Polisi soal Kasus 4 Ibu Ditahan Bersama Balita di NTB: 9 Mediasi Gagal Temukan Damai

Kasus empat ibu rumah tangga ditahan bersama balitanya karena melempar batu ke pabrik rokok di Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, NTB, menuai sorotan publik.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 23 Feb 2021, 14:09 WIB
Ilustrasi Penangkapan (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus empat ibu rumah tangga ditahan bersama balitanya karena melempar batu ke pabrik rokok di Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), menuai sorotan publik. Polri menegaskan telah melakukan upaya mediasi hingga sembilan kali agar perkara tersebut tuntas tanpa harus berakhir di meja hijau.

"Telah dilakukan mediasi sebanyak sembilan kali oleh Kapolres Lombok Tengah namun tidak berhasil," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono dalam keterangannya, Jakarta Selasa (23/2/2021).

Argo menyebut, berkas perkara kasus keempat ibu tersebut dinyatakan lengkap atau P21 pada 3 Februari 2021 lalu. Kepolisian kemudian menyerahkan barang bukti dan tersangka atau Pelimpahan Tahap II pada 16 Februari 2021.

"Selama proses penyidikan para tersangka tidak ditahan," jelas Argo soal kasus ibu ditahan bersama balitanya di Lombok Tengah.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pemprov Ajukan Penangguhan Penahanan

Sebelumnya, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat, mengajukan permohonan penangguhan penahanan empat ibu rumah tangga bersama anaknya tersebut.

Surat permohonan penangguhan penahanan tersebut diserahkan Kepala DP3AP2KB NTB Hj Husnanidiaty Nurdin bersama Kepala DP3AP2KB Kabupaten Lombok Tengah Muliardi Yunus ke Kepala Pengadilan Negeri Praya Putu Agus Wiranata, di Praya Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Senin (22/2/2021).

"Saya sebagai pembantu gubernur mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan," kata Kepala DP3AP2KB NTB Hj Husnanidiaty Nurdin.

Ia menyebutkan empat hal yang menjadi pertimbangan pengajuan permohonan penangguhan penahanan. Pertama, keempat tersangka itu adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak balita dan masih membutuhkan air susu ibu (ASI).

Kedua, keempat perempuan itu merupakan ibu rumah tangga yang harus mengurus keperluan keluarga, baik suami maupun anak-anaknya.

Ketiga, para tersangka tidak pantas ditahan bersama anak balita di Rumah Tahanan Praya, dan demi terciptanya "irah-irah" kemanusiaan yang adil dan beradab.

Keempat, tersangka tidak akan melarikan diri, dan akan memenuhi kewajiban untuk memperlancar jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Praya.

"Oleh karena itu, saya dengan ini bersedia menjadi penjamin penangguhan penahanan para tersangka," kata Eni sapaan akrab Kepala BP3AKB NTB itu.

Eni juga berharap agar surat permohonan penangguhan penanganan tersebut bisa dipenuhi oleh para hakim.

Eni bersama Kepala DP3AP2KB Kabupaten Lombok Tengah Muliardi Yunus juga menyempatkan diri mengunjungi keempat ibu yang ditahan bersama balitanya tersebut ke Rumah Tahanan Praya untuk memberikan dukungan moral dan makanan balita.


Ditentukan Persidangan

Humas Pengadilan Negeri Praya Muhammad Sauqi mengatakan pihaknya sudah menerima surat permohonan penangguhan penahanan terhadap empat ibu rumah tangga yang saat ini berada di Rumah Tahanan Praya, sambil menunggu proses persidangan.

Namun, permohonan penangguhan yang dilayangkan tersebut harus diputuskan dalam persidangan, karena hal itu menjadi kewenangan hakim. Artinya secara administrasi tidak bisa diputuskan tanpa dilakukan sidang.

"Kewenangan hakim di persidangan. Kita tunggu hasil persidangan hari ini," katanya.

Untuk diketahui, empat ibu rumah tangga berinisial HT (40), NR (38), MR (22), dan FT (38) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, masuk penjara bersama dua balita yang merupakan anaknya.

Keempat ibu itu diduga melakukan perusakan atap gudang pabrik tembakau yang ada di desa setempat pada Desember 2020. Mereka diduga melempar atap gudang menggunakan batu, karena merasa terganggu dengan bau tembakau yang menyengat.

Warga setempat juga melakukan penolakan pabrik tembakau tersebut, karena mengeluhkan dampak lingkungan pabrik terkait bau yang dikeluarkan dari lokasi pabrik.

Adapun kerugian material yang ditimbulkan akibat perusakan tersebut sekitar Rp4,5 juta, sehingga empat ibu rumah tangga itu dijerat dengan pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya