Liputan6.com, Samarinda - Dua persidangan telah digelar saat enam warga Samarinda menggugat sejumlah lembaga yudikatif dan kepolisian, termasuk Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda. Gugatan tersebut teregistrasi dengan nomor 3/G/TF/2021/PTUN.SMD.
Namun dari dua kali persidangan, hanya Pengadilan Negeri Samarinda dan Pengadilan Tinggi Kaltim yang mengirimkan kuasanya. Polri dan Presiden Jokowi tidak mengirimkan kuasanya pada proses sidang tersebut.
Pada sidang dismissal yang digelar Senin, 4 Februari 2021, tidak dihadiri presiden ataupun kuasa presiden. Begitu pula sidang perlawanan, yang digelar Senin, 15 Februari 2021, juga tidak hadir.
Baca Juga
Advertisement
Salah satu penggugat, Abdul Rahim menyebutkan,sesuai rilas memang pihaknya bersidang dalam agenda pembacaan gugatan perlawanan atas penetapan dismissal Ketua PTUN Samarinda. Pada penetapan itu gugatan tergugat tidak diterima karena dianggap belum memenuhi upaya administrasi.
“Sementara gugatan kita terkait sengketa perbuatan melanggar hukum, sehingga menurut kami penetapan dismissal tidak tepat dan perlu kami lawan karena tidak mencerminkan kepastiaan hukum," kata Rahim di Samarinda, Jumat (20/2/2021).
Dia melanjutkan, Gugatan perlawanan ini teregistrasi dengan nomor 3/PLW/TF/2021/PTUN.Smd bahwa gugatan itu yang teregistrasi Nomor: 3/G/TF/2021/PTUN.Smd jelas gugatan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata.
Sesuai kewenangan PTUN untuk mengadili merujuk Perma Nomor 2 tahun 2019, untuk itu perlu dilanjutkan sampai ada kepastian hukum juga membuktikan bahwa hukum adalah panglima tertinggi.
"Soal kuasa Presiden tidak hadir di persidangan kami sebagai warga masyarakat justru semakin ketakutan dan merasa kebingungan," katanya.
Alasannya, karena pihaknya berharap kepala negara hadir di tengah masyarakat ketika sengketa masyarakat semakin meruncing dengan lembaga-lembaga penegak hukum terutama institusi Polri. Sebab selama persidangan justru institusi Polri mendampingi oknum polisi yang digugat dalam perkara PMH 142/Pdt.G/2020/PN Smr dan diberi izin oleh ketua Pengadilan Negeri Samarinda.
"Kami warga masyarakat yang taat hukum berharap hukum memang menjadi panglima di negeri ini sehingga hak kami yang di jamin UUD 1945 tidak dicederai dalam kehidupan berbangsa dan dan bernegara," tegas Rahim.
Penggugat lain, Faizal Amri juga meminta agar Presiden dapat menyudahi polemik sengketa antara masyarakat dengan institusi Polri dan lembaga peradilan. Menurutnya, telah mengebiri hak atau asas perdata para ke enam penggugat dalam melaksanakan perintah pasal 108 ayat 1 dan 2 Kuhperdata.
"Cukup menghadiri persidangan di PTUN dan mendengarkan keluhan dan persoalan yang menjadi sengketa tersebut agar semua bisa transparan dan dapat mengembalikan keharmonisan pemerintah dan masyarakat sesuai UUD 1945," ungkap Faisal.
Diketahui, enam warga yang menggugat Presiden Jokowi antaranya Hanry Sulistio, Abdul Rahim, Faizal Amri Darmawan, Wahyudi, Siti Zainab dan Lisia.
Kasus ini bermula saat sejumlah warga melaporkan oknum kepolisian dan sejumlah lembaga yudikatif terkait putusan pidana terhadap seorang warga Samarinda. Putusan itu kemudian dianggap cacat hukum karena polisi selaku penyidik diduga menghadirkan saksi dan barang bukti palsu.
Enam warga Samarinda ini kemudian menggugat ke PN Samarinda belasan anggota kepolisian dan Kepala Ombudsman Kaltim. Saat persidangan dimulai, anggota Polri dibantu kuasa hukum dari institusi Polri yang dianggap cacat hukum oleh tergugat.
Protes yang dilayangkan saat persidangan tidak digubris oleh hakim. Mereka lalu menggugat ke PTUN Samarinda.
Selain presiden, mereka juga menggugat Ketua Pengadilan Tinggi Kaltim, Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, istitusi Polri dan Polda Kaltim.
PTUN Samarinda akan menggelar sidang berikutnya pada pekan depan. Jika para tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka gugatan tersebut akan dilanjutkan.