YLBHI Kritik Polisi Kerap Lakukan Penahanan Saat Tangani Perkara

YLBHI menegaskan bahwa penahanan bukanlah suatu kewajiban dalam menangani sebuah perkara.

oleh Yopi Makdori diperbarui 13 Feb 2021, 07:28 WIB
Ilustrasi Penangkapan dan penahanan (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Praktik penahanan oleh polisi terhadap seorang tersangka masih marak dilakukan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, bahwa praktik ini kerap dilakukan saat polisi tengah mengusut sebuah perkara, seakan-akan penahanan menjadi sebuah kewajiban.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnamasari menyebutkan, praktik penahanan ini bahkan kerap dikenakan terhadap perkara yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun.

"Di dalam praktiknya, polisi itu cenderung pokoknya langsung menahan orang begitu ini ancamannya lima tahun. Nah itu langsung dilakukan penahanan seolah-olah ini mandatory, padahal ini tidak. Bahkan dalam temuan YLBHI itu juga penahanan terhadap kasus-kasus yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun dan tak ada pengecualian," kata Era saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (12/2/2021).

Padahal menurut ketentuan yang ada, kata Era, penahanan bukanlah sesuatu kewajiban. Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan bisa dilakukan bilamana memenuhi kondisi tertentu.

"Kalau di KUHAP itu kan, penahanan itu kan kewenangan. Kapan orang ditahan itu ketika ada keadaan di mana orang dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Artinya itu bukan keharusan," tutur dia.

Era menjelaskan, secara objektif seseorang bisa ditahan bila terjerat kasus yang ancaman hukumannya di atas lima tahun. Di samping juga ada sejumlah tindak pidana meskipun ancamannya di bawah lima tahun, tetapi masih bisa ditahan.

Namun menurut Era, YLBHI banyak menemukan kasus penahanan di luar ketentuan tersebut. Era bilang hal itu jelas berdampak serius bagi mereka yang ditahan.

"Nah ini dampaknya serius karena ketika orang ditahan maka kecenderungan putusan (pengadilan) itu pasti bersalah. Nah itu sangat-sangat berpengaruh terhadap putusan akhir ketika orang dilakukan penahanan," katanya.

 

Load More

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Aturan Penahanan di KUHAP Bermasalah

Ilustrasi tahanan. (iStockphoto)

Era juga mengkritisi soal lamanya waktu penahanan di Indonesia. Padahal praktik penahanan cenderung memperbesar potensi terjadinya kekerasan kepada mereka yang ditahan.

"Dan ketika orang ditahan itu potensi kekerasannya menjadi tinggi. Misalnya kaya Belanda, Belanda itu waktu penahanannya enam jam, terus diperpanjang kalau enggak salah 72 jam," sebutnya.

Jika dibanding dengan waktu penahanan di Indonesia, tentu sangat berbeda jauh. Waktu penahanan di Tanah Air, menurut Era, bisa mencapai 20 hari dan bisa diperpanjang 40 hari.

"Nah itu lama, potensi orang mendapatkan kesewenang-wenangan itu (juga) lama," katanya.

Era memandang, praktik seperti itu langgeng dilakukan dikarenakan masalah pada regulasi. Dia menilai, aturan menyangkut hal penahanan di KUHAP bermasalah.

"KUHAP kita itu punya banyak kelemahan. Kan KUHAP kita ini sejak 1981 ya, sudah banyak perkembangan-perkembangan HAM, konvensi-konvensi internasional yang kita ratifikasi," ucap dia.

Salah satu prinsip dalam HAM misalnya soal habeas corpus. Habeas corpus sendiri sederhananya merupakan prinsip yang menghendaki otoritas yang menahan seseorang harus mampu membuktikan bahwa mereka yang ditahan itu dalam keadaan baik-baik saja. Untuk itu mereka harus dihadapkan sesegera mungkin di muka pengadilan.

"Untuk diperiksa benar enggak dia keadaannya baik enggak, atau ditangkap, ditahan secara sah enggak. Jadi itu ada prinsip itu, nah sementara di kita enggak ada. Kalau di negara lain ya, misalnya di Belanda orang ditangkap itu ada hakim yang namanya kaya hakim komisaris gitulah ya. Jadi begitu orang ditangkap dia harus segera dihadapkan ke hakim," katanya.

Hakim itulah, kata Era, yang akan menilai apakah seseorang itu layak ditahan atau tidak. Sementara di Indonesia tak ada mekanisme seperti ini.

"Jadi kewenangan kepolisian itu begitu besar, sangat luas tanpa ada kontrol, tanpa ada check and balance antara sistem, kalau di kita itu kan ada penyidikan itu polisi, penuntutan itu jaksa, terus persidangan itu hakim. Nah antara sistem ini itu enggak ada check and balance. Jaksa di kita itu dia enggak berperan sebagai pengendali perkara, padahal dia yang membuktikan di pengadilan kan? Di pengadilan itu kan polisi enggak ada urusannya, jaksa yang membawa kasus ke pengadilan," tutur Era.


Tahanan Meninggal

Ilustrasi Foto Penangkapan (iStockphoto)

Institusi Polri tengah menjadi sorotan setelah beberapa kasus tahanan meninggal dunia di dalam rumah tahanan (Rutan) milik kepolisian. Salah satunya soal kematian Ustaz Maaher At-Thuwailibi yang meninggal dunia di Rutan Bareskrim Polri.

Meski telah dinyatakan Maaher meninggal karena sakit dan diakui pihak keluarga, kritikan tetap dilayangkan ke kepolisian. Termasuk soal permohonan penangguhan penahanan untuk dibawa berobat ke rumah sakit swasta tidak dikabulkan polisi.

Kasus lain yang tak kalah menjadi sorotan adalah, kematian tersangka dugaan kasus pencurian ponsel di Balikpapan, Kalimantan Timur. Herman meninggal sehari setelah ditangkap aparat kepolisian pada 2 Desember 2020.

Korban meninggal dunia setelah sempat muntah-muntah dalam perawatan RS Bhayangkara, 3 Desember 2020. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya