Special Content: Sertifikat Tanah Elektronik Masih Belum Meyakinkan Publik, Ada Apa?

Kementerian ATR/BPN mencoba memulai program sertifikat tanah elektronik, namun sosialisasi, keamanan, dan persiapannya banyak dipertanyakan.

Oleh Default diperbarui 25 Sep 2021, 00:24 WIB
Ilustrasi Sertifikat Tanah Elektronik (Liputan6.com/ Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Publik menanggapi beragam tentang rencana pemerintah mengubah sertifikat kepemilikan tanah berbasis kertas menjadi ke dalam bentuk elektronik atau digital.

Kemudian, publik juga bertanya-tanya setelah munculnya informasi bahwa Badan Pertanahan Nasional atau BPN akan menarik lembaran sertifikat kepemilikan tanah masyarakat untuk diganti dengan sertifikat tanah elektronik.

Hal ini bermula ketika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) akan memberlakukan sertifikat tanah elektronik ( sertifikat-el) pada tahun ini. Pemberlakuan ini berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik.

Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil sebelumnya telah menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo soal kebijakan digitalisasi sertifikat tanah, dalam acara penyerahan sertifikat tanah di Istana Negara pada Selasa (5/1/2021).

Sofyan mengungkapkan, BPN tengah menyiapkan berbagai infrastruktur untuk mendukung pelayanan digital seperti, fitur validasi buku tanah, warkah tanah, dan menyusun berbagai aturan terkait dengan e-sertifikat. Sertifikat tanah elektronik adalah salah satu upaya Kementerian ATR/BPN mendorong transformasi digital atau Digital Melayani (Dilan) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di mana hal itu sesuai keinginan Presiden Jokowi.

Demi mendukung upaya digitalisasi layanan pertanahan, Sofyan Djalil kemudian menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Dalam Pasal 16 ayat 1 Permen ATR Nomor 1 Tahun 2021 disebutkan bahwa pergantian sertifikat menjadi sertifikat-el termasuk meliputi penggantian buku tanah, surat ukur bahkan gambar denah satuan rumah susun menjadi dokumen elektronik.

"Kepala Kantor Pertanahan (Kantah) menarik sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada kantor pertanahan," seperti dikutip dalam pasal 16 ayat 3 beleid tersebut.

Permen mengenai Sertifikat Elektronik ini memuat sebanyak VII Bab pembahasan dan berisi 22 pasal. Sejumlah bab itu meliputi pelaksanaan sistem elektronik pendaftaran tanah, penerbitan sertifikat elektronik untuk pertama kali, pemeliharaan pendaftaran tanah, edisi sertifikat elektronik, hingga ketentuan peralihan sertifikat tanah elektronik. Selain itu, terdapat juga contoh bentuk gambar sertifikat tanah elektronik yang akan diterbitkan. Beleid tentang Sertifikat Elektronik ini sejatinya telah resmi berlaku sejak diundangkan pada tanggal 12 Januari 2021 di Jakarta.

Kebijakan sertifikat elektronik tanah ini adalah satu dari dari tiga program besar transformasi digital Kementerian Agraria dan Tata Tuang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menyerap anggaran sebesar Rp 2 triliun. Penetapan keputusan ini telah disahkan dalam pagu indikatif anggaran tahun 2021.

Masalah Keamanan

Tapi, rencana sertifikat tanah elektronik Kementerian ATR/BPN ini banyak mendapat tentangan. Kekhawatiran dan keraguan muncul terutama dari beberapa kalangan, termasuk aktivis dan juga warganet di media sosial.

Kecemasan publik tentang sertifikat tanah elektronik salah satunya didasari masalah keamanan. Apalagi, tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa dengan memegang salinan sertifikat tanah dalam bentuk fisik amat vital, terutama saat terjadi sengketa.

Bukan hanya itu, kasus sertifikat kepemilikan tanah ganda cukup banyak terjadi, sehingga publik pun sulit untuk begitu saja percaya dengan rencana pemerintah untuk beralih ke sertifikat elektronik atau dikenal dengan sertifikat-el.

Selain itu, sistem keamanan digital pemerintah untuk sertifikat tanah elektronik ini juga masih menjadi tanda tanya. Bagaimana apabila terjadi peretasan yang mengakibatkan kebocoran data penting masyarakat, sehingga bisa disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Seperti diketahui, beberapa kali situs dan pusat data milik instansi pemerintah mengalami peretasan. Tidak salah jika masyarakat pun meragukan rencana pemerintah soal perubahan sertifikat tanah analog ke sertifikat tanah elektronik.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melalui Sekretaris Jenderalnya, Dewi Sartika, berpendapat, penerbitan Permen terkait sertifikat tanah elektronik ini juga melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni PP 24/1997 terkait Pendaftaran Tanah, PP 40/1996 terkait HGU, HGB dan Hak Pakai, serta UU No.5/19960 terkait UU Pokok Agraria.

"Dari sisi hukum, rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus dengan demikian. Hal lainnya, sertifikat elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja, dan tujuan memudahkan data base tanah di kementerian. Jadi digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli," papar Dewi Sartika dalam keterangan resminya, 4 Februari 2021.

Saksikan Video Berikut Ini


Implementasi Program Sertifikat Tanah Elektronik

Petugas mengecek barang bukti sertifikat saat rilis kasus sindikat mafia tanah di Jakarta, Rabu (12/2/2020) (merdeka.com/Imam Buhori)

Harus diakui, tidak mudah memberlakukan program sertifikat tanah elektronik di Indonesia. Wilayah Indonesia begitu luas sehingga proses perubahannya tentu akan memakan waktu yang sangat lama.

Lalu, dari segi prioritas juga langkah ini dinilai bukan sesuatu yang urgent. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperingatkan bahaya pemberlakuan sertifikat tanah elektronik apabila belum dilakukan pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia.

"Seharusnya konsentrasi dana APBN dan kerja kementerian diarahkan kepada usaha-usaha pendaftaran seluruh tanah di Indonesia, tanpa kecuali, baik tanah kawasan hutan maupun tanah non kawasan hutan. Dengan usaha ini, terangkum basis data pertanahan yang lengkap sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional dan sebagai basis pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya Land Reform," terang Sekjen KPA, Dewi Sartika dalam keterangan resminya, (4/2/2021).

Implementasi digitalisasi sertifikat tanah ini akan dimulai dari tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik. Lalu bisa diprint di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan. KPA mempertanyakan, bagaiana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha? Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut, sebab tanah-tanah yang sudah bersertifikat tersebut banyak yang bermasalah, seperti tidak sesuai ukuran, tumpang tindih, dan tengah bersengketa.

Masyarakat juga rentan terhadap program ini, karena tidak sedikit sertifikat badan usaha yang masuk wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat kecil. Semestinya, pemerintah menuntaskan lebih dulu konflik-konflik tersebut. Dengan penerapan program sertifikat tanah elektronik, malah berpotensi memperparah konflik agraria.

Bantu Kasus Sengketa Tanah

Mengenai sertifikat tanah yang bermasalah, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, yakin kehadiran sertifikat tanah elektronik malah akan membantu kasus sengketa tanah. Pasalnya, BPN tidak akan mengeluarkan sertifikat elektronik untuk tanah yang bermasalah.

"Untuk kasus seperti ini, kami tidak akan keluarkan sertifikat tanah elektronik sampai sengketanya selesai. Kalau bisa mediasi, mediasi dahulu, dan kalau terbukti salah satu pihak bersalah maka kita akan batalkan dia," jelas Sofyan dalam acara virtual Bincang Editor di Liputan6.com,Senin (8/2/2021).

Sofyan juga mengklaim, masalah pertanahan yakni kepemilikan sertifikat yang tumpang tindih sehingga menjadi sengketa, jumlah kasusnya tidak sampai satu persen dari total bidang tanah yang sudah didaftarkan di BPN. Berdasarkan statistik, hampir 70 juta bidang tanah sudah didaftarkan, sedangkan masalah sertifikat tanah ganda hanya 0 sekian persen.

Selain itu, Kementerian ATR/BPN bakal menerapkan program sertifikat tanah elektronik secara bertahap. Untuk saat ini, uji coba dilakukan terhadap tanah yang masih terbatas di Jakarta dan Surabaya. Salah satu persiapan untuk itu adalah uji coba di tanah pemerintah dan gedung-gedung milik perusahaan besar.

Sofyan Djalil menyatakan, penggunaan sertifikat elektronik ini masih terbatas pada tanah-tanah pemerintah daerah, seperti taman, jalan, dan sejumlah fasilitas umum lain. Tapi, perlahan, pemerintah akan memperluas adopsi sertifikat elektronik di kalangan masyarakat. Kendati dapat memakan waktu cukup lama, Sofyan berharap penerapan bertahap akan meningkatkan keinginan masyarakat untuk membuat sertifikat tanah elektronik.

Selain itu, Sofyan pun menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN tidak akan menarik sertifikat fisik milik masyarakat ketika sudah dibuat versi digitalnya. Sofyan mengingatkan agar masyarakat waspada apabila ada orang yang mengaku dari BPN dan meminta sertifikat tanah yang dimiliki untuk diubah menjadi sertifikat elektronik.

Menurut Sofyan, banyak masyarakat yang masih salah paham terkait pergantian sertifikat tanah elektronik ini. Melihat pernyataan ini, tentu seharusnya menjadi tugas besar Kementerian ATR/BPN melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

"BPN tidak akan pernah menarik sertifikat. Kalau ada orang mengaku dari BPN ingin menarik sertifikat, jangan dilayani," ujar Sofyan Djalil, seperti dikutip dari Antara, Jumat (5/2/2021).

"Soal penarikan, itu saya jamin tidak dilakukan. Kita tidak akan tarik sertifikat fisik, tapi mungkin ujungnya akan digunting saja sedikit untuk menandakan bahwa sudah ada sertifikat tanah elektornik," ungkapnya.

Anehnya, pernyataan Sofyan Djalil itu berbeda dengan yang tertera di pasal 16 ayat 3 Permen BPN no 1/2021 yang berbunyi: "Kepala Kantor Pertanahan menarik Sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan."


Transparansi dan Sosialisasi

Menteri Agraria dan Tata Ruang-Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kecemasan publik mengenai potensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam program sertifikat tanah elektronik bukan tanpa alasan, terutama bila mengingat peristiwa kasus KTP Elektronik di masa lalu. Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengingatkan agar proyek E-KTP jadi pembelajaran sebelum menerapkan sertifikat elektronik.

"Mengubah kertas jadi elektronik itu bagus. Tapi belajar dari peristiwa kasus KTP Elektronik, baik dari aspek korupsi, pihak yang bisa akses data, kesiapan peralatan, kapasitas dan integritas pegawai hingga validitas jauh lebih penting. Bagaimana dengan rencana sertifikat tanah elektronik?" tulis Febri di akun Twitter pribadinya, @febridiansyah.

Febri mengatakan, celah tindak pidana korupsi selalu ada dalam proyek atau kebijakan yang menggunakan anggaran negara dengan nilai besar. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap kebijakan program pemerintah yang mengeluarkan anggaran besar seperti program serfitikat tanah elektronik ini disertai sistem antisipasi resiko tindak pidana korupsi.

Febri mengakui bahwa sistem pelayanan di BPN telah melakukan sejumlah perubahan. Tapi, hal tersebut tidak menjamin institusi itu bersih dari praktik Korupsi.

"Saya cukup yakin, ada beberapa perubahan di BPN tentang pelayanan publik pendaftaran tanah. Tapi, jika ingin tahu apakah masih ada korupsi dalam proses pelayanan tersebut, dengan mudah bisa bertanya pada Notaris/PPAT yang berhubungan dengan petugas. Seingat saya KPK dan Ombudsman RI pernah lakukan kajian tersebut," tulisnya.

Sofyan Djalil mengklaim pihaknya terus berbenah meningkatkan layanan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Hal ini salah satunya dengan membersihkan internal BPN dari orang-orang tidak berkredibel, termasuk mafia tanah.

"Kami terus memperbaiki kredibilitas BPN. Ketika masyarakat dengar ide ini (sertifikat tanah elektronik) ribut, saya bilang ke internal bahwa kita belum dipercaya sepenuhnya makanya kita terus perbaiki," ungkap Sofyan dalam acara Bincang Editor pada Senin (8/2/2021).

Menurut Sofyan, BPN terus melakukan pembenahan internal seperti halnya instansi pemerintah lain. "Pemerintah melakukan perbaikan internal, misalnya peraturan-peraturan yang tidak cocok lagi kita ubah. orang-orang berprestasi dan punya kredibilitas baik kita berikan tanggung jawab lebih besar," sambungnya.

Cek Lapangan, Kajian Mendalam

Anggota Komisi II DPR, Djarot Saiful Hidayat, turut angkat bicara soal rencana sertifikat tanah elektronik yang diusung Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN). Djarot meminta para petugas BPN melakukan cek lapangan untuk pengukuran serta verifikasi dokumen dan kajian mendalam sebelum menerapkan rencana tersebut.

"Ini harus dilakukan secara cermat, hati-hati, dan transparan. Jangan sampai terjadi nanti penyimpangan di dalam pelaksanaan, mulai dari proses perencanaan, proses tender, sampai pelaksanaannya. Berkaca pada kasus e-KTP, di mana sampai sekarang (masalah) e-KTP kita belum beres-beres, kalau menurut saya," kata Djarot ketika dihubungi Liputan6.com.

Tapi, Djarot menilai, bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, Indonesia sudah harus masuk era digital. Penggunaan teknologi dan semua yang berbasis pada elektronik idealnya bisa memudahkan masyarakat.

"Semuanya berbasis pada elektronik. Kan dipaksa kaya begitu sekarang. Tetapi ini karena hal yang sangat vital bagi pemegang hak sertifikat, maka perlu ada kajian secara hati-hati dan secara mendalam. Karena kan ketika dilaksanakan tentu tidak bisa langsung semua kan. Begitu kan. Ada uji coba-uji coba," papar Djarot.

"Paling gampang gedung-gedung pemerintah, itu harus dijadikan uji coba untuk diterapkan. Karena gedung-gedung milik pemerintah itu kalau kita lacak betul, banyak yang sertifikatnya enggak keurus. Bukan hanya gedung, tapi juga lahan-lahan milik pemerintah. Sehingga nanti kita punya database yang betul-betuk jelas," ucap mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini.

Djarot sepakat apabila pemberlakuan program sertifikat tanah elektronik ini diterapkan lebih dulu ke gedung dan lahan-lahan milik pemerintah. Kemudian, setelah berhasil, baru melebar ke masyarakat seperti gedung-gedung milik swasta.

"Jadi memang harus dilakukan secara bertahap. Ini menyangkut dokumen yang vital. Itulah makanya sosialiasinya diterapkan dulu ke gedung-gedung pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Dan lahan-lahan, kan banyak tuh lahan-lahan, entah itu ruang terbuka hijau, taman kota, lapangan. Itu saja obyek lahannya sudah banyak banget. Ini dulu diterapkan, sambil disosialiasikan kepada masyarakat," kata Djarot.

Sosialisasi Kebijakan

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai pemerintah harus mensosialisasikan kebijakan mengenai sertifikat tanah elektronik kepada masyarakat sebelum merilisnya. Terlebih lagi, tidak semua masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang internet.

Menurut Trubus, sosialisasi ini penting, karena pemerintah harus menginformasikan kepada masyarakat secara transparan, termasuk mengenai proses dan perlindungan hukumnya.

"Menurut saya, kebijakan itu harus disosialisasikan dahulu. Selama ini Kementerian ATR/BPN saja untuk program sertifikasi tanah, itu yang PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) tidak capai target. Artinya, masih banyak orang yang belum memiliki," kata Trubus saat dihubungi Liputan6.com pada Kamis (4/2/2021).

"Yang penting lagi, masyarakat kita ini harus terlebih dahulu memahami soal internet. Pengetahuan soal itu kan masih minim, kalau dipaksakan bisa menimbulkan masalah baru. Kalau online, maka harus ada pengetahuan soal internet," jelasnya.


Tantangan Utama

Ilustrasi sertifikat tanah

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, mengatakan, tantangan utama dalam menjalankan program sertifikat tanah elektonik adalah masalah keamanan data.

"Situs pemerintahan kita pernah tumbang dari Komisi Pemilihan Umum, sampai beberapa lembaga seperti Bank Indonesia, Garuda Indonesia. Unicorn Indonesia juga pernah datanya bocor. Ini jadi pertanda bahwa di Indonesia masalah keamanan data masih jadi hal yang krusial. Jadi, kita harus menanganinya dengan hati-hati," kata Heru kepada Liputan6.com.

Ia menyarankan pemerintah menggunakan teknologi blockchain untuk menjalankan program sertifikat tanah elektonik.

Blockchain merupakan sistem penyimpanan data digital yang terdiri dari banyak server (multiserver). Dengan teknologi ini, data yang dibuat oleh satu server dapat direplikasi dan diverifikasi oleh server yang lain.

Jika diibaratkan, blockchain seperti buku kas induk bank yang memuat semua data transaksi nasabah, namun buku ini dapat diakses oleh semua pengguna blockchain dan tidak terbatas pada petugas bank yang memiliki otoritas saja.

"Blockchain adalah teknologi baru yang menjadi bagian dari industri 4.0. Kalau dulu semua data terpusat, sementara dengan blockchain jadi desentralisasi. Jadi, data di BPN Pusat dengan data di provinsi, kabupaten, kelurahan sama semua. Ketika ada perubahan di kelurahan, semua data ikut berubah. Jadi, nanti ketahuan siapa yang mengubah. Teknologi dipakai di banyak negara."

Heru mengatakan, langkah pertama sebelum menjalankan program sertifikat tanah elektonik, pemerintah harus melakukan digitalisasi data terlebih dulu.

"Sertifikat yang sekarang ada, bentuk kertas, itu masih tetap diperlukan. Sebelum sertifikat yang sekarang dihapus, semua data yang ada harus di-digitalkan dulu dengan teknologi blockchain, termasuk keamanannya juga harus berlapis. Ketika ini sudah tuntas, sudah aman, baru mungkin secara perlahan sertifikat yang sekarang ada, bisa digantikan dengan online."

"Kalau keamanannya masih diragukan, digitalisasi belum selesai, ya kita harus menunggu untuk mengubah yang analog jadi online. Tidak bisa serta-merta langsung kita ubah," ia menambahkan.


INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Penampakan Sertifikat Tanah Elektronik (Liputan6.com/ Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya