Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menegaskan bitcoin tidak bisa menjadi alat pembayaran di Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo menanggapi fenomena harga mata uang kripto seperti bitcoin yang melonjak sejak awal 2021.
Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, Perry menyebutkan hanya ada satu mata uang yang berlaku di Indonesia, yaitu Rupiah.
Advertisement
"Oleh karena itu sejak dari awal kami sudah mengingatkan dan menegaskan bitcoin tidak boleh sebagai alat pembayaran yang sah. Begitu juga mata uang lain selain Rupiah,” ujar Perry dalam Indonesia Economic Outlook Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia 2021, Kamis (25/2/2021).
Pada awal 2021, harga Bitcoin sempat naik tinggi dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di level USD 58 ribu per koin. Salah satu penyebabnya adalah keterlibatan sejumlah perusahan besar dalam transaksi mata uang kripto.
Terbaru, Tesla Inc juga mengumumkan investasi sebesar USD 1,5 miliar di bitcoin. Alasannya, untuk memaksimalkan return dari uang tunai yang dimiliki perusahaan. Tesla juga buka opsi untuk menerima pembayaran pembelian mobil dengan bitcoin.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Menkeu AS Janet Yellen Beri Peringatan soal Bitcoin
Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Janet Yellen mengeluarkan peringatan tentang bahaya yang ditimbulkan bitcoin, baik bagi investor maupun publik.
Meskipun ada penurunan harga yang tajam minggu ini, mata uang kripto bitcoin terus diperdagangkan di atas USD 53.000 atau Rp 747,95 juta (asumsi kurs Rp 14.112 per dolar AS) karena telah menerima dorongan dari berbagai sumber.
Diketahui, Tesla baru-baru ini juga berinvestasi di bitcoin. Tesla bahkan mengumumkan bitcoin akan diterima sebagai salah satu alat pembayaran untuk produk Tesla.
Kendati begitu, Yellen mengatakan masih ada pertanyaan penting tentang legitimasi dan stabilitas. "Saya tidak berpikir bahwa bitcoin digunakan sebagai mekanisme transaksi,” kata Yellen, seperti dikutip dai aman CNBC, Selasa (23/2/2021).
"Sejauh (bitcoin) digunakan, saya khawatir itu sering kali untuk keuangan gelap. Ini adalah cara yang sangat tidak efisien untuk melakukan transaksi, dan jumlah energi yang dikonsumsi untuk memproses transaksi tersebut sangat mencengangkan,” ia menambahkan.
Penambangan bitcoin mengharuskan pengguna untuk menyelesaikan persamaan matematika yang kompleks menggunakan pengaturan komputer bertenaga tinggi.
Menurut Digiconomist, konsumsi listrik yang digunakan dalam proses tersebut meninggalkan jejak karbon tahunan yang sama dengan negara Selandia Baru.
Selain masalah konsumsi, bitcoin juga dianggap sebagai alat mereka yang terlibat dalam sejumlah aktivitas ilegal karena penggunaannya yang sulit dilacak. Lalu ada volatilitas, karena harga mata uang kripto bisa naik menuju puncak dan tiba-tiba anjlok.
"Ini adalah aset yang sangat spekulatif dan Anda tahu saya pikir orang harus sadar bahwa ini bisa sangat tidak stabil dan saya khawatir tentang potensi kerugian yang dapat diderita investor," kata Yellen.
Berbagai lembaga pemerintah telah memikirkan gagasan membuat mata uang digital alternatif dengan harapan akan membuka sistem pembayaran global bagi mereka yang tidak memiliki akses.
The Fed, bank sentral AS misalnya, tempat Yellen pernah menjabat sebagai ketua tersebut telah mempelajari masalah ini. Sekaligus membahas kemungkinan mata uang digital baru bersama dengan sistem pembayaran yang diharapkan akan diluncurkan selama beberapa tahun ke depan.
“Saya pikir ini bisa menghasilkan pembayaran yang lebih cepat, lebih aman dan lebih murah, yang menurut saya merupakan tujuan penting,” kata Yellen.
Advertisement