Mengawal Pelestarian Ekosistem Mangrove Terakhir di Kota Makassar

Sekarang disebut hanya tersisa tiga titik ekosistem Mangrove di kota Makassar dengan persentase 0,03 persen dari total luas wilayah.

oleh Asnida Riani diperbarui 26 Feb 2021, 10:03 WIB
Ekowisata Mangrove Lantebung, Makassar, Sulwesi Selatan. (dok. Instagram @herwinbahar/https://www.instagram.com/p/CERUJkpHao0/)

Liputan6.com, Jakarta - Akademisi Universitas Hasanudin, M. Rijak Idrus, menyebut bahwa hanya tinggal tiga titik ekosistem mangrove yang tersisa di kota Makassar, Sulawesi Selatan, yakni hanya menempati 0,03 persen dari total luas wilayah. "Deforestasi terus terjadi, terutama setelah reformasi," katanya dalam acara virtual sail to campus inisiasi Yayasan Eco Nusa, Kamis, 25 Februari 2021.

Surono Parabang, Spesialis Manajemen Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, menyebut bahwa deforestasi ini bahkan sudah menyentuh angka 70 persen. Ia menyebut bahwa setidaknya ada tiga penyebab utama pencemaran terjadi di wilayah pesisir.

Mereka adalah kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. "Jumlah penduduk meningkat berimbas pada adanya pembangunan, seperti untuk tambak," tuturnya di kesempatan yang sama.

"Karenanya, merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang diatur dalam Peraturan Daerah no. 9 tahun 2009, kami akan melakukan pemisahan, di mana minimal 30 persen dari total wilayah Sulsel nantinya merupakan kawasan lindung dan 70 persen untuk kawasan pembangunan," imbuh Surono.

Ia menyebut bahwa masuk dalam misi pemerintah kota (pemkot) Makassar, yakni meningkatkan produktivitas dan daya saing produk sumber daya alam yang berkelanjutan. Nantinya, kata Surono, berkegiatan tanpa mengabaikan lingkungan ini bakal jadi bagian upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup sehat di Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Ade Saskia Ramadia, seorang aktivis lingkungan asal Lantebung menyoroti pentingnya edukasi menjaga ekosistem mangrove, terutama bagi masyarakat pesisir. "Jangan ditebang (mangrove). Jangan buang sampah ke laut," tuturnya.

Ia kemudian sempat berbagi cerita bagaimana terjaganya ekosistem mangrove telah menyelamatkan kawasan tempat tinggalnya dari banjir rob. Juga, sekarang telah dimanfaatkan sebagai destinasi ekowisata.

"Rumah di Lantebung masih panggung. Waktu saya kecil, kalau sore dan air laut naik, taruh sandal di tangga paling bawah sudah pasti hanyut terbawa," kisahnya.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Rencana Aksi Jaga Ekosistem Mangrove

Ekowisata Mangrove Lantebung, Makassar, Sulwesi Selatan. (dok. Instagram @nurulitfahh/https://www.instagram.com/p/CCGQXIKpANQ/)

Rijal menyebut beberapa rencana aksi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan ekosistem mangrove terakhir di kota Makasaar. Pertama, penting untuk membangun kesadaran akan nilai dan manfaat mangrove.

Kemudian, bijak dalam mengolah sampah, terutama sampah plastik. "Sebisa mungkin jangan pakai plastik sekali pakai," katanya. Disusul dengan inisiatif menanam mangrove atau merestorasi lahan basah agar bisa menjalankan fungsi ekologi dengan baik.

"Dukung upaya konservasi lingkungan dan ajak masyarakat untuk berpartisipasi seluas-luasnya. Terakhir, gunakan hak politik untuk melindungi lingkungan dan mendorong agenda keberlanjutan," imbuh Rijal.

Menormalkan gaya hidup ramah lingkungan, kata influncer sekaligus entrepreneur, Noviana Safitri, juga bisa dengan berbagi pemikiran itu di media sosial. "Karena penyebarannya lebih cepat (lewat media sosial), orang diharapkan bisa ikut sadar dan akhirnya menerapkan green lifestyle," ujarnya.


Timbulan Sampah Sebelum dan Saat Pandemi

Infografis Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya