Aksi Pencucian Uang Meningkat, RUU Pembatasan Uang Kartal Kembali Dikebut

RUU Pembatasan Uang Kartal diangkat kembali mengingat semakin tingginya berbagai tindak kejahatan, baik pencucian uang maupun terkait pendanaan terorisme.

oleh Andina Librianty diperbarui 17 Feb 2021, 21:01 WIB
Gedung PPATK (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kementerian Hukum dan HAM bersama kembali membahas tentang percepatan pembahasan dan penerapan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK).

Isu ini diangkat kembali mengingat semakin tingginya berbagai tindak kejahatan, baik pencucian uang maupun terkait pendanaan terorisme yang cenderung menggunakan modus transaksi secara tunai.

Pembahasan ini dilakukan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, pada Senin (15/2/2021).

"Pembatasan transaksi uang kartal diperlukan agar tindak kejahatan ekonomi apapun seperti narkoba, korupsi maupun tindak pidana terkait pendanaan terorisme dapat dicegah lebih dini serta dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam bertransaksi," jelas Koordinator Kelompok Kehumasan PPATK, M. Natsir Kongah, seperti dikutip dari keterangan resminya pada Rabu (17/2/2021).

Aturan mengenai pembatasan transaksi uang kartal disebut akan memberikan manfaat untuk pemerintah, antara lain menghemat jumlah uang yang harus dicetak, bahan baku uang, dan biaya penyimpanan (fisik) uang di Bank Indonesia.

Selain itu juga mengurangi peredaran uang palsu, serta mendidik dan mendorong masyarakat untuk menggunakan sistem pembayaran yang lebih aman dan mudah dalam bertransaksi.

Beberapa urgensi pembahasan RUU ini antara lain karena RUU PTUK merupakan salah satu rancangan kebijakan nasional yang disusun oleh pemerintah dalam rangka mendorong finansial inklusi dan menggalakkan program gerakan non-tunai.

Selain itu juga dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, khususnya berasal dari tindak pidana yang kerap kali menggunakan transaksi tunai sebagai upaya penyamaran dan penyembunyiannya.

RUU PTUK memiliki dua substansi utama, yaitu batasan nilai berikut pengecualian atas batasan nilai transaksi uang kartal (Pasal 3 s.d Pasal 13), serta pengawasan pembatasan transaksi uang kartal (Pasal 13 s.d Pasal 17).

Batasan transaksi menggunakan uang kartal dengan nilai paling banyak Rp 100.000.000, sehingga setiap orang yang akan bertransaksi di atas batasan wajib dilakukan secara non-tunai melalui penyedia jasa keuangan.

Terkait dengan pengawasan penerapan RUU PTUK akan dilakukan oleh Bank Indonesia, kecuali pengawasan yang dilakukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh PPATK.

 

Saksikan Video Ini


Pengkajian Sejak 2011

Gedung PPATK (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Substansi dan urgensi RUU PTUK telah dikaji oleh PPATK sejak 2011, dan akhirnya diputuskan oleh pemerintah untuk diajukan sebagai RUU pada tahun 2017 dengan initial draft dari PPATK.

Adapun RUU PTUK telah selesai dibahas di tingkat pemerintah pada 2018 yang dalam pembahasannya melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM.

Kemudian Otoritas Jasa Keuangan, Sekretariat Negara, serta PPATK. RUU PTUK telah disampaikan ke presiden untuk mendapatkan persetujuan, selanjutnya untuk disampaikan ke DPR RI dan dilakukan pembahasan bersama.

RUU PTUK telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional periode 2015-2019, dan kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional periode 2020-2024. Kemenkumham telah mengusulkan agar RUU PTUK dapat menjadi salah satu RUU yang ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Namun, ternyata usulan dari pemerintah tersebut tidak disetujui, sehingga RUU PTUK tidak dapat dibahas pada tahun lalu.

Merujuk hasil riset yang dilakukan oleh PPATK terkait Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan Pendanaan Terorisme 2020, dalam hal pemindahan dan penggunaan dana, kecenderungan yang muncul dengan melakukan penarikan tunai menggunakan cek jumlah besar.

Cara lain, penarikan tunai menggunakan ATM dalam jumlah maksimal penarikan per hari atau menggunakan slip penarikan tunai oleh pemilik rekening di wilayah rawan terorisme. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi tunai masih menjadi pilihan utama dalam hal pendanaan terorisme.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya