Diplomat Top AS hingga Australia Serukan Demokrasi Myanmar Usai Kudeta Militer

Sejumlah negara termasuk AS, Australia, India hingga Jepang menyerukan kembalinya demokrasi Myanmar usai terjadinya kudeta militer.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 19 Feb 2021, 09:43 WIB
Penggemar sepak bola Klub Sepak Bola Arsenal memajang plakat menentang kudeta militer dengan sepeda motor mereka di Mandalay, Myanmar pada 18 Februari 2021. (Foto AP)

Liputan6.com, Yangon - Para diplomat top Amerika Serikat, India, Jepang dan Australia pada Kamis 18 Februari menyerukan kembalinya demokrasi di Myanmar dalam pembicaraan empat arah, kata Departemen Luar Negeri AS.

Menteri Luar Negeri Antony Blinken dalam pembicaraan bersama pertamanya dengan apa yang disebut Quad membahas "kebutuhan mendesak untuk memulihkan pemerintah yang dipilih secara demokratis di Burma, dan prioritas penguatan ketahanan demokrasi di wilayah yang lebih luas," kata juru bicara Ned Price.

Melansir Channel News Asia, Jumat (19/2/2021), militer Myanmar telah menangkap para pemimpin sipil, termasuk peraih Nobel Aung San Suu Kyi, dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun. Pihaknya menuduh bahwa pemilihan November dilanda penipuan. Komisi pemilihan menolak keluhan tentara.

Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi mengatakan pada hari Kamis bahwa dia telah setuju dengan rekan-rekannya dari AS, India dan Australia bahwa demokrasi harus dipulihkan dengan cepat di Myanmar.

Motegi memberikan komentarnya setelah percakapan telepon dengan Blinken, Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar dan Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne.

Load More

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Inggris akan Jatuhkan Sanksi

Seorang demonstran beristirahat di rel kereta api dalam upaya mengganggu layanan kereta selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar (17/2/2021). Demonstran di Myanmar berkumpul dalam jumlah terbesar untuk memprotes kudeta militer. (AP Photo)

Secara terpisah pada hari Kamis, Inggris mengumumkan akan menjatuhkan sanksi pada tiga jenderal di Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius setelah terjadinya kudeta militer.

"Kami, bersama sekutu internasional kami akan meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia mereka dan mengejar keadilan bagi rakyat Myanmar," kata menteri luar negeri Dominic Raab.

Washington memberlakukan sanksi baru terhadap militer Myanmar minggu lalu dan telah mendesak anggota PBB lainnya untuk mengikutinya.

Inggris mengatakan akan segera memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap tiga anggota militer Myanmar: Menteri Pertahanan Mya Tun Oo, Menteri Dalam Negeri Soe Htut dan Wakil Menteri Dalam Negeri Than Hlaing.

Di sisi lain, Inggris telah memberlakukan sanksi terhadap 16 orang dari militer Myanmar.

Selain itu, pengamanan lebih lanjut sedang diterapkan untuk mencegah bantuan Inggris secara tidak langsung mendukung pemerintah yang dipimpin militer.

"Militer dan polisi Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk melanggar hak untuk hidup, hak atas kebebasan berkumpul, hak untuk tidak ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang, dan hak atas kebebasan berekspresi," menurut pernyataan pemerintah.

Kanada mengumumkan sanksi serupa terhadap sembilan pejabat militer Myanmar pada hari Kamis, dengan mengatakan kudeta telah menyebabkan penahanan massal, penggunaan kekuatan dan pembatasan kebebasan demokratis.

"Kami bekerja bersama mitra internasional kami yang menyerukan pemulihan pemerintah yang dipilih secara demokratis, dan kami menggemakan seruan mereka kepada militer Myanmar untuk membebaskan mereka yang telah ditahan secara tidak adil dalam pengambilalihan militer," kata Menteri Luar Negeri Marc Garneau dalam sebuah pernyataan.


Sikap Bank Dunia

Para pengunjuk rasa dengan skuter dan petani yang mengendarai traktor dengan poster pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi yang ditahan di bagian depan mengambil bagian dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Thongwa, di pinggiran Yangon (12/2/2021). (AFP/STR)

Sementara itu, Bank Dunia pada hari Kamis mengatakan mengambil sikap "ekstra hati-hati" terhadap keterlibatan di masa depan dengan Myanmar tetapi terus melaksanakan proyek yang ada di sana. 

Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan kepada wartawan bahwa pemberi pinjaman pembangunan multilateral tidak memiliki proyek baru di  Myanmar yang sedang dikerjakan dan akan mencari panduan dari pemegang sahamnya tentang bagaimana untuk bergerak maju. 

Bank tersebut sebelumnya telah mengambil pendekatan hati-hati karena masalah dengan perlakuan Myanmar terhadap Muslim Rohingya, tambahnya. 


Infografis Kudeta Militer di Myanmar:

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya