Sepinya Perayaan Imlek 2572 di Vihara Avalokitesvara Banten

Perayaan Imlek di Vihara Avalokitesvara yang bersejarah di Kota Serang, Banten, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 12 Feb 2021, 09:53 WIB
Vihara Avalokitesvara Di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, Sepi Dari Perayaan Imlek 2572. (Kamis, 11/02/2021). (Liputan6.com/Yandhi Deslatama).

Liputan6.com, Serang - Perayaan Imlek 2572 di Vihara Avalokitesvara di Kota Serang, Banten, sepi dari umat Buddha yang bersembahyang, berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang selalu ramai dan meriah. Pantauan Liputan6.com di lokasi, hanya beberapa anggota jemaah yang beribadah. Mereka pun tak berlama-lama di wihara.

Usai beribadah mengenakan masker dan menjaga jarak, para jemaah angsung pulang kembali ke rumah masing-masing.

"Situasi sampai saat ini masih akan terkendali. Kita monitor kegiatan di wihara ini masih berjalan dengan lancar. Tidak terlalu ramai, secara bergantian. Satu keluarga beribadah di wihara ini lalu kembali," kata Kapolres Serang Kota, AKBP Yunus Hadit Pranoto, Kamis (11/02/2021).

Suasana Umat Budha Beribadah Saat Malam Imlek Di Vihara Avalokitesvara, Kota Serang, Banten. (Kamis, 11/02/2021). (Liputan6.com/Yandhi Deslatama).

Meski terpantau sepi, tampak beberapa personel Brimob tampak berjaga di wihara yang berdiri sekitar tahun 1759 ini.

Masyarakat diimbau tetap mematuhi protokol kesehatan Covid-19, untuk mencegah penularannya.

"Kami imbau untuk masyarakat yang merayakan Imlek, mungkin bisa membatasi kegiatannya, supaya bisa menjaga protokol kesehatan," kata Yunus.

Patung Budha Di Vihara Avalokitesvara, Kota Serang, Banten. (Kamis, 11/02/2021). (Liputan6.com/Yandhi Deslatama).

Vihara Avalokitesvara yang tertua di Banten, lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Bahkan, keduanya dibangun hampir bersamaan. Selain itu, di dalam wihara jiga terdapat bedug khas Islam. Toleransi keberagamaan yang kental di Banten itu sudah terjalin ratusan tahun.

Banten yang saat itu sebuah kesultanan besar dengan Pelabuhan Karangantu yang mendunia, membuat seorang putri bernama Ong Tin Nio bersama Anak Buah Kapal (ABK), dalam perjalanan dari China menuju Surabaya, memutuskan bermalam di Pamarican--daerah itu merupakan penghasil merica.

Putri Ong pun merasa betah tinggal di Banten dan mendirikan wihara yang awalnya berada di bekas kantor bea (douane). Namun, kehadirannya oleh masyarakat sekitar dianggap dapat merusak akidah dan kebudayaan mereka.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah pun menegur keras masyarakat Banten dan memediasi antara kedua belah pihak. Sunan Gunung Jati menjelaskan tidak ada paksaan untuk memeluk agama dalam Islam.

Setelah masalah dapat diselesaikan, Sunan Gunung Jati menawarkan kepada sang putri dan pengikutnya untuk memeluk Islam tanpa adanya paksaan. Hingga akhirnya, sang putri yang cantik jelita beserta pengikutnya menjadi mualaf.

Kedatangan masyarakat Tiongkok ke Banten memiliki banyak versi. Ada yang menyebutkan, masyarakat China datang ke Kesultanan Banten sekitar abad 17 Masehi, dengan bukti banyak ditemukan perahu China yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada pada abad itu.

Berdasarkan catatan sejarah dari JP Coen, banyak perahu China yang membawa dagangan senilai 300 ribu real. Dalam kelanjutannya, masyarakat China tak hanya berdagang, tapi bermukim di Banten dengan jumlah lebih dari 1.300 kepala keluarga (KK).

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya