Liputan6.com, Jakarta - Laju vaksinasi COVID-19 di Indonesia masih lamban. Padahal, pemerintah menargetkan penyuntikkan vaksin COVID-19 pada satu juta orang per hari.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan jajarannya mempercepat program vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Jokowi menargetkan vaksinasi COVID-19 bisa rampung sebelum akhir tahun ini. Mantan Walikota Solo ini percaya target yang ambisius tersebut bukan sesuatu yang mustahil.
Advertisement
"Kita harapkan memang targetnya karena kita memiliki 30.000 vaksinator yang ada di kurang lebih 10.000 Puskesmas kita, maupun 3.000 rumah sakit kita, kita harapkan sebetulnya sehari paling tidak bisa 900 [ribu]-1 juta yang bisa divaksin," ujar Jokowi dalam sebuah video yang diunggah Youtube Sekretariat Presiden.
Jokowi mengaku telah memerintahkan agar proses vaksinasi kurang lebih kepada 181,5 juta rakyat Indonesia bisa diselesaikan sebelum akhir tahun 2021. Eks Gubernur DKI Jakarta ini menyatakan telah memesan 426 juta dosis vaksin COVID-19 untuk rakyat, yang berasal dari empat perusahaan dan negara yang berbeda.
"Jadi di Januari 3 juta, Februari 4,7 juta, Maret 8,5 juta, April 16,6 juta, Mei 24,5 juta, Juni 34,9 juta. Itu di dalam perencanaan yang telah kita buat meskipun bisa berubah lebih bayak agi. Kita harapkan dengan vaksinasi massal ini akan muncul herd immunity. Sehingga risiko penyebaran Covid-19 dan kegiatan ekonomi akan sepenuhnya kembali lagi," papar Jokowi.
Vaksin dianggap penting dalam upaya meredam pandemi COVID-19 yang terjadi di dunia. Vaksin COVID-19 memiliki tiga cara memicu kekebalan tubuh yakni; (1) Mengenali virus atau bakteri pembawa penyakit seperti COVID-19, (2) Mengingat virus atau bakteri pembawa penyakit dan cara melawannya, (3) Melawan penyakit dengan memproduksi antibodi.
Prioritas vaksinasi untuk tahap pertama diberikan kepada tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat. Lalu, vaksinasi kedua bakal diprioritaskan kepada aparat TNI dan Polri, petugas pelayan publik, dan masyarakat lansia.
Pada tahap pertama yang berlangsung pada Januari-April 2021, pemerintah menargetkan penyuntikan vaksin kepada 1,3 juta tenaga kesehatan, 17,4 juta petugas publik, dan 21,5 juta lansia. Jokowi berharap, vaksinasi untuk kelompok pelayan publik dapat dilaksanakan pada pertengahan Februari 2021.
Dalam situs resmi Satgas COVID-19 menunjukkan, per 18 Februari 2021, angka vaksinasi COVID-19 ke-1 di Indonesia total telah mencapai 1.164.144 penerima. Seperti diketahui, vaksinasi COVID-19 produksi Sinovac dilakukan dua kali kepada setiap penerima. Jarak waktu antara vaksinasi pertama dengan vaksinasi kedua sekitar 14 hari.
Untuk tenaga kesehatan, pemerintah memasang total target vaksinasi COVID-19 sebanyak 1.468.764 penerima. Untuk vaksinasi tenaga kesehatan tersebut, sampai 18 Februari 2021, vaksinasi COVID-19 tahap pertama telah mencapai 79,26 persen dari jumlah sasaran.
Total vaksinasi tahap ke-2 di Indonesia mencapai 623.832 penerima. Dibanding total target vaksinasi Tenaga Kesehatan, vaksinasi COVID-19 ke-2 sudah mencapai 42,47%. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia memasang target total vaksinasi Covid-19 sebanyak 181.554.565.
Apabila dibandingkan dengan total sasaran vaksinasi COVID-19 tersebut, sampai 18 Februari 2021 vaksinasi ke-1 baru mencapai 0,64%. Sedangkan tingkat vaksinasi COVID-19 dosis ke-2 di Indonesia baru mencapai 0,34%.
Kemampuan Penyuntikan Vaksin
Di sisi lain, menurut Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, saat ini kemampuan penyuntikan vaksin COVID-19 Indonesia masih berada di angka 60.000 hingga 80.000 injeksi per hari.
Kemenkes sendiri berniat meningkatkan kemampuan penyuntikan vaksin COVID-19 demi mengejar target vaksinasi tahap pertama kepada 40,2 juta orang yang berlangsung pada Januari sampai April 2021. Siti Nadia mengungkapkan, pemerintah akan melakukan penambahan vaksinator di mana pada akhir Februari 2021 diharapkan sudah ada 81.770 vaksinator.
"Sekarang baru 10.030 fasyankes yang sudah terdaftar. Akan kita tambah dengan mendirikan pos-pos vaksinasi COVID-19. Selain itu kita mengharapkan adanya penambahan hari jadi 7x24 jam dimulai dari jam 08.00 sampai jam 16.00," terang Siti dalam diskusi virtual yang digelar Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia, Rabu (10/2/2021).
Riset Bloomberg dan John Hopkins University yang dimuat media Singapura, Straits Times, menyebut bahwa dengan rata-rata harian vaksinasi di Indonesia sebesar 60.433 dosis per hari, maka dalam perhitungan itu diperoleh, butuh 10 tahun lebih untuk Indonesia menyelesaikan vaksinasi 70 persen dari total penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa dan mencapai herd immunity.
Selain Indonesia, terdapat India dan Rusia yang juga dianalisis perlu waktu 10 tahun lebih untuk menyelesaikan vaksinasi 70 persen dari total penduduk. Perkiraan itu dibuat usai Bloomberg dan John Hopkins University membangun basis data suntikan vaksinasi COVID-19 di seluruh dunia.
Tetap Optimistis
Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban angkat bicara soal analisa Bloomberg mengenai kekebalan kelompok (herd immunity) Indonesia, yang diprediksi akan tercapai dalam waktu 10 tahun. Kekebalan itu dari vaksinasi yang menyasar 70 persen populasi penduduk.
"Kalau melihat data sekarang, Saya cukup optimistis bahwa kita bisa bersaing dengan banyak negara mengenai kecepatan vaksinasi COVID-19, baik dengan India, Bangladesh, dan Amerika Serikat. Jadi, kalau kita lihat concern dari pemerintah," terang Zubairi saat dialog Bersatu Melawan COVID-19 pada Senin, 8 Februari 2021.
Namun, Zubairi enggan ikut memperkirakan berapa lama Indonesia mencapai herd immunity. Zubairi menerangkan, target bebas COVID-19 secara eradikasi--sepenuhnya COVID-19 hilang--mungkin tidak bisa. Tapi, target yang menyasar lebih kepada situasi endemik--penyebaran penyakit dalam suatu daerah atau kelompok populasi tertentu--kemungkinan bisa terjadi.
"Dengan catatan, eradikasi mungkin semua dunia juga tidak bisa. Namun, kalau targetnya pandemi hilang, kemudian menjadi endemik di sini. Artinya, penyebaran virus Corona ada di tempat lain, sementara di sini enggak ada," jelasnya.
"Atau bisa juga sekali-sekali muncul di beberapa tempat. Nah, itu skenarionya yang paling mungkin ke arah ke sana."
Saksikan Video Berikut Ini
Ketersediaan Vaksin Hambat Vaksinasi
Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Profesor Wiku Adisasmito, menyebut proses vaksinasi amat tergantung pada jumlah atau ketersediaan vaksin. Apabila jumlah vaksinnya mencukupi, Wiku optimistis Indonesia mampu melakukan satu juta vaksinasi per hari.
Jumlah orang yang akan divaksin tidak sebanding dengan ketersediaan vaksin COVID-19. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh negara di dunia, sehingga mereka pun bersaing untuk memperoleh vaksin dari pihak-pihak yang memproduksi dan menyediakan.
Sasaran penerima vaksin COVID-19 Indonesia mencapai 181,5 juta penduduk. Pemerintah menargetkan akhir tahun ini vaksinasi COVID-19 rampung, namun melihat situasi dan kondisi sekarang, bukan tidak mungkin rencana itu terhambat.
"Kita kan tahu sekarang jumlah vaksinnya terbatas dan semua lagi berusaha memproduksi dengan cepat," tutur Wiku kala diskusi daring di Jakarta, Sabtu (13/2/2021).
Selain ketersediaan vaksin, hambatan proses vaksinasi di Indonesia juga terancam oleh mutasi virus corona yang amat berpotensi terjadi. Sebab, sudah banyak negara di dunia ini terjadi kasus mutasi virus corona.
Wiku menyatakan, saat ini cukup sulit untuk menerapkan rencana satu juta vaksinasi per hari. Menurut dia, untuk daerah tertentu seperti Jakarta misalnya, target satu juta vaksin per hari bisa saja terwujud. Tapi, bagi beberapa daerah lain yang punya hambatan geografis dan lainnya, sepertinya agak sulit terealisasi.
Pria berusia 56 tahun ini mengungkapkan, pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bisa saja mundur atau malah lebih cepat dari target awal yang ditetapkan. Namun, itu semua tergantung dari ketersediaan vaksin bagi sasaran 181,5 juta masyarakat Indonesia, di mana itu belum ada sepenuhnya di tangan pemerintah.
Agar mempercepat vaksinasi di Tanah Air, Wiku membenarkan vaksin merek lain bakal datang lagi. Tapi, dia menekankan hal tersebut tetap membutuhkan waktu.
Terakhir, ada tambahan 11 juta vaksin yang tiba pada Selasa (2/2/2021). Jumlah 11 juta vaksin yang tiba terakhir itu, sebanyak 10 juta di antaranya bahan baku dan satu juta lainnya vaksin dalam bentuk overfill. Dengan demikian, total baru ada 28 juta vaksin di Indonesia, baik vaksin jadi maupun yang masih berbentuk bahan baku.
Wacana Vaksin Mandiri
Di tengah isu terbatasnya ketersediaan vaksin COVID-19, malah muncul wacana vaksin mandiri, di mana warga berduit bisa membeli vaksin. Namun, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menganggap itu sebagai salah satu upaya percepatan menyelesaikan vaksinasi.
"Vaksin mandiri ini adalah yang disebut vaksin gotong royong. Ini merupakan salah satu upaya percepatan kita untuk bisa menyelesaikan vaksinasi yang tadinya kita rencanakan 15 bulan tadi," ujar Siti Nadia kepada wartawan, 12 Februari 2021.
Menurut Siti Nadia, vaksin gotong royong akan membantu pemerintah dalam upaya memperbanyak orang yang menerima vaksin, sehingga kekebalan antibodi akan segera tercapai. Selain itu, lewat vaksin gotong royong, dia berharap, kekebalan kelompok yang diinginkan betul-betul bisa disegerakan.
"Tentunya, opsi vaksin gotong royong ini memang kita masih kaji lebih lanjut. Terutama nanti ada beberapa pertimbangan-pertimbangan, misalnya mungkin merk (vaksinnya) tidak sama dengan yang digunakan pada vaksin pemerintah. Nanti pelaksanaannya ini akan menunggu, bersamaan dengan pelaksanaan vaksinasi untuk masyarakat banyak," beber Siti Nadia.
Advertisement
Tantangan Vaksinasi di Lapangan
Sebanyak 181,5 juta penduduk Indonesia menjadi sasaran penerima vaksin COVID-19. Jumlah itu merupakan penduduk yang berada di atas usia 18 tahun dan tanpa komorbid atau juga komorbidnya terkontrol.
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan, para penyintas COVID-19 juga masuk dalam daftar penerima vaksin. Siti Nadia menanggapi kekhawatiran tentang potensi adanya kekurangan jumlah vaksin bagi sasaran penerima di Indonesia.
"Penyintas (COVID-19) tiga bulan tidak kehilangan haknya, jadi tetap nanti pada saatnya bisa bergbaung pada periode berikutnya atau tahapan berikutnya bersama masyarakat lainnya. Jadi, tidak akan kehilangan haknya. Dan itu sudah kita janjikan bahwa kalau tidak bisa ikut sekarang, nanti tentunya kan tidak mungkin mendapatkan atau mempercepat vaksinnya, sehingga nanti bisa tetap mengikuti periode berikutnya," jelasnya.
Presiden Joko Widodo sebelumnya sudah membeberkan, pemerintah Indonesia telah memesan 426 juta dosis vaksin COVID-19 dari empat perusahaan dan negara yang berbeda. Siti Nadia berpendapat, setelah menganalisa dan menghitung, jumlah dosis vaksin yang dipesan oleh pemerintah sudah ideal.
"Jadi, kalau melihat perhitungan jumlah vaksin, ini masih mencukupi untuk sampai dengan 426 juta dosis vaksin. Karena perlu diingat ya, 426 juta dosis vaksin itu kan sudah ditambahkan waste test sekitar 15 persen. Jadi kita sebenarnya ada space di sana," kata Siti Nadia dalam keterangan pers Kementerian Kesehatan, 15 Februari 2021.
Tapi, agar 426 juta dosis vaksin itu benar-benar berada di tangan pemerintah, tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jumlah 28 juta dosis vaksin yang baru diterima Indonesia sejauh ini dari produsen pun setidaknya butuh waktu sekitar dua bulan.
Untuk sasaran penerima vaksin COVID-19, pemerintah pusat menyerahkan verifikasi data kepada pemerintah daerah setempat, termasuk data petugas kesehatan sebagai penerima tahap pertama. Demikian pula dengan petugas pelayan publik, ada institusi, lembaga atau unit teknis yang diminta memverifikasi data penerima vaksin COVID-19. "Jadi data tersebut sudah masuk di dalam data piket kita, sehingga saat mereka datang mereka akan sudah terdaftar, baru akan mendapatkan vaksinasi. Kalau kemudian ada susulan-susulan, terkait surat keterangan, itu memang harus diverifikasi oleh kantor bersangkutan. Jadi kita menyerahkan pada sistem verifikasi secara berjenjang ini," imbuh Siti Nadia.
Soal Penolakan
Sementara itu, terkait jika terdapat penolakan vaksinasi dari warga, pemerintah mendahulukan edukasi dan persuasi sebagai langkah utama. Siti Nadia menjelaskan bagaimana keterlibatan para tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi penting untuk keteladanan dan juga mengajak komunitasnya melakukan vaksinasi.
Siti Nadia menekankan bahwa sanksi adalah jalan terakhir apabila vaksinasi benar-benar tidak bisa dilaksanakan. Dia menerangkan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban. Jika masyarakat tidak menggunakan hak mendapat vaksinasi untuk melindungi dirinya, namun kemudian dengan tidak menggunakan haknya itu dia membahayakan masyarakat lain, pemerintah harus mengambil tindakan.
"Walaupun di Perpres 14 tahun 2020 itu dikatakan bahwa ada beberapa sanksi ya, termasuk misalnya sanksi ya penundaan pemberian bansos, sanksi penundaan pengurusan administrasi, bahkan kalau kita hubungkan dengan Undang-Undang Wabah, maka ada beberapa sanksi, yang termasuk misalnya kurungan 1 tahun ataupun 6 bulan atau denda 1 juta atau 500 ribu rupiah. Itu tentunya adalah langkah-langkah terakhir."
"Pada prinsipnya, kita tahu vaksinasi massal COVID-19 ini adalah bertujuan untuk kita bersama-sama sebagai bagian dari warga negara Indonesia untuk kita bisa keluar dari pandemi COVID-19. Jadi, vaksinasi yang diberikan kepada diri kita ini tentunya bertujuan untuk melindungi dan menyelesaikan permasalahan pandemi di negara ini. Jadi bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau individu. Tapi kepentingan masyarakat bersama," katanya.
Harus Realistis
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, berharap pemerintah realistis dengan tujuan dan target vaksinasi. Menurut dia, kurang realistis jika pemerintah mengejar target Herd Immunity.
"Harusnya kita punya tujuan yang realistis, bukan tujuan yang tidak tahu apa artinya. Pemerintah tujuannya Herd Immunity, tapi mengerti tidak konsep Herd Immunity? 70 persen penduduk Indonesia harus divaksinasi. Itu yang mau dicapai? Mungkin tidak 70 persen penduduk (dalam waktu setahun)? Kan tidak mungkin," kata Pandu kepada Liputan6.com.
"Jadi, daripada bicara tidak benar, janji-janji yang tidak mungkin, kita harus berusaha hal-hal yang realistis. Berapa vaksin yang kita punya, sampai kapan program vaksinasi, apalagi ini semua dunia berebut vaksin."
Menurut Pandu, pemerintah harus menerapkan strategi yang tepat untuk mengendalikan dan meredam pandemi.
"Jangan kejar Herd Immunity-lah, 70 persen penduduk harus vaksinasi, yang artinya pukul rata semua Indonesia. Itu sangat sulit. Lebih baik kita fokus vaksinasi pada wilayah yang banyak terinfeksi, pada kelompok-kelompok usia yang rentan atau lansia. Kalau vaksinasi lansia itu dipercepat, angka pasien di rumah sakit akan menurun drastis, angka kematian menurun drastis."
Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) memprediksi pandemi Covid-19 sebenarnya bisa dikendalikan pada bulan September 2021, dengan strategi yang tepat.
Pandu, selaku Pakar Epidemiologi FKM UI, memaparkan prediksi itu dengan menggunggah hasil riset tim FKM UI soal perhitungan pandemi corona di Indonesia.
“Prediksi Indonesia tuntaskan vaksinasi sampai 10 tahun (versi Bloemberg) bisa saja terjadi kalau tidak melakukan strategi vaksinasi yang cerdas & inovatif untuk kendalikan pandemi. Tim FKM UI buat simulasi strategi vaksinasi yang komprehensif. Kita bisa lebih cepat pulih dengan strategi pilihan yang tepat,” tulis Pandu di akun Twitter-nya.
“Hasil estimasi wabah mulai terkendali pada September 2021. Terjadi penurunan kasus baru secara konsisten. Hasil dapat lebih cepat dengan tambahan vaksin Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax yang mempunyai efikasi lebih tinggi, jika jumlah dan kapasitas vaksinator ditambah, pelibatan swasta dan kapasitas cold chain,” jelas riset tersebut.
Strategi dari FKM UI ini, kata Pandu, sudah disampaikan secara langsung kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
"Hari Minggu kemaren tim FKM UI dan Kementrian Kesehatan yang dipimpin Pak Budi langsung, kami berembuk dua jam untuk persentasi lewat zoom. Pak Menkes bilang idenya bagus, mau dipakai dan strateginya mau diubah," ucap Pandu.
Advertisement