Imbal Hasil Obligasi AS Melonjak Bikin Wall Street Tertekan

Pada penutupan perdagangan wall street, Kamis, 25 Februari 2021, indeks saham Dow Jones melemah 559,85 poin atau 1,8 persen ke posisi 31.402,01.

oleh Agustina Melani diperbarui 26 Feb 2021, 05:42 WIB
Ekspresi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street turun tajam seiring imbal hasil obligasi yang melonjak membuat takut investor. Lonjakan imbal hasil obligasi memicu investor lepas aset berisiko termasuk saham emiten teknologi.

Pada penutupan perdagangan wall street, Kamis, 25 Februari 2021, indeks saham Dow Jones melemah 559,85 poin atau 1,8 persen ke posisi 31.402,01. Indeks Dow Jones tergelincir dari rekor tertinggi.

Indeks saham S&P 500 susut 2,5 persen ke posisi 3.829,34. Indeks saham Nasdaq turun 3,5 persen ke posisi 13.119,43, dan membukukan aksi jual terbesar sejak 28 Oktober.

Saham Alphabet, Facebook dan Apple turun lebih dari tiga persen. Sementara itu, saham Tesla melemah 8,1 persen dan Microsoft tergelincir 2 persen.

Wall street tertekan seiring imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun melonjak ke posisi 1,6 persen karena pergerakan tiba-tiba yang digambarkan sebagai lonjakan kilat. Imbal hasil  obligasi kembali menetap sekitar 1,52 persen, level tertinggi sejak Februari 2020.

“Ini semua tentang imbal hasil obligasi hari ini. Ada lonjakan kilat untuk imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun, dan itu mengecewakan apple cart, karena imbal hasil lebih tinggi menakuti pasar saham,” ujar Chief Market Strategist LPL Financial, Ryan Detrick, seperti dilansir dari CNBC, Jumat, (26/2/2021).

Ia menambahkan, lonjakan imbal hasil obligasi memicu pertanyaan kemungkinan lebih banyak inflasi yang datang ketimbang yang dipikirkan kebanyakan orang. 

Ryan mengatakan, meski bank sentral AS atau the Federal Reserve tidak khawatir mengenai itu, pasar mungkin saja khawatir.

Lonjakan tersebut juga menempatkan suku bunga acuan di atas hasil dividen S&P 500. Ini berarti saham dianggap sebagai aset berisiko. Hal tersebut juga dapat memicu alokasi aset dari saham karena menjadi kurang menarik.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

 

Load More

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Imbal Hasil Obligasi Lebih Tinggi Menekan Sektor Saham Teknologi

Steven Kaplan (tengah) saat bekerja dengan sesama pialang di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Suku bunga lebih tinggi cenderung menghantam sektor teknologi dengan sangat keras. Hal ini mengingat sektor saham teknologi mengandalkan pinjaman mudah untuk mendorong pertumbuhan.

Indeks saham Nasdaq yang berisi perusahaan teknologi turun 5,4 persen pada pekan ini. Selain itu, sektor saham konsumsi dan teknologi informasi mencatat penurunan masing-masing 5,4 persen dan 4,5 persen di antara 11 sektor saham S&P 500.

“Ini hanya kekalahan penuh di pasar obligasi sehingga menyaring yang lainnya. Dengan imbal hasil obligasi 10 tahun menjadi 1,6 persen, kita hanya menunggu beberapa bentuk ekuiliibrium dalam obligasi,” ujar Evercore ISI Strategist Dennis DeBusschare.

Investor juga beralih ke sektor saham menguntung terutama dari sentimen pemulihan ekonomi. Sektor saham energi naik 6,8 persen pada pekan ini. Sektor saham industri dan keuangan juga catat kinerja positif pada pekan ini.

Sementara itu, imbal hasil obligasi menambah kenaikan sepanjang pekan ini. Bahkan setelah ketua The Federal Reserve Jerome Powell menekankan komitmen bank sentral untuk kebijakan longgar dan mengabaikan inflasi.


Investor Abaikan Data Ekonomi

Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Selain itu, investor mengabaikan data ekonomi yang lebih baik dari perkiraan. Klaim pengangguran pertama kali mencapai 730.000 hingga 20 Februari 2021. Angka ini di bawah survei ekonomi oleh Dow Jones yang diperkirakan 845.000.

Sementara itu, pesanan barang tahan lama naik 3,4 persen pada Januari 2021 dibandingkan dengan konsensus analis tumbuh satu persen.

“Pelaku pasar akan terus mengambil isyarat dari imbal hasil obligasi. Nasdaq akan memimpin penurunan, sementara beberapa investor akan memilih untuk melanjutkan kembali rotasi ke REITS, barang konsumsi, keuangan dan utilitas,” kata Analis Senior OANDA, Edward Moya.

Saham GameStop yang mengejutkan wall street pada bulan lalu kembali bangkit. Saham GameStop naik 18,6 persen seiring perdagangan yang bergejolak.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya