Berkaca Kasus Herman dan Madan, Mati di Kantor Polisi

Herman, terduga pelaku pencurian handphone di Balikpapan, Kalimantan Timur diamankan polisi dari Polresta Balikpapan pada 2 Desember 2020 tanpa mengenakan baju.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Feb 2021, 14:13 WIB
Ilustrasi Penangkapan (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Herman, terduga pelaku pencurian handphone di Balikpapan, Kalimantan Timur diamankan polisi dari Polresta Balikpapan pada 2 Desember 2020 tanpa mengenakan baju. Korban meninggal sehari kemudian, 3 Desember 2020, setelah sempat muntah-muntah dalam perawatan di RS Bhayangkara.

Kematian Herman ini mencuatkan keganjilan. Kasus tersebut dilaporkan oleh keluarga Herman ke Propam Polda Kaltim pada 5 Februari 2021 melalui LBH Samarinda, setelah menemukan adanya lebam dari paha sampai jari kaki, juga punggung. Juga luka gores pada jenazah Herman usai ditangkap polisi.

Melihat kasus Herman, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Miko Ginting membagikan pengalamannya saat terjun langsung mendalami kasus Ramadhan Suhudin atau Madan di Samarinda. Kepada Liputan6.com, dia berkenan threadnya dimuat.

"Sedikit cerita ya. Kasus Herman yg terjadi di Balikpapan ini mengingatkan pada kasus Ramadhan Suhudin di Samarinda. Seorang pelajar SMA yang tewas di sel Polresta. Ramadhan Suhudin ini berumur 16 tahun. Anak seorang Polisi. Bapaknya tugas di Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda," tutur Miko di akun Twitter pribadinya @mikoginting yang dikutip pada Jumat (12/2/2021).

Miko menyampaikan, pada 2015 lalu, dia tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil yang melakukan riset sekaligus gelar perkara soal penyidikan beritikad jahat atau malicious investigation. Gelar perkara dilakukan di enam kota seluruh Indonesia.

"Gelar perkara ini mengundang para korban malicious investigation. Kita mendengarkan testimoni mereka. Banyak yang ajaib dan engga bisa diterima akal dan nurani," jelas dia.

Menurut Miko, riset dan hasil gelar perkara itu sudah disampaikan ke Ombudsman RI, termasuk kepada para Direktur Reserse Kriminal yang ada di sejumlah polda. Saat presentasi pun dihadiri oleh Komjen Agus Andrianto yang saat itu menjabat sebagai Dirtipidum Bareskrim Polri.

Pada perjalanan riset tersebut, Miko mengaku kebagian gelar perkara di Samarinda, Kalimantan Timur, yang saat itu lebih banyak ekspos kasus penyerobotan lahan berujung tersangka dan kasus sumber daya alam. Penuh sekali orang yang hadir dalam ruangan, baik dari korban, wartawan, hingga yang tidak diketahui asal usulnya.

Sementara, yang menarik perhatian Miko adalah seorang bapak berjaket hitam. Dia yakin betul ada seragam polisi di baliknya.

"Dia enggak terdaftar sebagai korban yang akan memberikan testimoni. Tapi di akhir sesi mengacungkan tangan dan meminta bicara. Dalam hati, 'Wah, aparat nih. Ada apa?'," ujar Miko.

Dia memperkenalkan diri sebagai Brigadir Suhudin, anggota Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda. Ternyata, polisi tersebut adalah bapak dari Madan, seorang pelajar SMA yang tewas di sel Polresta Samarinda.

Menurut penuturan Suhudin, peristiwa itu terjadi pada 2011. Saat itu, Madan dan teman-temannya dijemput oleh beberapa orang tidak berseragam sekitar pukul 03.30 dan dituduh terlibat dalam komplotan pencurian motor.

Sejam sebelumnya, sambung Miko, Suhudin yang akan berangkat tugas masih menelepon Madan menanyakan sedang berada di mana dan memintanya untuk pulang.

"Sampai pagi hari Madan tidak pulang ke rumah. Pak Suhudin dikontak keluarga untuk mencari Madan. Pagi harinya Pak Suhudin mendapat telepon dari anggota Polrestra Samarinda dan menanyakan apakah Madan 'punya riwayat penyakit'," kata Miko.

Tidak lama kemudian, pihak keluarga dihubungi oleh polisidan menyatakan jenazah Madan ada di rumah sakit. Mereka meminta keluarga datang untuk menjemput.

Suhudin dan keluarga tidak percaya Madan tewas karena disiksa. Menurut mereka, beberapa teman Madan yang turut dijemput juga menyatakan hal yang sama. Juga beberapa informasi yang disampaikan Suhudin mengenai dugaan kematian Madan dalam gelar perkara tersebut.

"Saya juga engga berani menyimpulkan penyebab kematian Madan. Yang pasti pelanggaran prosedur hukum acara pidana terjadi, misalnya tidak ada surat penangkapan, dll," kata Miko

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Banyak Prestasi, Sayang Jika Dicederai

Lebih lanjut, menurut dia, di sini lah pentingnya akuntabilitas. Polri seharusnya dapat mempertanggungjawabkan ke publik apa yang sebenarnya terjadi. Jika ada kesalahan, seharusnya ditindak secara terbuka, minimal dijelaskan secara transparan. Kalau tidak, yang terjadi adalah impunitas.

"Impunitas itu pelepasan atau penghapusan pertanggung jawaban. Kalau terjadi secara berulang akan menjadi sistemik. Termasuk mendorong kejadian yang sama di masa depan. Karena ada jaminan 'tidak akan ada apa-apa'," terangnya.

Propam Polda Kalimantan Timur sendiri menyatakan kasus Madan pada 2011 sebagai kasus yang menonjol dan perlu mendapat perhatian ekstra. Tapi sampai 2015, tidak ada kejelasan mengenai penyebab kematian Madan, bahkan untuk bapaknya yang juga anggota kepolisian.

"Kasus Madan ini satu dari banyak kejadian pelanggaran hukum yang gw temukan, baik dari gelar perkara itu maupun di kerja advokasi. Maka dorongan akuntabilitas, desain peradilan pidana yang selama ini didorong bukan karena sekadar konsep. Ada persoalan riil yang ditemukan," ujar Miko.

Baginya, hal itu juga menjadi dorongan sekaligus harapan kepada Polri dan pembentuk Undang-Undang untuk memikirkan lebih serius persoalan sistemik ini. Kasus Madan, Herman, Deki di Solok, harusnya menjadi pemicu untuk Polri membangun institusi yang benar-benar terpercaya.

"Banyak sudah capaian bagus. Sayang sekali kl kejadian seperti ini terus berulang. Selain akuntabilitas melalui penindakan thdp pelanggaran secara terbuka, sistem peradilan pidana saat ini memang harus dirombak total. Persoalan sistemik harus diselesaikan secara sistemik juga," Miko menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya