Varian Virus Seperti SARS-CoV-2 Sudah Ada di Kamboja pada 2010

Menurut tim peneliti, mereka menemukan jejak virus Corona penyebab COVID-19 pada ekspedisi yang mereka lakukan pada 2010 silam di Kamboja.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Feb 2021, 20:00 WIB
Ilustrasi kelelawar yang dianggap menjadi penyebab penyebaran virus corona. (dok. Jochemy/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

The Conversation, Jakarta - Hingga kini para ilmuwan terus mempelajari virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang kini mewabah di dunia. Salah satu fokus penelitian yakni menemukan asal mula virus tersebut.

Para peneliti dunia saling berbagi informasi mengenai temuan mereka melalui situs bioRxiv. Salah satunya penelitian yang pernah dilakukan oleh tim riset dari Museum National d'Histoire Naturelle di Prancis. Menurut tim peneliti, mereka menemukan jejak virus Corona penyebab COVID-19 pada ekspedisi yang mereka lakukan pada 2010 silam.

Peneliti biologi bidang mamalia dari Sorbonne Universite dan juga Museum National d'Histoire Naturelle Alexandre Hassanin menulis dalam laman The Conversation, para peneliti dari museum di Paris itu diundang oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) serta otoritas Kamboja untuk mengeksplorasi beberapa situs di Kamboja utara pada akhir 2010.

Para peneliti diundang untuk mempelajari keanekaragaman hayati kelelawar di Kuil Preah Vihear. Menurut Hassanin, banyak spesies kelelawar yang ditangkap selama survei, termasuk delapan jenis kelelawar tapal kuda (genus Rhinolophus). Bagi ahli virologi, kelelawar ini sangat menarik karena merupakan reservoir semua Sarbecoviruse, kelompok virus corona yang termasuk SARS-CoV dan SARS-CoV-2, yang secara berurutan menyebabkan epidemi SARS pada 2002-2004 dan pandemi COVID-19 sekarang.

Sampel-sampel hasil survei disimpan di lemari pendingin bersuhu -80 derajat Celsius. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada 2020, sampel-sampel tersebut dikeluarkan dan diuji oleh Institut Pasteur of Cambodia (IPC) guna mencari Sarbecoviruses. Sebuah tes PCR menunjukkan dua hasil positif dan pengurutan lengkap genom dimulai. Dua varian virus yang dekat SARS-CoV-2 ditemukan pada dua kelelawar spesies Rhinolophus shameli yang kami tangkap pada 2010 di gua di Provinsi Steung Treng.

Hasil riset ini dapat diakses di situs bioRxiv dan tengah menunggu tinjauan sejawat (peer review).

 


Ditemukan pada kelelawar di Provinsi Yunnan di China dan Asia Tenggara

Penemuan ini penting karena virus ini adalah yang pertama ditemukan di luar China yang dekat dengan SARS-CoV-2 – dari 29.913 basis selaras di dalam genom dua virus, 93 persennya identik. Semua yang dipaparkan sebelumnya ditemukan pada binatang-binatang yang ditangkap di China, termasuk dua virus yang ditemukan pada dua spesies kelelawar Rhinolophus di Cina selatan, dan dua lagi virus yang berbeda (90 persen dan 85 persen) ditemukan di trenggiling yang disita oleh bea cukai China di Provinsi Guangdong dan Guangxi.

Virus baru dari Kamboja ditemukan pada spesies kelelawar endemik di Asia Tenggara tidak begitu berbeda dari Yunnan, tempat dua kelelawar bervirus seperti SARS-CoV-2 ditemukan.

Implikasi langsungnya adalah virus yang serupa dengan SARS-Cov-2 telah bersirkulasi selama beberapa dekade, seperti yang diungkapkan oleh penanggalan molekuler, melalui Asia Tenggara dan Yunnan, dan spesies kelelawar yang berbeda kemungkinan telah menyebarkan virus-virus ini ke gua yang mereka tinggali.

Para peneliti China telah mencari-cari Sarbecoviruses di negara mereka selama sekitar 15 tahun. Mereka menemukan lebih dari 100 virus yang menyerupai SARS-CoV tapi hanya dua yang berkerabat dengan SARS-CoV-2. Karena itu, data baru ini membenarkan hipotesis bahwa sebagian besar virus menyerupai SARS-CoV-2 terdapat di Asia Tenggara, sedangkan virus menyerupai SARS-CoV dominan berada di China.

Data secara tidak langsung mendukung hipotesis bahwa grup SARS-CoV-2 sebenarnya berawal mula dari daratan Asia Tenggara. Dan benar, populasi manusia di Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam tampak kurang terdampak pandemi pandemi COVID-19 dibandingkan negara-negara lain di wilayah itu, seperti Bangladesh, Myanmar, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Ini menunjukkan bahwa populasi dari empat negara daratan itu mungkin dipengaruhi dengan baik oleh tingkat imunitas kawanan (herd immunity) Sarbecoviruses.

 


Trenggiling Ditulari oleh Kelelawar di Asia Tenggara

Sejumlah hewan trenggiling saat diamankan pihak berwenang di Belawan, Sumatra Utara (13/6). Tim gabungan Lantamal I dengan Mabes TNI AL berhasil mengamankan ratusan trenggiling senilai USD 190.000 sekitar Rp 2,5 miliar. (AFP Photo/Gatha Ginting)

Selain kelelawar, trenggiling Sunda (Manis javanica) menjadi satu-satunya binatang liar yang memiliki virus menyerupai SARS-CoV-2. Masalahnya adalah penemuan-penemuan ini ditemukan dalam konteks yang lumayan unik, yaitu penjualan trenggiling. Beberapa binatang sakit disita oleh bea cukai Cina di Provinsi Guangxi pada 2017-2018 dan Provinsi Guangdong pada 2019.

Meski virus yang diurutkan di trenggiling ini tidak begitu dekat dengan SARS-CoV-2 (satu virus 85 persen dentik dan satunya lagi 90 persen identik), virus ini menandakan bahwa paling tidak dua Sarbecoviruses kemungkinan telah diimpor ke Cina lumayan jauh sebelum epidemi COVID-19. Dan memang, telah ditemukan bahwa trenggiling dari negara-negara Asia Tenggara telah menulari satu sama lain ketika dalam kurungan di teritori Cina.

Pertanyaan yang tersisa adalah bagaimana trenggiling awalnya terinfeksi. Mungkinkah mereka terinfeksi di lingkungan Asia Tenggara alami mereka, sebelum ditangkap? Penemuan virus baru yang dekat dengan SARS-CoV-2 pada kelelawar di Kamboja mendukung hipotesis ini, karena kelelawar Rhinolophus dan trenggiling bisa berkontak, paling tidak terkadang di gua yang ada di Asia Tenggara. Ini memperkuat hipotesis bahwa perdagangan trenggiling yang menyebabkan banyak ekspor virus mirip SARS-CoV-2 ke Cina.

 


Efek “Bola Salju” dari Beternak Binatang Karnivora Kecil

Pada 2002-2004, beberapa binatang karnivora kecil ditangkap di dalam kurungan di pasar China atau restoran yang ditemukan positif SARS-CoV, seperti musang palem bertopeng, rakun dan musang luwak China.

Binatang-binatang karnivora kecil ini mamalia yang penyendiri dan aktif pada malam hari – persis seperti trenggiling. Di alam liar, penularan sesekali pada satu individu dari spesies ini oleh kelelawar Sarbecovirus memiliki kemungkinan kecil menyebabkan epidemi. Namun, satu binatang terinfeksi yang ditempatkan di satu fasilitas penangkaran intensif bisa menyebabkan evolusi virus jenis ini secara cepat dan tidak terkendali.

Pada 2020, cerpelai Amerika yang diternakkan untuk diambil bulunya terkontaminasi virus SARS-CoV-2 dari manusia di Eropa dan Amerika Serikat. Pada November 2020, jutaan cerpelai di Denmark dimatikan massal setelah binatang-binatang itu terinfeksi COVID-19 dan secara bergantian menyebarkan virus yang bermutasi kembali ke manusia.

Krisis COVID-19 mengajari dunia bahwa mengurung binatang-binatang karnivora kecil dengan jumlah yang sangat besar memiliki risiko kesehatan yang besar: virus bisa menyebar dan berevolusi dengan cepat di fasilitas penangkaran, berpotensi memproduksi varian yang lebih terkontaminsasi atau lebih berbahaya. Seperti trenggiling dan spesies karnivora kecil yang sering ditahan dan dijual bersama di pasar basah, efek “bola salju” karena penularan virus antarspesies bisa menjadi langkah terakhir dalam permulaan pandemi COVID-19 pada manusia.

Skenario ini kemungkinan besar terjadi karena hampir satu juta trenggiling telah dijual pada dekade lalu dan jutaan binatang karnivora kecil diternakkan di peternakan bulu di China.

Untuk menguji coba hipotesis ini dan memahami bagaimana epidemi sedang bermunculan di China dan tidak di tempat lain, akan menjadi menarik untuk mencari infeksi yang mungkin terjadi karena Sarbecoviruses dalam sampel cerpelai Amerika dan anjing luwak yang diternakkan untuk diambil bulunya di China.

Sampel-sampel ini ada, mereka dikoleksi selama dua dekade untuk mempelajari virus virus distemper anjing atau virus flu burung H5N1 dan H9N2.

 

 


Infografis

Infografis Varian Baru Virus Corona Hantui Inggris. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya