Liputan6.com, Yangon - Myanmar menghentikan layanan Internet dan mengerahkan pasukan di seluruh negeri pada Senin (15/2/2021) sebagai tanda-tanda penumpasan yang dikhawatirkan terhadap protes anti-kudeta, beberapa jam setelah pasukan keamanan menembak untuk membubarkan demonstrasi di utara negara itu.
Pemerintah militer telah meningkatkan upaya untuk memadamkan kampanye pembangkangan sipil yang sedang berkembang, yang menuntut kembalinya pemimpin negara yang digulingkan Aung San Suu Kyi, sebagaimana mengutip laman Channel News Asia.
Advertisement
Pemblokiran akses internet pada hari Senin dan permintaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar pengamat diizinkan masuk segera setelah gambar streaming langsung yang dibagikan di platform media sosial menunjukkan kendaraan militer dan tentara bergerak melalui beberapa bagian negara.
Kelompok pemantau NetBlocks mengatakan "pemadaman informasi yang diperintahkan negara" telah membuat Myanmar hampir seluruhnya berstatus offline.
Pasukan di Myitkyina menembakkan gas air mata, kemudian menembaki kerumunan yang berkumpul di kota bagian utara untuk menghentikan rumor pemadaman jaringan listrik.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Seruan Menahan Diri
Pernyataan bersama dari duta besar AS, Inggris dan Uni Eropa mendesak pasukan keamanan untuk tidak membahayakan warga sipil.
"Kami menyerukan pasukan keamanan untuk menahan diri dari kekerasan terhadap demonstran, yang memprotes penggulingan pemerintah sah mereka," kata mereka.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggemakan seruan itu, mendorong pihak berwenang untuk "memastikan hak berkumpul secara damai sepenuhnya dihormati dan para demonstran tidak dikenakan pembalasan".
Melalui juru bicaranya, Guterres juga meminta militer untuk "segera" mengizinkan diplomat Swiss Christine Schraner Burgener mengunjungi Myanmar "untuk menilai situasi secara langsung".
Advertisement