HEADLINE: Pisau Bermata Dua Bernama Virtual Police, Pengawas Atau Pengekang Kebebasan Berpendapat?

Polri telah mengaktifkan virtual police yang bertugas memperingatkan akun media sosial yang berpotensi melanggar UU ITE. Lantas seperti apa cara kerjanya?

oleh Nafiysul QodarM HidayatAgustinus Mario DamarAdy AnugrahadiIka DefiantiYopi Makdori diperbarui 26 Feb 2021, 05:48 WIB
Ilustrasi jaringan internet. Kredit: Pete Linforth via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mengaktifkan virtual police atau polisi virtual. Unit yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu dibentuk untuk mencegah tindak pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di ruang digital.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, virtual police hadir sebagai bagian dari pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas) khususnya di ruang digital agar bersih, sehat, dan produktif.

"Virtual police adalah kegiatan, jadi bukan sebuah unit baru. Tapi kegiatan yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini Direktorat Siber untuk memberikan edukasi kepada masyarakat apabila menyampaikan sesuatu atau mem-posting yang bersifat melanggar pidana, khususnya UU ITE," kata Ramadhan saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021). 

Dia menjelaskan bagaimana virtual police menjalankan tugasnya. Virtual police akan mengirimkan peringatan melalui direct message atau DM kepada pemilik akun yang mempublikasikan konten yang dinilai berpotensi melanggar UU ITE untuk menghapusnya.

"Jadi kita mengedepankan persuasif dengan memberi tahu apa yang telah ditulis, apa yang telah di-upload yang bersangkutan itu melanggar. Melanggar apa? Melakukan pidana khususnya UU ITE. Kita sampaikan bahwa itu tolong dihapus," tuturnya.

Ramadhan menegaskan bahwa peringatan virtual police kepada akun yang dianggap melanggar tidak subjektif, melainkan melalui kajian yang mendalam bersama para ahli. Mulanya, tim patroli siber menangkap layar postingan yang diduga melanggar kemudian dikonsultasikan kepada ahli pidana, ahli bahasa, hingga ahli ITE.

Apabila ahli menyatakan bahwa konten tersebut merupakan pelanggaran pidana, maka kemudian diajukan ke Direktur Siber atau pejabat yang ditunjuk untuk memberikan pengesahan. Virtual police alert secara resmi pun dikirim ke akun tersebut melalui DM.

"Contohnya ada di konten Twitter tanggal 22 Februari 2021. Kita sampaikan 'konten Twitter Anda yang diunggah pada tanggal sekian sekian berpotensi pidana ujaran kebenciaan, guna menghindari proses hukum lebih lanjut kami mengimbau Anda segera melakukan koreksi atau menghapus konten tersebut'. Terus kita akhiri dengan 'salam Presisi'. Peringatan tersebut kita kirim," kata Ramadhan menjelaskan. 

Namun jika peringatan tersebut tidak diindahkan, virtual police akan kembali mengirimkan teguran. Bahkan jika kemudian muncul korban yang merasa dirugikan, kepolisian tetap akan mengedepankan upaya restorative justice atau keadilan restoratif dengan melakukan mediasi.

Ramadhan menegaskan, bahwa penindakan hukum akan dilakukan sebagai jalan terakhir. "Ketika mediasi tidak ketemu, maka kita akan proses hukum. Tetapi saya sampaikan, mediasi itu diterapkan selama berkas perkara belum dikirim ke jaksa penuntut umum," ucapnya.

Dengan begitu, maka keberadaan virtual police diharapkan dapat mengurangi konten hoaks atau ujaran kebencian di media sosial, sehingga ruang digital di Indonesia senantiasa bersih, sehat, dan produktif. 

Lebih lanjut, Ramadhan menegaskan bahwa keberadaan virtual police bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di media sosial. Dia kembali menekankan bahwa tujuan utama virtual police adalah untuk meminimalisasi tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU ITE. 

"Yang tidak setuju mungkin karena miss komunikasi. Jadi sekali lagi, Polri tidak membatasi kebebasan. Kalau mau menyampaikan kebebasan tentunya boleh dan dilindungi oleh undang-undang. Tetapi kalau menyebarkan hoaks, berita bohong itu dilarang undang-undang. Jadi virtual police ini bukan membatasi kebebasan, tapi ini dilakukan untuk agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana," katanya menandaskan.

Hingga Rabu 24 Februari 2021, tercatat Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah mengirimkan 12 peringatan virtual police kepada akun media sosial yang kontennya ditengarai melanggar UU ITE. 

Infografis Mekanisme Virtual Police Awasi Pengguna Media Sosial. (Liputan6.com/Trieyasni)

Pisau Bermata Dua

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Heru Nugroho mengatakan, muncul kekhawatiran pengekangan kebebasan masyarakat dalam berpendapat di ruang siber, selain juga mengapresiasi niatan kepolisian untuk menjadi pengawas interaksi di ruang digital. Kekhawatiran itu didasarkan pada cara menentukan kesalahan warganet di media sosial berlandaskan pada UU ITE yang dianggap sarat akan pasal karet.

"Di sisi lain kalau nantinya cara menindaknya itu berdasarkan UU ITE yang pasal karet itu kalau pengamat media sosial bilang, itu akan bisa mengekang kebebasan sehingga bisa jadi aspirasi tidak keluar. Kan sudah muncul toh mengungkapkan aspirasi, melakukan kritik ujungnya polisi gitu kan," sebut Heru saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021).

Heru tak bisa menerka secara pasti apakah praktik irtual police ini bakal sesuai dengan rel pembentukannya. Dia mengandaikan virtual police sebagai menara pengawas yang berfungsi untuk mendisiplinkan setiap orang yang ada di ranah dunia maya. 

"Ini disebut efek panoptic, efek pengawasan. Misalnya kalau kita di perempatan itu, itukan ruang publik ya. Kemudian ada gardu polisi, gardunya pakai kaca riben. Meskipun di situ gak ada polisi tapi orang di situ merasa diawasi. Nah efeknya nanti muncul ketertiban orang cenderung tidak melanggar traffic light karena merasa diawasi di ruang publik," papar dia.

Heru menambahkan, hadirnya virtual police ini mungkin saja untuk menertibkan dunia maya yang dianggapnya tak teratur. Di mana dalam ruang virtual banyak berseliweran kabar bohong atau hoaks dan ujaran kebencian.

"Ini kan mengganggu, oleh karena itu saya kira maksud dari polisi di satu sisi untuk menghadirkan panoptic, pengawasan terhadap ruang publik virtual ini yang dihuni oleh banyak netizen-netizen ini loh supaya merasa diawasi sehingga tidak ngawur lagi, tidak seenaknya lagi. Ada aturannya, kita mau ngeritik ya ngeritik," beber Heru.

Heru menegaskan bahwa keberadaan panopticon dalam ruang maya memang dibutuhkan, namun ini juga bisa menjadi penekan masyarakat untuk mengungkapkan pendapat. Lebih jauh Heru memandang virtual police ini sebagai pisau bermata dua.

Untuk itu diperlukan penjelasan lebih terperinci soal kriteria atau batasan-batasan bagi polisi untuk melabeli sebuah postingan dalam media sosial yang dianggap melanggar.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Virtual Police Lebih Menakutkan

Cyber crime (ilustrasi/fbnstatic.com)

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mengkritik cara kerja virtual police yang dinilai tidak sesuai dengan tujuan pembentukannya, yakni meredam upaya pemidanaan terhadap orang-orang yang tersandung kasus UU ITE.

Damar melihat virtual police layaknya panopticon atau panoptisisme, sebuah strategi beroperasinya kekuasaan yang dicetuskan Filsuf Prancis, Michel Foucault. Teori itu berakar dari metafora konsep arsitektur bangunan yang dapat mengawasi seluruh penghuni di dalamnya, karya Filsuf Inggris, Jeremy Bentham.

Dengan adanya virtual police, maka segala tindak tanduk masyarakat di ruang digital akan diawasi. Hal ini juga layaknya Orwellian State, sebuah frase yang digali dari ide dalam buku besutan penulis Inggris, George Orwell, di mana masyarakat diawasi secara penuh untuk patuh.

"Kita melihat contoh dari digital panopticon atau panopticon, itu kan melihat bahwa semua aktivitas dipantau. Nah digital panopticon itu apa? Itu artinya sekarang semua apa pun yang terjadi di ranah siber akhirnya terpantau dengan model seperti ini," ujar Damar saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021).

Alih-alih menjaga demokrasi dan melindungi kebebasan berekspresi, menurut Damar, hadirnya virtual police justru membuat takut masyarakat berinteraksi di ruang siber. "Apakah dengan model peringatan virtual ini hasilnya akan baik atau tidak, yang lebih tampak kalau saya dalam posisi sebagai pengamat ya melihatnya ini justru lebih menakutkan," katanya.

Pada mulanya, Damar menyambut positif inovasi yang digagas Kapolri Sigit itu. Jika meraba dari niatnya, maka virtual police ini patut didukung. Namun dalam praktiknya, seperti yang dijabarkan oleh Mabes Polri, virtual police justru bertindak terlalu jauh.

"Bukan lagi bentuk kontrol, kalau udah sampai Orwellian State sih sebenarnya sudah sampai punishment. Panopticon itu kan ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan orang yang ada di dalam tower (ruang kontrol metafora bagi pemilik kuasa), dia kan diberi tindakan. Itu yang lebih dari sekedar kontrol. Ini memang betul-betul sudah diikat," tegas Damar.

Ada sejumlah alasan bagi Damar menilai virtual police bertindak terlampau jauh, salah satunya soal peringatan untuk menghapus postingan yang dianggap berpotensi melanggar UU ITE.

Mengutip pernyataan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi pada Rabu 24 Februari 2021, pemilik akun diberi waktu 1x24 jam setelah peringatan untuk menghapus kontennya yang ditengarai melanggar UU ITE. Jika tak diindahkan, polisi akan mengirim peringatan kembali.

Namun jika peringatan kedua tidak digubris, polisi akan melakukan langkah pemanggilan untuk dimintai klraifikasi. 

"Kalau misalnya dia sekali posting kemudian dia enggak lihat-lihat lagi kan dia bisa terlewat dari peringatan tersebut, dan bisa dianggap dia tak mematuhi peringatan virtual yang dari kepolisian. Artinya dia sama saja akan berhadapan juga dengan hukum," ujarnya.

Jika cara kerja virtual police seperti itu, Damar lebih setuju sistem tersebut ditiadakan dan dikembalikan seperti semula. "Mending yang kemarin masih ada pengadilannya, orang masih ada ruang untuk membela diri," katanya.

"Kalau ini kan enggak ada. Dengan model 1x24 jam harus menghapus, artinya dia sudah diputuskan bersalah dari virtual alert itu. Buat dia ya enggak ada cara lain kecuali menghapus (konten), atau kalau mengabaikan berarti dia akan dihukum. Itu yang buat saya, virtual police ini lebih dari sekedar mengontrol," ucap Damar menandaskan.

Virtual police ini dijalankan menindaklanjuti Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif yang ditandatangani pada 19 Februari 2021.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai SE Kapolri tersebut berpotensi menimbulkan penafsiran yang beragam dalam penerapannya di tingkat bawah. Di samping itu, keberadaan virtual police juga berpotensi membungkam kebebasan berpendapat di media sosial.

Menurut dia, virtual police membuka ruang polisi di tataran pelaksana bertindak lebih represif dengan dalih meredam situasi di masyarakat. Akan semakin banyak konten di media sosial yang diberi peringatan karena dianggap berpotensi melanggar UU ITE.

Kendati penegakan hukum dijadikan sebagai langkah terakhir, namun tidak adanya batasan yang jelas pada upaya restorative justice sebagaimana bunyi poin 3 huruf g pada SE Kapolri tersebut justru bisa membuat kasus ITE yang ditangani kepolisian semakin banyak.

"Bisa saja nanti makin banyak kasus ini ditindak oleh aparat. Setidaknya aparat akan menggunakan pasal ini (pasal karet UU ITE) untuk membungkam kemerdekaan publik menyampaikan sesuatu baik di medsos atau media elektronik lain," kata Feri saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021). 

Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas itu, batasan-batasan pada poin tersebut harusnya dijelaskan secara rinci. Adapun poin 3 huruf g berbunyi: Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

"Maka saya sarankan virtual police itu mestinya punya syarat-syarat tertentu agar sebuah perkara kemudian ditangani oleh kepolisian. Itu memudahkan polisi di tingkat bawah untuk memenuhi persyaratan terlebih dulu, kemudian menindaklanjuti perkara. Jangan virtual police membuat ruang tafsir misalnya dengan bahasa-bahasa bahwa ini adalah upaya hukum terakhir. Ya penyelidik dan penyidik bisa bilang ini adalah upaya hukum terakhir karena pertamanya enggak jelas," kata Feri.

Karena itu, Feri menegaskan bahwa, keinginan kepolisian membenahi proses penegakan hukum kasus ITE menggunakan virtual police tidak tepat. "Jadi cara menindaklanjuti UU ITE agar tidak disalahgunakan oleh beberapa pihak dalam proses penegakan hukum itu yang harus hati-hati," kata Feri menegaskan.


Tetap Perhatikan Hak Masyarakat

Ilustrasi Media Sosial Credit: pexels.com/Tracy

Namun tak sedikit pihak yang mendukung keberadaan virtual police yang akan mengawasi konten-konten yang bertebaran di media sosial. Gagasan itu diharapkan bisa mewujudkan cita-cita pemerintah menciptakan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. 

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menjadi salah satu pihak yang menyambut baik gagasan vortual police. Apalagi, Kemkominfo dan Polri kerap melakukan kerja sama di berbagai bidang, termasuk di ruang digital.

"Kami menyambut baik inisiatif tersebut. Selama ini, Kemkominfo juga telah melakukan kerja sama dalam berbagai bidang, termasuk dalam upaya menjaga ruang digital yang lebih bersih, sehat, aman, dan produktif," tutur Juru Bicara Kemkominfo Dedy Permadi saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Kamis (25/2/2021).

Begitu juga Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin. Dia mengapresiasi dibentuknya virtual police yang diprakarsai Polri. Namun dia berpesan, bahwa kehadiran virtual police harus tetap memperhatikan hak masyarakat untuk menyuarakan pendapat mereka.

"Saya mengapresiasi kehadiran virtual police untuk menjaga pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di ruang digital. Namun saya mengingatkan kepolisian untuk tetap memperhatikan hak-hak masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya," kata Azis, Kamis (25/2/2021).

Menurut dia, jangan sampai kehadiran virtual police justru membatasi kebebasan berpendapat, karena sudah dijamin UUD 1945. Karena itu, Azis meminta Polri memberikan penjelasan mengenai urgensi virtual police dan menyosialisasikannya secara masif kepada masyarakat.

"Langkah itu agar virtual police tidak mendapatkan pertentangan oleh masyarakat," kata politikus Partai Golkar itu seperti dikutip dari Antara.

Lebih lanjut, Azis berharap kepolisian melakukan pendekatan humanis dan persuasif saat mengingatkan masyarakat yang melakukan kesalahan di ruang digital. Hal itu menurut dia agar masyarakat dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial serta tidak melewati batasan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

"Jika ada yang melakukan kesalahan di media sosial, maka Polri harus lebih mengutamakan teguran terlebih dahulu dengan baik dan mengingatkan akun tersebut sehingga masyarakat paham dan tidak akan mengulanginya kembali," katanya.

Sementara Praktisi Teknologi Informasi Komunikasi (TIK), Tony Seno Hartono mengaku belum mengetahui detail teknologi apa di balik penerapan virtual police ini. Namun di satu sisi, kata dia, boleh jadi ini merupakan hal yang bagus.

"Saya belum tahu teknologi apa yang digunakan di virtual police. Namun terlepas dari hal tersebut, langkah ini merupakan permulaan yang bagus. Mungkin di saat-saat awal, masyarakat akan merasa terkekang kebebasan berekspresinya di media sosial," tutur Tony melalui pesan singkat, Kamis (25/2/2021).

Meskipun demikian, menurut Tony, upaya ini dapat menjadi suatu tahapan pembelajaran bagi masyarakat bahwa di dalam kebebasan sekalipun selalu ada batasan.

"Apalagi di negara kita yang sebagian besar masyarakatnya masih menganut adat istiadat ketimuran. Harapan saya, semoga program virtual police ini terus ditingkatkan, sehingga semakin efektif untuk menangkal disinformasi, hoaks, dan sebagainya," kata Tony menutup pernyataannya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya