Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Salah satunya adalah membuat RPP Postelsiar yang mewajibkan kerja sama penyelenggara OTT dengan penyelenggara telekomunikasi.
Kendati demikian, niat pemerintah ini ditolak oleh penyedia layanan OTT (over the top) asing karena dianggap bertentangan dengan prinsip net neutrality. Padahal, konsep ini pun sudah tidak berlaku lagi untuk Amerika Serikat.
Advertisement
Pengamat sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan, net neutrality yang disuarakan oleh beberapa LSM merupakan kampanye terselubung OTT asing yang masuk dan beroperasi di Indonesia tanpa diikat undang-undang yang berlaku.
"Strategi OTT asing masuk ke sejumlah negara termasuk Indonesia tanpa mengikuti aturan yang berlaku. OTT asing itu ingin membawa dan mendistribusikan kontennya secara bebas tanpa ada kontrol," tuturnya dalam keterangan yang diterima, Rabu (17/2/2021).
Padahal, Indonesia tidak mengadopsi net neutrality karena dianggap tidak sesuai dengan norma dan perundang-undangan yang ada.
Menurutnya, dalam menerapkan net neutrality, OTT asing dapat menyalurkan kontennya tanpa kontrol dari pemerintah. Padahal kata Heru, kontrol pemerintah begitu mutlak diperlukan.
Menurutnya selain untuk menjaga kedaulatan negara, kontrol tersebut dibutuhkan agar pemerintah bisa melindungi warga dari konten ilegal dan negatif yang dibawa oleh OTT asing.
Indonesia Tak Kenal Net Neutrality
"Saat ini Indonesia hanya mengenal teknologi netral di industri telekomunikasi. Indonesia tidak mengenal net neutrality. Masa kita ingin OTT asing menyebarkan konten negatif dan ilegal di Indonesia, sebut saja perjudian, pornografi, atau LGBT. Penyebaran konten negatif dan ilegal di Indonesia melanggar perundang-undangan yang ada," katanya.
Padahal konten-konten tersebut dilarang beredar di Indonesia jika merujuk pada UU ITE, UU Pornografi, dan UU Perjudian.
"Sekilas net neutrality terlihat bagus, tetapi ketika ditelaah lebih dalam, net neutrality memiliki mudarat, selain itu juga tidak ada hubungan dengan kebebasan berpendapat di Indonesia," tuturnya.
Ia juga mengatakan, net neutrality tidak sama dengan kebebasan berpendapat. Pasalnya, meski tanpa net neutrality masyarakat tetap bisa berpendapat di ruang digital. "Kampanye net neutrality akan mengganggu kebebasan berpendapat yang merupakan hal keliru," tuturnya.
Menurutnya, jika pemerintah mencabut kewajiban kerja sama OTT asing dengan operator telekomunikasi di Indonesia, negara akan makin tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan di ruang digital.
Jika itu terjadi menurutnya negara tidak lagi berfungsi di ruang digital. Padahal di ruang digital, negara memiliki kepentingan yang besar terutama untuk melindungi masyarakat.
Advertisement
Kerja Sama OTT Asing dengan Operator Perlu Diwajibkan
"Dalam kasus Netflix dengan Telkom Group, itu kan ada konten pornografi dan LGBT, wajar jika Telkom Group melakukan batasan akses. Pembatasan akses tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanah UU. Kalau tidak dilakukan, mereka bisa disalahkan" katanya, menilik Netflix di Indonesia.
Untuk itu, Heru meminta pemerintah agar berhati-hati dalam memahami net neutrality yang didengungkan OTT asing.
"Agar negara tetap berdaulat di ruang digital dan tidak dikontrol OTT asing, kewajiban OTT asing perlu bekerja sama dengan operator telekomunikasi di Indonesia harus dipertahankan di RPP Postelsiar. Kewajiban kerja sama penting untuk memperkuat ekosistem digital di Indonesia," katanya.
Ia menekankan, agar negara berdaulat, pemerintah harus mengatur OTT asing dengan tegas. Salah satunya memasukkan kewajiban kerja sama dengan operator melalui RPP Postelsiar.
"Untuk itu, pasar kewajiban kerja sama jangan sampai dihilangkan. Kewajiban tersebut diharapkan akan menjaga kedaulatan negara di ruang digital, karena itu bagian tak terpisahkan dari amanah UU," tuturnya.
(Tin/Ysl)