Liputan6.com, Jenewa - Ngozi Okonko-Iweala dari Nigeria berhasil terpilih sebagai wanita pertama yang memimpin World Trade Organization (WTO). Ia adalah mantan menteri keuangan di Nigeria.
Wanita itu sudah dijagokan menjadi pemimpin WTO sejak pesaingnya, Yoo Myung-hee, mundur dari pencalonan. Yoo Myung-hee adalah menteri perdagangan Korea Selatan.
Baca Juga
Advertisement
Finalisasi pemilihan Ngozi Okonko-Iweala dilakukan pada Selasa (16/2/2021). Ia akan menjabat hingga 2025.
"Terima kasih anggota-anggota WTO yang memfinalisasi pemilihan saya hari ini dan membuat sejarah. Selama 73 tahun GATT dan WTO, merasa terhormat menjadi wanita dan warga Afrika pertama yang memimpin. Tetapi sekarang pekerjaan sebenarnya dimulai," ujar Ngozi melalui Twitter.
Ngozi Okonko-Iweala memiliki gelar PhD dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia pernah berkarier juga di Bank Dunia.
Pencalonan Ngozi mendapat dukungan kuat dari pemerintahan Joe Biden, sementara pemerintahan Donald Trump mendukung Menteri Perdagangan Korsel Yoo Myung-hee.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Indonesia Akan Menuju WTO untuk Bela Sawit
WTO di bawah komando Ngozi akan mengurus perkara sawit Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengajukan ke WTO mengenai diskriminasi produk sawit yang dilakukan oleh Eropa. Selama ini pemerintah melihat bahwa Eropa menjalankan kampanye hitam produk sawit asal Indonesia.
"Kami juga sudah mengajukan gugatan kepada Eropa melalui WTO atas diskriminasi tersebut," kata Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, dalam Webinar Nasional Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit Secara Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional, Jakarta, Rabu, 10 Februari 2021.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga telah bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk melawan kampanye hitam dari Eropa.
"Februari 2021 presiden sudah ketemu perdana menteri malaysia untuk melawan kampanye hitam anti kelapa sawit di Eropa," kata dia.
Moeldoko mengatakan secara regional Indonesia-Malaysia bersama semua negara yang dapat diskriminasi sepakat melawan kampanye hitam tersebut. Dia menambahkan, upaya tersebut juga harus didukung petani dan pelaku usaha perkebunan sawit untuk menerapkan praktik peryanian yang baik dan berkelanjutan.
Sehingga pemerintah memiliki bukti nyata yang bisa mendukung perlawanan kampanye hitam dari Eropa.
"Dalam advokasi sawit ini butuh bukti nyata dukungan. Tapi perlu juga ada perbaikan tata kelola sawit. Gimana kita kolaborasi untuk menyelesaikan masalah ini," kata dia mengakhiri.
Advertisement