Liputan6.com, Jakarta - Manipulasi bisa terjadi dalam sebuah relasi asmara. Pelaku manipulasi umumnya menanamkan benih-benih keraguan pada pasangannya sehingga orang tersebut meragukan kemampuan berpikir dan ingatannya sendiri.
Korban manipulasi biasanya akan merasa tidak nyaman atau tidak menginginkan sesuatu hal yang dilakukan padanya, tapi orang itu tak mampu untuk menolaknya. Ketidakmampuan untuk menolak itu bisa terjadi secara fisik, psikis, atau mereka tidak punya pilihan, atau juga karena tidak bisa keluar dari situasi tersebut.
"Pelaku manipulasi itu menanamkan benih-benih keraguan pada pada orang-orang hingga orang tersebut meragukan sendiri ingatan, kemampuan berpikir, persepi, sehingga orang itu tidak bisa membuat keputusan yang clear dalam satu hubungan," ujar psikolog Ika Putri Dewi dari Yayasan Pulih dalam webinar "Campus Online Talkshow: Manipulasi dalam Relasi" yang diselenggarkan oleh The Body Shop, Rabu, 10 Februari 2021.
Baca Juga
Advertisement
Dalam suatu relasi, tentu dilalui dengan proses awal yang indah, ada kasih sayang, cinta, perhatian, dan sebagainya. Namun, di tengah-tengah proses, pelaku mampu mempengaruhi seseorang agar berbuat sesuai dengan keinginannya.
"Tapi, korban itu atau orang yang diperlakukan secara manipulatif itu merasa bingung, apakah sesuatu yang akan dilakukannya sebagai sesuatu yang wajar atau tidak," ujar Ika.
Dalam konteks hubungan lelaki dan perempuan, misalnya, pelaku manipulatif itu berusaha untuk mempengaruhi pandangan korban. Ika mengatakan relasi kuasa itu bisa berupaya hubungan dosen dengan mahasiswa, atasan dan bawahan.
"Perilaku manipulasi itu bisa memanfaatkan relasi kuasa itu apa yang dikehendaki untuk memuaskan kebutuhannya," kata Ika. "Ketika proses manipulasi itu terjadi terus-menerus, maka akan memunculkan dampak yang menyakitkan bagi korban," imbuh dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sempat Dicaki dan Dimaki
Dalam kesempatan itu, Hannah Al-Rashid menceritakan tentang dampak yang menyakitkan dari manipulasi dalam suatu relasi. Ia mencontohkan sempat berpacaran dengan lelaki yang awalnya merupakan teman.
Namun saat sudah berpacaran, lelaki itu sangat manipulatif terhadap dirinya. Selain manipulatif, pacarnya itu juga cenderung obsesif.
"Idiom-idiom yang dilontarkan sangat kasar dan bahkan ia merendahkan saya setiap hari, bahkan saya dicaci maki. Padahal, tidak sepantasnya saya diperlakukan seperti itu," ujar Hanna.
Meski dalam kondisi seperti itu, ada sesuatu yang membuatnya tidak tega hingga susah keluar dari relasi itu. "Jika ada sesuatu, dia selalu janji untuk memperbaiki diri, janji untuk berubah," tutur Hanna yang kemudian memutuskan hubungan asmaranya.
Wakil Direktur Bidang Advokasi HopeHelps Universitas Indonesia (UI), Nasya Ayu Dianti mengatakan mereka yang menjadi korban manipulasi itu sering bingung apa yang terjadi pada korban karena kesalahannya atau kesalahan orang lain. Ia mengatakan korban-korban yang berada dalam kondisi seperti itu harus diberdayakan.
"Hal itu perlu dilakukan agar mereka bisa mengambil keputusan yang benar-benar sehat untuk dirinya sendiri agar keluar dari situasi yang manipulatif itu," kata Nasya.
Berdasarkan pengalamannya di HopeHelps UI, pelaku manipulatif itu banyak orang yang sudah dikenal baik dengan korbannya. Dalam laporan tahunan HopeHelps UI pada 2020, sebanyak 38,5 persen itu merupakan teman sendiri. Sementara, 10,3 persen itu pelaku adalah pacarnya dan dalam kasus-kasus tertentu, ternyata pelaku kekerasan seksual itu merupakan mantan pacarnya.
Advertisement