OJK Perpanjang Relaksasi BPR dan BPRS hingga Maret 2022

OJK menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2/POJK.03/2021

oleh Athika Rahma diperbarui 24 Feb 2021, 15:54 WIB
Petugas tengah melakukan pelayanan call center di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan perpanjangan relaksasi bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di tengah pandemi Covid-19.

Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2/POJK.03/2021 ini diterbitkan pada 18 Februari 2021 dan merupakan perpanjangan dari kebijakan sebelumnya yang batasnya hanya sampai Maret 2021.

"Ketentuan ini berlaku sejak diundangkan sampai dengan tanggal 31 Maret 2022," demikian dikutip Liputan6.com dalam POJK Nomor 2/POJK.03/2021, Rabu (24/2/2021).

Secara singkat, pokok-pokok kebijakan terkait BPR dan BPRS ini mencakup 4 poin, yaitu:

a. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) umum untuk aset produktif dengan kualitas lancar dapat dibentuk sebesar 0 persen atau kurang dari 0,5 persen dari aset produktif dengan kualitas lancar sebagaimana diatur dalam POJK Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif BPR

2) Persentase nilai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan KPMM BPR dan BPRS menggunakan perhitungan persentase dari nilai AYDA sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan KPMM BPR dan BPRS pada posisi laporan bulan Maret 2020

3) Penyediaan dana dalam bentuk penempatan dana antar bank pada BPR atau BPRS lain untuk penanggulangan permasalahan likuiditas pada BPR atau BPRS lain dikecualikan dari ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD). Penempatan dana antar bank tersebut dapat dilakukan kepada seluruh BPR pihak terkait dan tidak terkait paling banyak 30 persen dari modal BPR dan BPRS

4) Penyediaan dana pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) tahun 2021 dapat disediakan sebesar kurang dari 5 persen dari realisasi biaya SDM tahun sebelumnya.

Untuk itu, OJK mengharuskan BPR dan BPRS untuk melakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang baru termasuk melakukan simulasi perhitungan dampak penerapan kebijakan terhadap kecukupan modal dan likuiditas BPR dan BPRS secara periodik.

BPR atau BPRS juga wajib memastikan, dalam pembagian dividen dan/atau tantiem tidak berdampak pada kecukupan permodalan BPR dan BPRS sesuai dengan POJK KPMM BPR atau BPRS dengan memperhitungkan paling sedikit penerapan kebijakan pembentukan PPAP dan AYDA yang akan jatuh tempo. Jika melanggar, maka BPR dan BPRS dapat dikenakan sanksi.

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


OJK Tebar Lagi Stimulus Ekonomi, Bentuknya ATMR Perbankan hingga Multifinance

Kepala OJK Wimboh Santoso menyampaikan paparan dalam pertemuan dengan pimpinan bank umum Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3). Para pimpinan bank umum Indonesia tersebut dikumpulkan oleh Presiden Jokowi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai tindak lanjut stimulus demi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dukungan melalui kebijakan sektor jasa keuangan yang telah disampaikan dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan Januari 2021 dan sinergi kebijakan Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional.

"Berbagai relaksasi kebijakan prudensial sektor jasa keuangan secara temporer untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih cepat dengan mempertimbangkan adanya unsur idiosyncratic pada sektor jasa keuangan," jelas Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Kamis (18/2/2021).  

Dia menekankan pemberian pelonggaran peraturan prudensial ini bertujuan memberikan keleluasaan bagi calon debitur untuk memperoleh kredit.

Bentuknya berupa penurunan ATMR yang dikaitkan dengan Loan-to-Value Ratio dan Profil Risiko serta BMPK sebagai upaya menurunkan beban cost of regulation.

Berikut berbagai kebijakan stimulus demi mendorong perekonomian, yakni:

Stimulus Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Kebijakan Sektor Jasa Keuangan:

1. Kebijakan Perbankan

a. Kebijakan Kredit Kendaraan Bermotor

1) Menurunkan bobot risiko kredit (ATMR) menjadi 50 persen bagi Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dari sebelumnya 100 persen

2) Perbankan yang memenuhi kriteria profil risiko 1 dan 2 dimungkinkan untuk memberikan uang muka kredit kendaraan bermotor sebesar 0 persen

3) Untuk kredit kepada produsen Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) telah mendapat pengecualian batas maksimum pemberian kredit (BMPK), penilaian kualitas aset 1 (satu) pilar. Selanjutnya, untuk penilaian ATMR Kredit diturunkan menjadi 50 persen dari semula 75 persen.

b. Kebijakan kredit beragun rumah tinggal

Dikatakan jika ini dalam rangka meningkatkan efektivitas penerapan relaksasi prudensial yang telah dikeluarkan pada tahun 2018 yang belum secara optimal diterapkan untuk mendukung program sejuta rumah.

Kebijakan terkait bobot risiko ATMR kredit beragun rumah tinggal yang granular dan ringan tergantung pada rasio Loan to Value (LTV) sebagai berikut:

Uang Muka 0-30 persen (LTV ≥70 persen) ATMR 35 persen

Uang Muka 30-50 persen (LTV 50-70 persen) ATMR 25 persen

Uang Muka ≥ 50 persen (LTV ≤ 50 persen) ATMR 20 persen

c. Kebijakan Kredit Sektor Kesehatan

Sebagai upaya dukungan langsung di sektor kesehatan untuk mengatasi pandemi, OJK menetapkan bahwa kredit untuk sektor kesehatan dikenakan bobot risiko sebesar 50 persen dari sebelumnya 100 persen.

2. Kebijakan Perusahaan Pembiayaana. Kebijakan Pembiayaan Kendaraan Bermotor

1) Menurunkan bobot risiko pembiayaan (ATMR) menjadi 25 persen-50 persen dari sebelumnya 37,5 persen-75 persen untuk pembiayaan multiguna.

2) ATMR 0 persen untuk program kepemilikan kendaraan bermotor bagi perusahaan yang memiliki Car Ownership Program (COP).

3) Perusahaan pembiayaan yang memenuhi kriteria tingkat kesehatan tertentu dimungkinkan untuk memberikan uang muka pembiayaan kendaraan bermotor sebesar 0 persen.

b. Kebijakan pembiayaan beragun rumah tinggal Untuk mewujudkan program sejuta rumah, OJK menetapkan kebijakan bobot risiko ATMR pembiayaan beragun rumah tinggal yang granular dan ringan tergantung pada rasio Loan to Value (LTV) yaitu:

Uang Muka 0-30 persen (LTV ≥70 persen) ATMR 35 persen

Uang Muka 30-50 persen (LTV 50-70 persen) ATMR 25 persen

Uang Muka ≥ 50 persen(LTV ≤ 50 persen) ATMR 20 persen

3. Sementara itu dengan telah mulai beroperasinya Lembaga Pengelola Investasi (LPI), maka penyediaan dana dari Lembaga Jasa Keuangan kepada Sovereign Wealth Fund (SWF) dikenakan bobot risiko 0 persen dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit (ATMR Kredit) yang disamakan dengan bobot risiko Pemerintah pusat.

Kebijakan tersebut akan efektif berlaku sejak tanggal 1 Maret 2021 dengan diterbitkannya surat Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan dan Kepala Eksekutif Pengawas IKNB.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya