Liputan6.com, Jakarta Menko Polhukam Mahfud Md menyinggung penerapan restorative justice pada saat menjadi pembicara pada Rapim TNI Polri 2021 Selasa 16 Februari 2021. Dia memberi contoh pada kasus pemerkosaan.
"Misal ada Siti diperkosa. Kalau mau hukum tegas, pemerkosa tangkap masuk ke pengadilan, selesai. Tapi restorative justice tidak bicara itu. Restorative justice bilang, kalau kita tangkap Amir sebagai pemerkosa lalu diumumkan bahwa dia memperkosa Siti, keluarga Siti hancur," kata Mahfud Md.
Advertisement
"Maka sebab itu, dulu di hukum adat ada istilah diam-diam saja kamu lari biar orang tidak tahu. Makanya dulu ada kawin lari. Itu restorative agar orang tidak ribut. Apa yang diperkosa tidak malu kepada seluruh kampung, kawin di luar daerah sana. Itu contoh restorarive justice. Membangun harmoni," lanjut dia.
Pernyataan itu menuai kritikan, salah satunya datang dari Peneliti Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati yang menyebut Mahfud Md memberikan contoh keliru.
"Sebagai catatan mendasar yang harus diketahui, nilai RJ (restorative justice) hadir sejalan dengan gerakan penguatan hak korban. Titik sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku untuk mencapai harmoni, agar proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat memulihan atau restoratif," kata Maidina dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).
Dia menuturkan, restorative justice bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat.
Pada kasus perkosaan, restorative justice bisa saja diterapkan, namun tetap titik sentral yang harus diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang korban untuk menyampaikan kerugiannya.
"Membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya, untuk kemudian menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban," jelas Maidina.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Contoh Buruk
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah menambahkan, pernyataan Mahfud yang menyebut pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga, justru adalah contoh buruk.
"Ini praktik yang selama ini bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip RJ," ujar Liza.
Liza menyampaikan, pernyataan itu juga tidak berpihak pada upaya memberikan penguatan pengaturan hak korban perkosaan atau pun kekerasan seksual. Data survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 lalu terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93 persen korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya.
"Salah satu alasan mendasar adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban," katanya.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar membeberkan, hasil survei lembaganya dan INFID pada 2020 lalu juga menujukkan bahwa 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual, menyatakan bahwa aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual.
"Dengan adanya pernyataan ini, aktor high level yang seharusnya memberikan jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban," kata dia.
Baik ICJR, IJRS, dan LeIP pun meminta Menkopolhukam Mahfud Md untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut.
"Serta memberikan jaminan bahwa penerapan RJ harus dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama," kata Dio.
Advertisement