Liputan6.com, Jakarta Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono, yang akrab dipanggil Juru Wabah meminta Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menghentikan Vaksin Nusantara. Hal ini demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia.
Vaksin Nusantara diinisiasi mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Dikabarkan vaksin ini sedang memulai tahap uji klinis kedua di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi Semarang pada Selasa, 16 Februari 2021.
Advertisement
Penelitian Vaksin Nusantara dilaksanakan di RS Kariadi Semarang bekerjasama dengan RSPAD Gatot Subroto dan Badan Litbang Kementerian Kesehatan.
"Itu kan menggunakan anggaran pemerintah (Kementerian Kesehatan) atas kuasa Pak Terawan sewaktu menjabat Menkes," tegas Pandu melalui rilis yang diterima Health Liputan6.com pada Sabtu, 20 Februari 2021.
Pandu berpandangan, Vaksin Nusantara yang mengandung vaksin dendritik (sel imun yang memproduksi antibodi), sebelumnya banyak digunakan untuk terapi (imunoterapi) pada pasien kanker dan bersifat individual. Imunoterapi kanker bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, namun setiap orang sel dendritiknya bisa mendapat perlakuan yang berbeda.
"Jadi, pada imunoterapi kanker sel dendritik tetap diberi antigen, tetapi antigennya bisa dari tumornya dia sendiri. Karena itu sifatnya personal," lanjutnya.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Sel Dendritik Vaksin Nusantara Tak Layak Dijadikan Vaksinasi Massal
Pandu pun memberikan dua catatan terkait sel dendritik yang menjadi bahan pembuat Vaksin Nusantara. Pertama, membandingkan perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik.
Bahwa untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien, kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut.
"Sementara, pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus," jelas Pandu.
Kedua, sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2. Ada juga kekhawatiran terhadap potensi risiko, antara lain sterilitas, pirogen (ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi), dan tidak terstandar potensi vaksin karena ditujukan pembuatan individual.
"Sebenarnya sel dendritik untuk terapi bersifat individual, dikembangkan sebagai terapi kanker. Sehingga tidak layak untuk vaksinasi massal," pungkas Pandu.
Advertisement
Data Uji Klinis Fase Pertama Vaksin Nusantara Dievaluasi BPOM
Ahli biomolekuler dan vaksinolog Ines Atmosukarto berpandangan, data Vaksin Nusantara diduga belum terlihat. Data uji klinis fase pertama belum terlihat dan diperbarui ke dalam data uji klinis global.
"Seharusnya tercatat semua di situ, terakhir Saya cek belum ada update (pembaruan) hasil uji klinisnya. Apakah vaksin tersebut aman atau tidak dan datanya belum aman," katanya.
Ada prosedur yang harus dilewati untuk uji Vaksin Nusantara, yakni mendapat izin dari Komite Etik agar setiap protokol uji klinis dapat izin
"Yang perlu dicari Komisi Etik mana yang mengizinkan ini, apakah mereka sudah mendapatkan data yang lengkap," imbuh Ines.
Pada konferensi pers 19 Februari 2021, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito mengungkapkan, pihaknya baru saja menerima hasil uji klinis fase pertama Vaksin Nusantara. Hasil uji klinis sedang dievaluasi BPOM.
"Jadi, masih dievaluasi oleh timnya, Direktur Registrasi dari BPOM dengan tim ahli. Apakah bisa kita keluarkan protokol uji klinis fase keduanya," ucapnya.
Infografis 3 Cara Vaksin Covid-19 Picu Kekebalan Tubuh
Advertisement