Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Rusia mengambil sikap untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri Myanmar. Saat ini, Myanmar masih diterjang gelombang demonstrasi yang menolak kudeta militer.
"Kami telah mencatat situasi di Myanmar dan Kementerian Luar Negeri telah menyampaikan harapan agar semua masalah diselesaikan lewan cara dialog dan kerangka mekanisme legal," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lydumila Vorobyova, dalam konferensi pers virtual, Rabu (10/2/2021).
Baca Juga
Advertisement
"Itu menggambarkan posisi Rusia dengan baik dan kita tidak akan ikut campur di masalah domestik dari negara berdaulat dengan cara apapun," jelas Dubes Lyudmila.
Sebelumnya, sentimen serupa disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri China yang menegaskan agar masalah di Myanmar bisa diselesaikan dengan dialog. China juga tetap menganggap Myanmar sebagai sahabat.
Posisi China dan Rusia berbeda dari posisi Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengecam kudeta militer di Myanmar. Presiden AS Joe Biden berkata telah mempertimbangkan pemberian sanksi bagi Myanmar, serta menuntut militer agar melepas kekuasaan.
Sejauh ini, militer Myanmar berjanji akan melaksanakan demokrasi dan melakukan pemilihan setelah setahun berkuasa.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Militer Grebek Markas Partai Aung San Suu Kyi
Militer Myanmar dilaporkan menyerbu markas besar partai Pemimpin Sipil Aung San Suu Kyi di Yangon pada Selasa 9 Februari malam waktu setempat.
Penyerbuan itu terjadi ketika Amerika Serikat bergabung dengan PBB yang "dengan keras" mengutuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa serta menuntut Myanmar untuk kembali ke demokrasi.
"Diktator militer itu menggerebek dan menghancurkan markas partai NLD sekitar pukul 21.30," sebut Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di laman Facebook-nya, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (10/2/2021).
Namun, pernyataan singkat dari partai tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Kudeta dan penahanan Aung San Suu Kyi oleh para jenderal militer juga telah mendorong ratusan ribu warga Myanmar turun ke jalan, menentang larangan pemerintah militer terkait demonstrasi.
Polisi juga dilaporkan menggunakan meriam air di beberapa kota, menembakkan peluru karet ke pengunjuk rasa di Ibu Kota Naypyidaw dan mengeluarkan gas air mata di Mandalay.
Unjuk rasa itu tetap terjadi meski di tengah peringatan dari pemerintah militer bahwa mereka akan mengambil tindakan terhadap demonstrasi yang mengancam "stabilitas", dan larangan baru atas pertemuan lebih dari lima orang.
Advertisement
AS Kecam Aksi Represif ke Demonstran
Amerika Serikat, yang menyuarakan kecaman global atas kudeta tersebut, memperbarui seruannya terkait kebebasan berekspresi di Myanmar - dan agar para jenderal mundur.
"Kami mengutuk keras kekerasan terhadap para demonstran," ucap juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Ditambahkannya juga bahwa orang-orang di Myanmar "memiliki hak untuk berkumpul secara damai".
"Kami mengulangi seruan kami kepada militer untuk melepaskan kekuasaan, memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, membebaskan mereka yang ditahan dan mencabut semua pembatasan telekomunikasi dan menahan diri dari kekerasan," lanjut Prince.
Price sebelumnya mengatakan bahwa permintaan AS untuk berbicara dengan Aung San Suu Kyi telah ditolak.
Infografis Kudeta Myanmar:
Advertisement