Awas, Kerontokan Rambut Bisa Jadi Efek Jangka Panjang bagi Penyintas COVID-19

Berdasarkan studi terbaru, kerontokan rambut lebih berisiko melanda wanita penyintas COVID-19.

oleh Asnida Riani diperbarui 24 Feb 2021, 06:01 WIB
Ilustrasi rambut rontok. Sumber: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Seperempat penyintas COVID-19 menderita kerontokan rambut dalam enam bulan pertama setelah terinfeksi, menurut sebuah studi terbaru. Melansir laman The Sun, Selasa, 23 Februari 2021, dari penemuan itu, wanita tercatat lebih berisiko mengalami rambut rontok ketimbang pria.

Para peneliti yang mempelajari berbagai gejala jangka panjang menemukan 359 dari 1.655 penyintas COVID-19 yang dirawat di rumah sakit di Wuhan, Tiongkok, menderita kerontokan rambut. Penelitian yang dipublikasikan di The Lancet itu menemukan bahwa rambut rontok adalah efek jangka panjang COVID-19, di samping kelelahan, sesak napas, pusing, dan nyeri sendi.

Responden penelitian ini telah dipulangkan dari Rumah Sakit Jin Yin-tan di Wuhan antara 7 Januari dan 29 Mei 2020 setelah menderita COVID-19. Enam bulan kemudian, mereka diwawancarai lagi dan diberi kuesioner yang menanyakan gejala dan kualitas hidup. Juga, menjalani pemeriksaan fisik, tes jalan kaki selama enam menit, dan tes darah.

Sebanyak 63 persen penyintas mengaku pernah mengalami kelelahan atau kelemahan otot, 26 persen menderita kesulitan tidur, 23 persen mengalami kecemasan atau depresi, dan 22 menderita kerontokan rambut.

Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris telah mencantumkan 14 gejala yang disebut Covid panjang. Beberapa di antaranya adalah kelelahan ekstrem, nyeri dada, kesulitan tidur, depresi, kecemasan, dan kesemutan. Tapi, tak ada rambut rontok di sana.

Dalam catatannya, demam atau penyakit dapat memaksa lebih banyak rambut memasuki fase rontok. Kebanyakan orang mengalami kerontokan rambut dua sampai tiga bulan setelah demam atau sakit.

Temuan Akademi Dermatologi Amerika (AAD) juga menunjukkan bahwa 76 persen penyintas COVID-19 mengalami rambut rontok pada enam bulan setelah dinyatakan sembuh, dan proporsinya lebih tinggi pada wanita. "Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan konsekuensi kesehatan jangka panjang bagi penyintas COVID-19," tulis pihak peneliti.

 

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Respons Normal, tapi...

Ilustrasi Rambut Rontok Credit: pexels.com/pixabay

Para ahli kulit mengatakan, kerontokan rambut adalah respons normal terhadap pengalaman stres, seperti jatuh sakit karena virus selama pandemi, dan rambut akan tumbuh kembali. Namun, ini bisa dikaitkan dengan kondisi seperti alopecia, yang dalam beberapa kasus tak dapat diubah. 

Keterangan itu mengarah pada investigasi yang diterbitkan musim panas tahun lalu oleh Dr Natalie Lambert dari Indiana University School of Medicine. Setelah mengumpulkan 1.567 tanggapan dalam survei daring untuk penyintas COVID-19, ia menemukan bahwa 423 orang pernah mengalami kerontokan rambut. Rambut rontok adalah gejala paling umum ke-21 dari total 50 dalam daftar.

Dr Lambert mengatakan, "Sementara dampak COVID-19 pada paru-paru dan sistem vaskular telah mendapat perhatian media dan medis, hasil survei ini menunjukkan bahwa gejala otak, seluruh tubuh, mata, dan kulit juga sering muncul sebagai masalah kesehatan."

Rali Bozhinova, ahli rambut dan kulit kepala dari Belgravia Center mengatakan bahwa kerontokan rambut sangat umum terjadi sekitar tiga bulan setelah periode trauma parah, penyakit, atau stres.

"Lonjakan dalam diagnosis menunjukkan tingkat stres yang ditimbulkan virus pada tubuh, tak hanya menyebabkan TE sementara, tapi juga berpotensi memperburuk kondisi kerontokan rambut yang dapat memiliki efek jangka panjang jika tak ditangani," katanya.


4 Hal Positif untuk Kesembuhan Pasien COVID-19

Infografis 4 Hal Positif untuk Kesembuhan Pasien Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya