Kesunyian Benteng Kuta Batee Aceh, Heroisme dan Pengkhianatan di Baliknya

Liputan6.com melakukan perjalanan menembus kawasan barat selatan Aceh untuk melihat langsung Benteng Kuta Batee, sebuah peninggalan kerajaan yang pernah berdaulat pada masanya. Simak pula kisah-kisah yang ada di balik benteng tersebut, sebagai berikut:

oleh Rino Abonita diperbarui 09 Feb 2021, 11:43 WIB
Pengait meriam Benteng Kuta Batee (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Matahari baru saja melewati masa puncaknya siang itu. Sementara, kendaraan mulai memasuki jalan setapak yang bersisian dengan rumah-rumah penduduk serta semak belukar.

Di dalam mobil, kompilasi lagu-lagu band Indonesia yang pernah hit beberapa dekade lalu, mulai menjejal memori. Lagu berjudul Rasa yang Ari Malibu, vokalis Last Few Minute (LFM) bawakan, terasa begitu kuat sejak memasuki verse.

"Temaram malam jadi hening tanpa kehadiranmu."

Pada akhirnya, celetukan-celetukan berisi kelakar untuk membunuh rasa bosan mengisi suasana. Tidak terasa, puncak dinding benteng yang menjadi tempat tujuan mulai terlihat di kejauhan.

Kendaraan pun melaju bersisian dengan dinding beton tersebut, berjalan lurus hingga mencapai sebuah pintu yang berada di sebelah selatan. Sebelum mendapati pintu, kendaraan berpapasan dengan 2 buah plang milik kementerian yang memuat keterangan tentang situs cagar budaya.

Pintu tersebut bukanlah gerbang benteng. Portal utama berada di sebelah barat, berhadap-hadapan dengan laut, di mana kendaraan harus mengambil jarak setengah mengelilingi benteng untuk mencapai gerbang tersebut.

Pada permukaan dinding pintu tadi terdapat tulisan tangan dari cat minyak yang isinya menerangkan nama sekaligus wilayah administrasi di mana benteng tersebut berada. Jika teliti, akan tampak tulisan yang lebih kecil di permukaan tiang yang menghubungkan sisi dinding pintu yang berada di selatan dengan dinding sebelah timur yang sebelumnya kendaraan lewati.

Isinya, "barang siapa yang menganggu lokasi atau di dalam benteng ini terbukti melakukan jeruji besi siap menunggu." Selain itu. terdapat pula garis-garis berpalang mirip jerjak penjara yang tampaknya bertujuan untuk menegaskan maksud dari tulisan tersebut.

Pintu masuk ini bersemuka dengan barisan sejumlah rumah penduduk. Sebagian dari rumah tersebut telah rusak sama sekali termakan usia serta terkesan seperti rumah di kota-kota tua yang tidak berpenghuni.

Melalui pintu tersebut akan terlihat hamparan padang rumput yang sangat luas berwarna hijau keemasan, yang menyambut dengan sunyi. Sebuah bangunan mirip bunker pun menyembul di atas bentangan babut alam tersebut.

Semakin berjalan ke dalam akan semakin terlihat bahwa di tempat itu terdapat sumur tua berukuran besar yang mengendap di antara rerumputan. Tinggi bibir sumur ini bahkan tidak melebihi tinggi rumput-rumput yang ada di sekelilingnya.

Tanpa bunker, sumur, serta sebuah bongkahan beton, benteng ini akan terlihat kosong melompong. Hanya berupa dinding beton sebanyak 4 sisi yang memanjang lebih dari 50 meter dengan hamparan padang rumput yang sangat luas.

Tinggi masing-masing dinding benteng boleh jadi mencapai 4 meter, yang memiliki lantai dengan tinggi setengah dari dinding serta ketebalan kira-kira 1 meter. Di sepanjang dinding terdapat lubang setengah lingkaran yang bisa memuat satu bahu manusia serta sebuah lubang yang berukuran jauh lebih kecil di sampingnya.

Misri A Muchsin, profesor salah satu kampus di Aceh yang pernah menulis tentang benteng tersebut, mengatakan bahwa lubang-lubang tadi merupakan tempat untuk menaruh laras meriam. Sementara, lubang yang lebih kecil berfungsi sebagai lubang intip atau teropong untuk mengetahui di mana posisi musuh berada.

Gapura benteng sendiri berada di seberang pintu masuk tadi. Gerbang utama ini berbentuk beton padat serta memiliki ceruk hampir sebesar lubang yang sebelumnya terdapat di dinding benteng.

Kesan gagah serta kokoh muncul saat mendongak ke gapura tersebut. Ini adalah kesan yang sama, yang tertulis di dalam sejumlah narasi sejarah mengenai kerajaan berdaulat di balik keberadaan benteng tersebut.

Simak video pilihan berikut ini:


Kemunculan Raja Pertama

Gapura Benteng Kuta Batee, tampak dari dalam (Liputan6.com/Rino Abonita)

Alkisah, tersebutlah seorang mubalig lagi cerdik cendekia bergelar Labai Djakfar, yang mengajarkan agama Islam ke pelbagai tempat di dalam negeri. Ia merupakan keturunan Ja Thahir, ulama asal Baghdad yang hijrah ke Asia Tenggara kemudian menetap di Pedir atau Pidie saat ini.

Lelaki bernama Tengku Jakfar itu memperkuat ilmu agama dengan cara belajar dari seorang guru kesohor. Ia pun beristikamah dengan ilmunya sambil terus mengembara serta mengajar agama dari satu tempat ke tempat yang lain.

Setelah mengabdi di Susoh hingga mendapat gelar sebagai Tengku Singkil ketika menetap serta mengajarkan agama di jalur barat Sumatera, Tengku Jakfar pun membuka sebuah kebun di dataran utara Singkil. Pilihannya adalah lada.

Kebun lada yang ia bangun pada hari itu merupakan cikal bakal terbentuknya kerajaan yang kelak akan ia pimpin sendiri bernama Trumon. Trumon merupakan sebuah negeri dengan pangestu gemah ripah loh jinawi dari Sang Pencipta.

Melalui usaha Tengku Jakfarlah Trumon bersulih jadi sebuah kerajaan yang jaya berkat perniagaan yang berfokus pada lada, karet, sarang burung, dan kapur barus. Dalam perjalanannya, kerajaan ini telah mendapat pengakuan sebagai kerajaan berdaulat dari kesultanan Aceh Darussalam bahkan memiliki tera sendiri selain berstatus sebagai anak kerajaan atau negara bagian dari kesultanan.

Trumon pun memiliki sejumlah negeri bawahan yang sebelumnya Tengku Jakfar bangun. Para hulubalang yang ia beri kuasa untuk memimpin negeri-negeri tersebut adalah keturunannya sendiri.

Ketika Kerajaan Trumon mulai menyuplai hasil bumi ke pelbagai tempat bahkan sampai ke luar negeri maka tinggal menghitung hari sampai namanya mendapat perhatian dari bangsa lain, seperti, Eropa, Asia kecil, India, dan China. Pendatang pun mulai berdatangan ke wilayah Trumon sementara kerajaan lambat laun mulai membangun armada yang mapan.

Salah satu bukti kekuatan ekonomi kerajaan pada masa itu dapat orang lihat dari keberadaan bangunan mirip bunker yang terdapat di dalam benteng. Menurut Misri, bunker tersebut sesungguhnya merupakan tempat percetakan mata uang yang berlaku di negeri tersebut serta menjadi alat tukar yang sah dengan pihak lain.

Puluhan lubang laras meriam yang terdapat di sekeliling benteng juga menjadi bukti bahwa Trumon merupakan sebuah kerajaan yang memiliki pertahanan dengan alutsista modern. Essi Hermaliza dan Abdul Manan dalam jurnal berjudul Tradisi Mengambil Madu Lebah Buloh Seuma Kabupaten Aceh Selatan menulis bahwa kerajaan ini mulai tertatih di masa penjajahan pada periode kepemimpinan Tengku Raja Nasruddin.

Belanda menangkap lantas mengasingkan sang raja karena suatu sebab dan penggantinya adalah Teuku Raja Lek, yang terpilih atas saran mereka. Di masa-masa kelam seperti itulah seseorang dari keturunan raja muncul sebagai lawan yang akan membikin Belanda ketar-ketir.


Masa Kelam

Bunker tempat yang oleh Misri merupakan tempat percetakan uang kerajaan (Liputan6.com/Rino Abonita)

Terpilih sebagai raja berkat campur tangan Belanda tidak bikin Tengku Raja Lek jadi seorang pengumpak yang berkhianat dari perjuangan. Diam-diam dirinya mendukung perlawanan dari atas kursi kerajaan yang hendak Belanda jadikan boneka.

Demi mengambil hati Tengku Raja Lek, Belanda mengangkatnya sebagai wakil mereka dengan pangkat Zelfbestuurder. Pangkat tersebut merupakan satu-satunya pangkat yang pernah mereka berikan kepada seseorang di negeri itu.

Untuk memperdalam cengkeraman taring kolonialisasi atas negeri Trumon, Belanda pun mengganti bendera kerajaan dengan bendera mereka. Apa mau, kerajaan Trumon yang dulu berdaulat kini tak lebih dari sekadar nama.

Tidak butuh waktu lama bagi Belanda untuk mengintervensi seluruh urusan pemerintahan di tempat itu. Hanya pada bagian budaya dan agama saja mereka tidak ikut campur kendati kedua hal tersebut tetap berjalan di bawah pengawasan.

"Rakyat Trumon sudah tidak sabar lagi, fisabillah mulai dikobarkan di setiap penjuru negeri, sehingga terjadilah penyergapan-penyergapan terhadap marsose-marsose Belanda setiap memasuki wilayah negeri Trumon," tulis Misri.

Tengku Raja Lek tentu tahu siapa orang-orang yang berada di balik penyergapan-penyergapan tersebut. Ia dan beberapa petinggi memang telah merestui tindakan rakyatnya.

Dirinya bahkan hadir di dalam sebuah rapat adat terbatas yang berlangsung secara klandestin bersama para pemuka rakyat serta petinggi. Yang hadir pada saat itu hanyalah orang-orang tepercaya karena raja telah mencium adanya musuh di dalam selimut yang berasal dari orang-orang kerajaan sendiri.

Semua yang hadir di dalam rapat menyatakan sikap akan berjuang mengusir serta menentang kegiatan Belanda di negeri Trumon. Selain membantu biaya perjuangan, raja akan menolak permintaan kompeni untuk membeli atau menyewa sebuah desa bernama Seuleukat yang berpotensi memperteguh kekuatan musuh di daerah itu.

Jauh-jauh hari Belanda sudah berniat membangun benteng pertahanan di desa yang ingin mereka beli atau sewa tadi. Jika itu terjadi, kekuasaan musuh akan semakin kokoh apalagi Belanda akan mendirikan pangkalan armadanya.

Untuk memperkuat barisan pejuang, raja pun menyuruh bawahannya untuk menemui Teuku Cut Ali serta memintanya agar ikut serta membantu gerakan yang sedang mereka rencanakan. Kelangsungan negeri berada di pundaknya, kata sang penyampai pesan kepada Tengku Cut Ali.


Kesatria dari Trah Raja dan Pengkhianat

Dinding dengan undakan Benteng Kuta Batee (Liputan6.com/Rino Abonita)

Demikian besar harapan kepada Tengku Cut Ali, cucu Tengku Nyak Dhien, satu di antara para raja yang pernah memegang tongkat purbawisesa kerajaan itu. Raja bahkan berjanji akan menobatkan dirinya sebagai panglima di dalam gerakan pengusiran Belanda yang tengah mereka agendakan selain akan menyokong biaya peperangan sebanyak yang mereka butuhkan.

Mendengar titah dari raja, pejuang itu pun menerima dengan penuh kesadaran bahkan tanpa embel-embel sebagai panglima sekalipun. Pangkat tidaklah penting bagi Tengku Cut Ali karena dirinya telah mengobarkan api perlawanan jauh sebelum amanah raja datang.

"Tidak diangkat menjadi panglima pun kami beserta kawan-kawan telah bertekat mengusir 'kapehe' dari negeri pusaka ini," jawabnya kepada utusan raja, tulis Misri di dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh tahun 2019 itu.

Skenario perang yang akan mereka lakukan tidak boleh berlangsung dengan cara hantam kromo. Atas nama raja, utusan tersebut memberitahukan beberapa strategi yang mesti Tengku Cut Ali lakukan agar berbagai serangan yang akan mereka lakukan tidak tercium sebagai persengkolan antara kerajaan dengan kelompok pejuang seperti yang pernah terjadi pada masa raja sebelumnya.

Antara lain, Tengku Cut Ali cum suis tidak boleh melakukan serangan yang nantinya akan memancing perang di wilayah kerajaan. Ini demi menghilangkan pemusatan perhatian musuh ke wilayah Seuleukat.

Hal yang paling menarik dari strategi serta taktik untuk membuat Belanda benar-benar tidak curiga dengan persengkokolan raja dan kelompok pejuang yaitu menyuruh para pejuang menyerang istana sang raja. Dengan catatan, tidak boleh sampai memasuki istana karena di sana telah ada penjaga yang siap mengonter serangan.

Sebagai gerilyawan ulung, Tengku Cut Ali memiliki banyak taktik. Misri bahkan mengulasnya dalam subjudul tersendiri mengenai kemampuan berperang dari lelaki yang lahir di Kuta Baro itu.

Di antaranya adalah taktik unik di mana Tengku Cut Ali suka mengirimkan surat ke bivak Belanda berisi tantangan berkelahi secara jantan yang ia tujukan kepada pimpinan pasukan musuh. Tujuannya mungkin lebih kepada olok-olokan sekaligus menganggu mental lawan.

"Saya berada di sini dengan 80 serdadu dan kalau tuan tidak datang maka lebih baik tunggu di rumah saja," ajaknya.

Mendapat tantangan terbuka seperti itu, sang perwira bukannya naik pitam tapi malah takut bahkan tidak berani keluar barak untuk melakukan patroli. Misri mengutip kisah strategi unik Tengku Cut Ali ini dari buku H C Zentgraaff berjudul Aceh.

Dalam rentetan perang yang Tengku Cut Ali cs lakukan, salah satu yang terkenal adalah Kelulum. Kelulum adalah nama pohon di mana Kapten J. Paris tewas.

Kabar tewasnya J. Paris mengejutkan pemerintah Belanda yang ada di Kutaraja. Mulai saat itu, Belanda mulai mengonsentrasikan pemburuan terhadap Tengku Cut Ali serta orang-orangnya.

Di saat yang sama, Tengku Cut Ali sedang terluka akibat pertempuran yang berlangsung sebelum peristiwa Kelulum. Dia pun mesti bersembunyi di tempat yang betul-betul tidak tertangkap oleh Belanda dan para mata-matanya dengan taktik nomaden.

Istri Tengku Cut Ali ikut bersembunyi karena telah bocor informasi bahwa Belanda akan menculiknya jika mereka belum juga menemukan panglima para pejuang. Strategi memanfaatkan keluarga seperti itu memang jadi salah satu taktik andalan kompeni agar orang yang sedang mereka buru mau menyerahkan diri.

Orang yang memimpin pemburuan adalah Kapten Gonsenson, seorang kapten yang dengan senang hati menyiksa para penduduk yang menurutnya menutup-nutupi keberadaan Tengku Cut Ali. Namun, penganiayaan tersebut tetap tidak berhasil membuat penduduk buka mulut.

Belanda mulai bermain dengan cara licik. Mereka menawarkan hadiah yang cukup menggiurkan kepada siapa saja yang berani memberi tahu di mana Tengku Cut Ali berada, walhasil, seseorang berjuluk Panglima Itam pun menunjukkan lokasi persembunyian orang yang sedang mereka cari-cari tersebut sehingga hayat sang panglima sagi pun berakhir di ujung bedil karena perbuatan khianat tadi.

"Ada yang katakan, itu enggak  lengkap, kepalanya saja yang ada di Kandang, Kluet Selatan. Ketika ia berhasil dibunuh oleh Belanda kepalanya yang dipotong, sementara, badannya di Terbangan," demikian tuturan singkat Misri tentang kematian Tengku Cut Ali, ketika Liputan6.com menghubunginya belum lama ini.


Kematian yang Tragis di Dekat Sungai Mungkai

Hamparan padang rumput yang ada di dalam benteng (Liputan6.com/Rino Abonita)

Gonsenson telah menunggu hari di mana ia akan menghabisi Tengku Cut Ali. Setelah mempelajari peta kekuatan lawan dengan baik-baik, ia dan pasukan pun berangkat dengan tujuan Alue Bebrang seperti petunjuk dari Panglima Itam.

Hari itu, Basyah, seorang penebang kayu di pinggiran hutan terkejut dengan kedatangan pasukan Belanda yang tiba-tiba menghampirinya. Basyah pun ketakutan alang kepalang oleh pertanyaan beserta ancaman dari pimpinan para marsose itu.

Ia pun lekas-lekas menjawab bahwa memang benar ada sekelompok orang yang beberapa waktu ini tinggal di dekat Mata Ie Krueng Meukob atau Sungai Mungkai persis yang Gonsenson ingin ketahui. Jawaban jujur tadi sama sekali tidak ia sadari akan mencabut nyawa orang-orang tersebut.

Hatta maka, suara senapan pun menyalak di keheningan menandai datangnya mair. Orang yang terakhir syahid adalah Tengku Cut Ali karena sempat melawan dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki kendati tubuhnya sekarat.

Takada gambaran bagaimana Tengku Cut Ali bangkit melawan hingga detik-detik paling gawat sebagai manusia yang bahkan sedang terluka akibat palagan yang sebelumnya ia lalui pada hari itu. Takada pula yang dapat menggambarkan seperti apa amarah Tengku Cut Ali ketika mengetahui bahwa sang istri, Fatimah, telah lebih dulu roboh bersimbah darah bersama bakal bayi mereka.

Tengku Cut Ali mungkin bukan lagi sedang bertempur untuk asa agama atau kerajaan yang kelak meninggalkan salah satu situs sunyi tak terurus di pantai Keude Trumon bernama Kuta Batee. Dalam bayang-bayang sang maut tersebut, mungkin dirinya hanya ingin mempercepat jalannya kematian karena takut tertinggal selangkah dari istri, anak, dan para sahabat yang tengah menunggunya dengan mahkota dari yakut.

Sebagai catatan, narasi yang menceritakan bahwa Tengku Cut Ali syahid ketika menjadi buronan seperti di atas adalah versi cerita yang tertuang dalam buku Beknopt Overzicht van de krijgsgeschhiedenis van Tapa’ Toean en de Zuidelijke Atjehsche landschappen (Korps Marechaussee Atjeh, 2 April 1890--1940) hasil terjemahan Aboe Bakar. Versi yang lain menulis bahwa ia syahid di tangan Kapten J Paris, kapten kesohor, yang dalam versi sebelumnya tewas oleh peristiwa Kelulum.

Kala itu, 26 Mei 1927, di bawah pimpinan pasukan Kapten J Paris, pihak Belanda berhasil mencium sebuah rencana penyerangan yang Tengku Cut Ali cs akan lakukan di kawasan Terbangan, Kecamatan Pasie Raja. Tak pelak lagi, pertempuran antara kedua pihak pun berlangsung sangat sengit.

Tengku Cut Ali berhadapan langsung dengan pimpinan lawan, tetapi syahid. Melihat kejadian itu, seorang pejuang bernama Tengku Banta Saidi alias Raja Lelo, seorang panglima wilayah Kluet, langsung menghampiri lawan tangguh tersebut untuk membalaskan dendam.

Raja Lelo ini tertulis sebagai seseorang yang sakti mandraguna. Di sini, cerita kematian Kapten J Paris terjadi akibat sundulan keras dari kepala Raja Lelo yang mengarah ke bagian selangkangan sang kapten sehingga kapten berjuluk Singa Afrika itu tewas.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya