Liputan6.com, Jakarta - Limbah medis COVID-19 perlu penanganan yang cepat dan serius agar tidak menimbulkan masalah-masalah baru. Dalam upaya mengatasi masalah ini, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat (DLH Jabar) menghimpun saran dari ahli pengelolaan limbah, Enri Damanhuri.
Saran-saran ini disampaikan oleh Kepala DLH Jabar Dr. Ir. Prima Mayaningtyas, M.Si, dalam seminar daring Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Selasa (16/2/2021).
Advertisement
Menurut Prima, Enri yang juga seorang Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), memberikan saran terkait penanganan sampah masker rumah tangga oleh petugas pengumpul sampah sebagai berikut:
-Sampah masker sebaiknya digolongkan sebagai sampah medis-infeksius, dan ditangani sebagaimana layaknya limbah medis.
-Petugas pengumpul sampah harus dipastikan dilengkapi dengan APD khususnya masker dan sarung tangan yang setiap hari harus dicuci atau diganti yang baru. Jangan lupa mengenakan sepatu pelindung.
-Kumpulkan sampah masker dari rumah-rumah dan masukkan dalam wadah tersendiri. Jangan membuka kantong sampah masker tersebut, apalagi menyentuh sampah masker di dalamnya.
-Angkut wadah tersebut ke lokasi TPS atau TPA, musnahkan dengan insinerasi atau autoclave. Kantong plastik yang berisi sampah-sampah masker tersebut jangan dibuka, tetapi masukkan seluruhnya ke dalam insinerator atau autoclave.
-Bila tidak tersedia fasilitas pemusnah, simpan wadah penyimpanan sampah-sampah masker tersebut, isolasi di tempat yang aman paling tidak selama 6 hari, konsultasi ke departemen kesehatan atau lembaga Eijkman sebelum diberlakukan sebagai sampah biasa yang harus dikelola secara baik.
-Tidak dianjurkan memilah sampah masker yang bercampur dengan sampah lain. Sebaiknya sampah tercampur tersebut diisolasi sebagaimana disebut di atas.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Berikut Ini
Kendala Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Sebelumnya, Prima juga menyampaikan ada lima kendala yang dihadapi terkait penanganan limbah medis COVID-19 dari rumah tangga. Kelima kendala itu adalah kurangnya edukasi kepada masyarakat, sulitnya pemilihan limbah, belum adanya tata kelola, banyak limbah yang terlepas ke lingkungan, dan kurangnya koordinasi.
“Edukasi kepada masyarakat kurang, apalagi yang tanpa gejala (OTG) dia enggak ngerti bahwa dia kena COVID-19,” ujar Prima.
Ia melanjutkan, sulitnya pemilahan limbah medis dengan sampah rumah tangga juga sering terjadi. Biasanya, masyarakat tidak memilah dan tidak membuang sampah medis sesuai dengan prosedur tapi malah disatukan dengan sampah rumah tangga.
“Kami ingin memastikan sebetulnya siapa yang bertanggung jawab atas limbah medis. Kalau di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) jelas itu tanggung jawab fasyankes di bawah dinas kesehatan.”
“Tetapi kalau dari rumah tangga ini menjadi tanggung jawab sendiri, sementara dinas lingkungan hidup kalau provinsi mengelola sampahnya regional, kalau kabupaten/kota hanya mengolah sampah domestik yang skalanya sesuai skala kabupaten/kota.”
Kendala selanjutnya adalah sudah banyaknya limbah medis rumah tangga yang terlanjur terlepas ke lingkungan dan bercampur dengan limbah rumah tangga lainnya.
Selain itu, kurangnya koordinasi antar instansi dan pemangku kepentingan turut mempersulit penanganan masalah. Salah satu contoh akibat kurangnya koordinasi adalah jalur pengangkutan sampah medis yang tidak sesuai ketentuan.
“Saya juga heran kadang kala orang mengangkut limbah medis pun lewat jalan yang bukan kewenangannya.”
Terakhir, tata kelola limbah medis COVID-19 di rumah tangga belum ada. Padahal, hal ini penting untuk diketahui masyarakat agar praktik membuang sampah medis sembarangan dapat dicegah.
Lebih jauh lagi, data menyebutkan bahwa timbulan limbah medis dan limbah B3 (LB3) di rumah sakit Jawa Barat semakin meningkat.
Bahkan, timbulan limbah medis dapat mencapai 14,2 ton per hari dan timbulan limbah COVID-19 mencapai 1,7 ton per hari di 261 rumah sakit dari total 383 rumah sakit (68 persen), kata Prima.
Advertisement