Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menetapkan jadwal libur nasional dan cuti bersama tahun 2021. Terbaru, pemerintah mengubah jadwal cuti bersama tahun ini demi mencegah penyebaran Covid-19. Melihat kurva peningkatan penyebaran virus Corona atau Covid-19 tak kunjung melandai meski berbagai upaya sudah dilakukan.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan jumlah cuti bersama 2021 sebanyak 7 hari. Kemudian dipangkas 5 hari menjadi tersisa 2 hari.
Advertisement
Aturan tersebut tertuang dalam SKB Menteri Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2021.
Lalu apakah aturan perjalanan saat libur panjang akan diperketat?
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menegaskan sejauh ini pengaturan mobilitas masyarakat masih mengacu pada Surat Edaran (selanjutnya disebut SE) Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 7 Tahun 2021 serta Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 04/2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis mikro.
"Sejauh ini pengaturan mobilitas masih mengacu kepada SE Satgas Nomor 7 serta khusus Pulau Jawa Bali karena beberapa daerahnya masih melaksanakan PPKM maka tetap mengacu kepada Inmendagri No. 4 Tahun 2021," kata Wiku kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (23/2/2021).
Dalam SE Satgas Nomor 7 tahun 2021 yang diterbitkan pada Selasa, 9 Februari 2021 disebutkan pelaku perjalanan transportasi umum darat di Jawa masih akan dilakukan tes Covid-19 secara acak.
"Untuk perjalanan dari dan ke pulau Jawa serta di dalam pulau Jawa (antar provinsi/kabupaten/kota) berlaku persyaratan dan ketentuan sebagai berikut: Pelaku perjalanan yang menggunakan moda transportasi umum darat dilakukan tes acak (random check) rapid test antigen/GeNose test bila diperlukan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Daerah," sebut SE itu.
Sementara bagi pelaku perjalanan udara wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3 x 24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2 x 24 jam sebelum keberangkatan sebagai persyaratan perjalanan.
Untuk Pelaku perjalanan laut wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR atau negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3 x 24 jam sebelum keberangkatan sebagai persyaratan perjalanan
"Pelaku perjalanan kereta api antarkota wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR atau negatif rapid test antigen/GeNose test yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3 x 24 jam sebelum keberangkatan sebagai persyaratan perjalanan," jelas SE itu.
SE itu juga mengimbau pelaku perjalanan yang menggunakan moda transportasi darat pribadi melakukan tes RT-PCR atau rapid test antigen/GeNose test yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3 x 24 jam sebelum keberangkatan sebagai persyaratan perjalanan;
Sementara itu khusus selama libur panjang atau libur keagamaan untuk pelaku perjalanan jarak jauh darat dan menggunakan moda kereta api, kendaraan pribadi diatur persyaratan dan ketentuan sebagai berikut:
1) Telah melakukan tes RT-PCR/rapid test antigen/GeNose test yang diambil dalam kurun waktu 1 x 24 jam sebelum keberangkatan.
2) Untuk pembatasan perjalanan selama libur panjang dengan moda darat kendaraan pribadi dapat dilakukan manajemen lalu lintas, baik oleh pusat maupun daerah.
3) Selama perjalanan dilaksanakan pelaku perjalanan wajib mematuhi protokol kesehatan ketat yang telah ditentukan.
Namun, kata Wiku, tidak menutup kemungkinan Satgas Covid-19 akan memperbarui peraturan pembatasan mobilitas masyarakat sesuai perkembangan Covid-19.
"Tidak menutup kemungkinan akan ada penyesuaian kebijakan, kita lihat situasi dan kondisi berdasarkan data serta prediksinya," kata dia.
Sebab, kata Wiku, pada dasarnya mobilitas dapat meningkatkan peluang penyebaran Covid-19. Antisipasi sejenis pembatas mudik juga sudah dilakukan pemerintah saat ini dengan pemberlakuan syarat perjalanan.
"Intinya, kebijakan akan dibuat sesuai situasi dan kondisi yang ada dan juga berdasarkan data dan bukti ilmiah yang kuat," tandas Wiku.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi menyebut, meski ada cuti bersama dia berharap masyarakat tidak mudik serta menahan diri untuk berekreasi. Dia ingin, agar pandemi Covid-19 segera ditangani secepa mungkin sehingga masyarakat dapat bebas bepergian.
"Pandeminya tangani dulu secepat mungkin, setelah itu mau dilonggarkan pun orang punya rasa aman. Kalau sekarang, orang wisata tapi ada rasa was-was, harus tes, pakai masker, ketemu orang stres dulu. Kita harus banyak berfikir," kata Elina kepada Liputan6.com.
Dia mengatakan, dengan tidak mudik dan membatasi mobilitas diharapkan bisa meminimalisir risiko penularan. Sebab, vaksinasi Covid-19 belum bisa mengcover sebagian besar masyarakat Indonesia.
"Jadi kita juga tidak tahu apakah bulan depan angka kasusnya akan turun. Makannya sekarang diimbau jangan mudik, kumpul-kumpul pakai ritual saja," kata dia.
Di satu sisi, Elina menyadari bahwa cuti adalah hak setiap karyawan. Namun, cuti untuk karyawan bisa saja tidak dilakukan bersama-sama.
"Dengan tidak adanya kewajiban melakukan cuti bersama mobilitas penduduk lebih terpencar sepanjang tahun. Istilahnya memecah hak cuti, terserah orang mau ambil kapan, tidak harus satu waktu yang sama," ujar dia.
Elina mengingatkan bahwa saat ini postifity rate di Indonesia masih sangat tinggi. Dia mencontohkan, hari ini saja ada 55 ribu orang dilakukan tes swab PCR. Namun, positifitasnya 18 persen, bahkan secara keseluruhan bisa di level 20 persen.
"Kita masih jauh dari aman. Aman itu di bawah 5 persen yang positif," ujar dia,
Sehingga, kata dia, saat ini masyarakat belum aman untuk berwisata atau melakukan mobilitas seperti mudik secara beramai-ramai.
"Tapi kalau misalnya dia jalan sendiri, mungkin lebih bisa dimengerti. Tapi kalau semua pulang pas musim mudik itu jalannya bakal barengan, orang akan ke luar kota, wisata ramai-ramai, itu yang perlu diantisipasi," tandasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Paksa Masyarakat Patuhi Prokes
Wakil Ketua Komisi IX Charles Honoris menilai adanya pemangkasan cuti bersama setidaknya bisa mengurangi mata rantai penularan Covid-19. Namun, kata dia, tidak bisa berjalan sendiri, harus ada kebijakan yang komprehensif. Misalnya testing diperbanyak, dan titik masuk suatu provinsi ditetapkan protokol kesehatan ketat.
"Contoh di lokasi keberangkatan, atau warga bawa dokumen bahwa bebas Covid-19 minimal antigen atau PCR, maksimal 1-24 jam sebelum berangkat atau di hari H," kata Charles kepada Liputan6.com.
Charles juga meminta pemerintah dapat memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan menjalankan protokol kesehatan. Sebab, kata dia, saat ini Indonesia sudah melalui pandemi Covid-19 hampir satu tahun.
"Kalau melarang bepergian atau mudik, saya kira sekarang cukup sulit. Jadi yang bisa dilakukan mengelurkan kebijakan yang memaksa masyarakat disiplin protokol. Salah staunya wajib negatif Covid-19 dibuktikan dengan membawa dokumen. Sehingga kemungkinan penularan diperjalanan maupun di tempat tujuan bisa diminimalisir," ujar dia.
Selain itu, testing juga bisa dilakukan di stasiun dan kapal serta di pintu keluar masuk perbatasan antara kota antar provinsi.
"Butuh kerja bersama pemerintah pusat dan daerah, memang membutuhkan energi tidak sedikit tapi harus dilakukan agar menimalisir penularan dan sekaligus tidak mematikan roda ekonomi dan sosisal masyarakat. Jadi tidak serta merta melarang mudik, tapi menerapkan prosedur," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua Komisi IX Melkiades Laka Lena mengatakan kebijakan pemerintah dalam memangkas cuti bersama adalah kebijakan yang tak populer. Namun, hal ini bisa dipahami demi menekan penyebaran Covid-19.
"Tentu kebijakan ini kami pahami memang tidak populer, tapi yang pasti ini satu-satunya jalan kita untuk menekan pandemi. Kami pahami kebijakan Pemerintah ini untuk menjaga kurva kasus Covid," kata Melki di Jakarta, Selasa (23/2/2021).
Dia menyarankan, pemangkasan itu juga dibarengi pembatasan mudik.
"Pemangkasan cuti lebaran dan pembatasan mudik lebaran, akan juga membatasi potensi pergerakan virus yang ada pada orang per orang pada saat lebaran atau liburan," ujar Melki.
Politikus Golkar ini berharap kedua pembatasan itu bisa mencegah kenaikan kasus Covid-19 yang sering terjadi pasca libur dan cuti bersama.
"Sehingga pengendalian Covid-19 akan lebih bisa dikendalikan, ketika orang dibatasi untuk bergerak bersama dalam jumlah banyak," tandas Melki.
Advertisement
Perlu Kebijakan yang Konsisten
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman meminta pemerintah membuat langkah lanjutan usai memangkas cuti bersama. Pemerintah daerah bisa memperkuat regulasi pengetatan aktivitas di daerah masing-masing. Dicky memahami di satu sisi pariwisata tetap ingin berjalan dan masyarakat pun sudah jenuh dengan situasi pembatasan berkegiatan.
Misalnya, kata dia, di tempat-tempat seperti pantai, pegunungan, atau daerah yang biasanya didatangi orang untuk berlibur bisa berlakukan protokol yang ketat. Serta hanya digunakan untuk warga di daerah itu saja, bukan dari luar kota.
"Ini yang harus disiapkan jauh hari, tidak seperti kebijakan sebelumnya, keputusannya mendadak. Orang-orang sudah mau pergi," kata Dicky kepada Liputan6.com.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus konsisten jika ingin membatasi mobilitas warganya.
"Jangan seperti sebelumnya, diimbau tidak keluar malah banyak diskon di pesawat, kereta api, hotel, kelonggaran bepergian. Ini tidak seirama. Ini yang harus kita koreksi," ujar dia.
Selain itu, pemerintah juga harus berupaya menemukan sebanyak mungkin kasus inveksi, dengan deteksi dini, dan peningkatan tracing. Serta memperketat pelaksanaan 5 M, memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi.
Sementara, Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Syarizal Syarif menilai memangkas cuti bersama menjadi hanya 2 hari saja tidak akan berpengaruh dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Hal yang paling berpengaruh, kata dia, adalah melakukan pemeriksaan spesimen dan penelusuran kontak erat.
"Jendela masuk ke rumah wabah itu adalah tes, kalau tes tidak memadai maka kita tidak tau persis di dalam rumah ada apa, jadi seberapa besar problem yang ada di masyarakat itu tidak kelihatan, kita hanya melihat dentuman letusan angka positif rate, yang masih lebih dari 20. Itu tinggi tapi itu hanya letusan aja, kita tidak tahu dalemnya, kalau mau tahu persisnya di dalem ya memang tes dan tracing harus diperkuat," kata Syarizal kepada Liputan6.com.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Pengamat Kebijakan Publik Pheni Chalid menilai pemotongan libur panjang tidak akan berpengaruh besar dalam menekan penyebaran Covid-19. Meskipun, secara terori bisa mengurangi penyebaran Covid-19 karena masyarakat tidak pergi berlibur.
"Sebenarnya kan intinya bukan di situ, tapi tentang pemahaman masyarakat terhadap penyebaran virus nah jadi itu yang paling penting sebenarnya bukan persoalan liburnya. Pemerintah walaupun nggak memotong kan work from home kan orang di rumah, orang tetap pergi-pergi keluar," kata Pheni kepada Liputan6.com.
Dia mengatakan, seharusnya sejak awal pemerintah memberlakukan lockdown total 14 hari, atau selama masa inkubasi virus. Di situlah, akan terdeteksi siapa saja yang terpapar Covid-19. Namun, hal itu akan sulit dilakukan saat ini lantaran sudah banyak masyarakat yang terpapar.
"Ya sekarang mungkin susah, harusnya diawal-awal," ujar dia.
Dia pun meminta agar pemerintah konsisten saat melarang masyarakat bepergian. Misalnya, dengan menutup semua transportasi.
"Pesawat nggak jalan, bus nggak jalan, mobil nggak jalan, kereta api nggak jalan. Nah, sekarang pejabat saja masih hilir mudik," kata dia.
Sementara masyarakat juga diharapkan menaati peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Dengan menjalankan protokol kesehatan dan tak bepergian.