Liputan6.com, Jakarta - Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menilai konsep virtual police yang dijalankan Polri memerlukan rumusan ketat melibatkan algoritma digital. Jika tidak, maka pada akhirnya malah berpotensi menciptakan ketidakadilan baru di masyarakat.
"Jika virtual polisi ini toh ujung-ujungnya digerakkan oleh manusia juga. Manusia yang mengawasi, manusia yang memindai adanya pelanggaran, manusia yang memutuskan untuk memberikan peringatan, atau manusia juga yang memutuskan mengadakan penindakan, maka selalu dikhawatirkan adanya bias," kata Adrianus dalam keterangannya, Jumat (26/2/2021).
Advertisement
Adrianus menyambut baik virtual police sebagai sebuah inisiatif Polri menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dalam ruang digital Indonesia. Hanya saja, teknis dan eksekusi konsep tersebut sangat menjadi perhatian.
"Bias di mana sang polisi yang menjadi pelakunya, pengawas dunia virtual, ini melakukan oh kalau yang melakukannya si A enggak apa-apa, kalau orangnya si B wah ini perlu diberikan sanksi, atau kalau orangnya si C wah ini perlu diberikan peringatan, atau dari segi kontennya. Kalau kontennya menyerang pemerintah wah ini enggak boleh, tapi ketika menyerang yang lain boleh, tidak boleh, dan seterusnya," tutur dia.
"Jika ini terjadi maka virtual police akan menjadi sumber ketidakadilan baru yang kemudian alih-alih menciptakan kamtibmas malah menciptakan situasi yang tidak aman dan tidak tertib, minimal di beberapa kalangan," lanjut Adrianus.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Harus Ada Rumusan Dasar
Pengawasan dunia digital, kata dia, memerlukan rumusan dasar secara digital juga untuk menentukan alasan pihak kepolisian memberikan teguran hingga penindakan terhadap si pengguna media sosial. Dengan begitu, tidak lagi terjadi bias dan dunia media sosial menjadi sehat.
"Saya berpendapat bahwa seyogyanya virtual ini digerakkan oleh rumus, oleh formula, dengan kata lain ada satu algoritma yang menjadi dasar mengapa polisi mengirimkan email berisi teguran, atau pesan WA atau SMS kepada seseorang atau akun tertentu itu. Bukan karena polisinya melihat orangnya, pesannya, siapa yang dituju, dan seterusnya, yang mana menimbulkan bias. Tapi ada algoritma dijadikan satu parameter sehingga nah ini yang dikatakam melanggar dan perlu diperingatkan, atau ini yang sudah diperingatkan berkali-kali sehingga perlu ditindak," Adrianus menandaskan.
Advertisement