Kasus Sengketa Lahan di Megamendung, Pakar: FPI Sejak Awal Langgar Ketentuan

Indriyanto mengatakan penegak hukum bisa melakukan penyitaan lahan milik PTPN VIII yang diduga dikuasai Rizieq

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Feb 2021, 21:55 WIB
Massa FPI di Megamendung Bogor menanti kedatangan Rizieq Shihab. (Ady Anugrahadi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Mantan Pimpinan Front Pembela Islam (FPI)  Muhammad Rizieq Shihab dinilai sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus dugaan penyerobotan tanah milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Megamendung, Kabupaten Bogor. PTPN sudah melaporkan masalah ini ke polisi.

Rizieq diduga menggunakan lahan PTPN VIII tanpa izin untuk mendirikan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah. Rizieq dipersangkakan dengan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Tindak Pidana Kejahatan Perkebunan, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Kejahatan Penataan Ruang, Pasal 167 KUHP tentang Memasuki Pekarangan Tanpa Izin, Pasal 385 KUHP tentang Penyerobotan Tanah dan Pasal 480 KUHP tentang Penadahan.

Terkait dengan hal itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengatakan dalam kasus ini, Rizieq Shihab termasuk yang harus bertanggung jawab. "Yang bertanggung jawab adalah pihak yang melakukan penguasaan fisik atas tanah tersebut," kata Indriyanto.

Dia mengatakan penegak hukum bisa melakukan penyitaan lahan milik PTPN VIII yang diduga dikuasai Rizieq. "Dalam rangka menindaklanjuti laporan pidana PTPN, pihak penegak hukum dapat melakukan tindakan upaya paksa atau coercive force dengan melakukan penyitaan terhadap tanah tersebut," ujar Indriyanto.

Menurut Indriyanto, sengketa lahan antara PTPN VIII dengan Rizieq Shihab sebaiknya diselesaikan secara hukum. Prinsip negara hukum bahwa setiap orang sama di depan hukum harus ditegakan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Selain pidana, Indriyanto menilai pihak PTPN bisa melayangkan gugatan perdata terhadap penguasaan melawan hukum secara fisik oleh pihak ketiga. "Gugatan perdata tidak mengganggu proses hukum pidana yang sedang berjalan. Walau sebaiknya dikakukan secara case by case basis saja," ungkapnya.

 


Penggunaan untuk Perkebunan

Sebelumnya, pakar pertanahan dari Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai FPI tidak berhak mendapat ganti rugi jika PTPN VIII mengambil lahannya. Menurut dia, FPI melanggar banyak undang-undang (UU) dalam masalah ini.

“Terutama UU Perkebunan mereka langgar dan ada denda yang kurang lebih Rp4 miliar kalau melakukan penyerobotan tanah perkebunan yang telah memiliki HGU,” ujar Iwan.

Dia menilai akad jual beli tanah yang dilakukan tidak dapat dibenarkan menurut hukum Indonesia. Karena, pemegang hak atas tanah adalah PTPN VIII. Dengan demikian, akad terkait lahan harus dilakukan oleh PTPN VIII.

Iwan menambahkan, HGU yang dimiliki PTPN VIII diperuntukan bagi usaha perkebunan, pertanian, peternakan, tambak perikanan. Sementara untuk bangunan, maka sertifikat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB). “Harusnya untuk perkebunan bukan untuk pendidikan dan bangunan,” imbuhnya.

Menurutnya, sudah tepat PTPN VIII meminta pengosongan lahan yang telah diduduki oleh FPI, kecuali bagi petani-petani kecil yang menggarap lahan perkebunan sekedar untuk menyambung hidup.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya