Liputan6.com, Jakarta - BPJS Kesehatan mencatat kinerja positif pada periode 2020. Salah satunya pembiayaan program Dana Jaminan Sosial (DJS) lancar. Hal ini tercermin dari cash flow atau arus kas DJS Kesehatan yang surplus sebesar Rp 18,7 triliun.
Menanggapi, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyambut baik adanya surplus di DJS Kesehatan tahun 2020. Kendati begitu, ia meminta agar kinerja direksi terkait pelayanan kedepannya harus terus ditingkatkan.
Advertisement
“Bahwa kami BPJS watch menyambut baik adanya surplus DJS kesehatan di 2020 sebesar Rp. 18,73 triliun,” kata Timboel kepada Liputan6.com, Senin (8/2/2021).
Ia menjelaskan, surplus ini topang oleh kenaikan iuran sebesar Rp 27,96 triliun, yang kenaikan besarnya berasal dari kenaikan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN sebesar Rp 12,84 triliun dan PBI APBD Rp 3,54 triliun. Termasuk juga Pekerja Penerima Upah Selain Penyelenggara Negara (PPU BU) naik Rp 5 triliun.
“Surplus ini juga dikontribusi oleh turunnya biaya manfaat, karena kunjungan ke RS turun sebesar 17.055.836 kunjungan sehingga terjadi penurunan biaya manfaat sebesar Rp12,94 triliun,” katanya.
Menurutnya, dengan kondisi tersebut, maka aset bersih akhir periode menjadi minus Rp 6,4 triliun, turun drastis dari minus Rp 50,99 triliun di tahun 2019. Tentunya ini merupakan hal baik dan harus ditingkatkan oleh direksi baru nantinya, secara sistemik.
Lanjut Timboel, penerimaan iuran sistemik yaitu meningkatkan kepesertaan yang saat ini 222 juta menjadi 270 juta penduduk Indonesia. Termasuk meningkatkan kepesertaan PPUU BU yang saat ini baru sebanyak 16.786.051 pekerja.
"Dengan jumlah pekerja swasta formal sebanyak 43 juta maka PPU BU masih berpotensi besar. Demikian juga dengan PBPU lainnya yang masih banyak menunggak, itu pun harus ditagih karena tunggakan iuran di akhir 2020 sebesar Rp 15,32 triliun dari 15.819.921 peserta PBPU BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pajak Rokok
Lebih lanjut Timboel menyoroti pajak rokok. Menurutnya pajak tersebut harus dimaksimalkan sesuai amanat pasal 99 dan 100 Perpres 82 tahun 2018. Kemudian, dari sisi pembiayaan, tentunya rasio rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus diturunkan.
“Saat ini masih besar yaitu 14,2 persen, seharusnya bisa diturunkan jadi satu digit sehingga biaya CBG dapat dikendalikan. Koordinasi manfaat layanan juga harus ditingkatkan dengan PT. Taspen, ASBRI, BP Jamsostek dan jasa raharja yaitu dengan merevisi permenkeu 141 tahun 2018,” ungkapnya.
Demikian inti dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah pelayanan. Oleh karena itu, Timboel menegaskan agar kedepannya jajaran direksi harus terus meningkatkan pelayanan.
“Pemerintah cq Kemenkes harus mampu mengadakan telemedicine agar peserta JKN tetap terkontrol kesehatannya,” pungkasnya.
Advertisement