Hal yang sama diungkap oleh 28 persen perusahaan di Malaysia dan 22 persen di Hong Kong. Rata-rata, 16 persen responden perusahaan Jepang melakukan hal serupa.

Tren remote working, serta naiknya harga lahan, juga membuat perusahaan tertarik melakukan downscaling pada kantor-kantor. Setidaknya 15 persen firma di Hong Kong, Singapura, dan Indonesia berkata tertarik melakukannya.


Ekonomi Indonesia Baru Bisa Pulih 2 Tahun Lagi

Deretan gedung perkantoran di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pada kabar lain, Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, menganggap penanggulangan pandemi Covid-19 saat ini berjalan lambat dan tidak maksimal. Imbasnya, Piter mengatakan, pemulihan ekonomi yang kini banyak digadang-gadang bakal ikut berjalan lambat dan baru terasa hasilnya dua tahun lagi.

"Kita bisa pulih kembali ke pertumbuhan ekonomi bisa dua tahun lagi," kata Piter kepada Liputan6.com, Jumat (5/2/2021). 

Menurut dia, krisis pandemi Covid-19 secara natural nantinya pasti akan berakhir. Tapi proses tersebut diperkirakan akan berlangsung lama.

"Demikian juga dengan ekonomi, pasti akan pulih mengikuti berakhirnya pandemi," sambung dia.

Oleh karenanya, ia berpendapat strategi terbaik saat ini adalah mempercepat penanggulangan pandemi virus corona, yang secara angka kasus positif masih terus meningkat.

"Sesederhana itu. Selama pandemi masih berlangsung ekonomi tidak akan bisa pulih. Fokus dulu ke penanggulangan pandemi. Saat ini Kita belum fokus, belum habis-habisan menanggulangi pandemi," cetusnya.

Dia lantas mencontohkan, pemerintah kerap abai melakukan penelusuran (tracing) di setiap kasus positif Covid-19 yang terjadi.

"Kita tidak melakukan tracing setiap kasus terjadi agar kita bisa mengisolasi mereka yang memang positif. Isolasi itu harusnya untuk yang positif, jadi menentukan orang yang positif itu harus diutamakan," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya