Liputan6.com, Jakarta - Program virtual police atau polisi virtual mulai dijalankan Polri. Tugas dari virtual police adalah mengawasi konten yang bertebaran di dunia maya. Saat ada yang bersinggungan dengan konsekuensi hukum, maka petugas akan memberikan peringatan.
"Nanti ada virtual police itu tugasnya patroli siber. Akan memberikan warning kepada akun tersebut untuk ini, informasi bahwa yang Anda upload mengandung pasal-pasal misalnya ujaran kebencian, mohon segera dihapus," ujar Kabareskrim Polri Komjen Agus Adrianto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Februari 2021.
Advertisement
Dan jika masih membandel, maka petugas akan melakukan proses penyelidikan hingga penyidikan terhadap pengelola akun.
Program virtual police ini pun mendapat beragam tanggapan. Salah satunya dari Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heru Nugroho.
Menurut Heru, virtual police yang digagas Polri dengan maksud memberikan edukasi kepada warganet agar bermedia sosial dengan bijak dan tak melanggar UU ITE, justru dikhawatirkan dapat mengekang kebebasan masyarakat di ruang siber.
Dia berujar, kekhawatiran tersebut didasarkan pada cara menentukan kesalahan warganet di media sosial berlandaskan pada UU ITE yang dianggap banyak memiliki pasal karet.
"Di sisi lain kalau nantinya cara menindaknya itu berdasarkan UU ITE yang pasal karet itu, kalau pengamat media sosial bilang itu akan bisa mengekang kebebasan sehingga bisa jadi aspirasi tidak keluar. Kan sudah muncul toh mengungkapkan aspirasi, melakukan kritik, ujungnya polisi," kata Heru saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 25 Februari 2021.
Berikut beragam tanggapan usai dimulainya program virtual police atau polisi virtual dihimpun Liputan6.com:
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sosiolog UGM
Virtual police yang digagas Polri dengan maksud memberikan edukasi kepada warganet agar bermedia sosial dengan bijak dan tak melanggar UU ITE, justru dikhawatirkan dapat mengekang kebebasan masyarakat di ruang siber.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heru Nugroho mengatakan, kekhawatiran tersebut didasarkan pada cara menentukan kesalahan warganet di media sosial berlandaskan pada UU ITE yang dianggap banyak memiliki pasal karet.
"Di sisi lain kalau nantinya cara menindaknya itu berdasarkan UU ITE yang pasal karet itu, kalau pengamat media sosial bilang itu akan bisa mengekang kebebasan sehingga bisa jadi aspirasi tidak keluar. Kan sudah muncul toh mengungkapkan aspirasi, melakukan kritik, ujungnya polisi," kata Heru saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 25 Februari 2021.
Heru tak bisa menerka secara pasti apakah praktik virtual police ini bakal sesuai dengan rel pembentukannya. Pasalnya, jika mengacu pada semangat keberadaan virtual police ini, Heru memandang cukup positif.
Menurutnya, virtual police merupakan institusi panopticon atau institusi pengatur ketertiban sosial di ranah dunia maya. Virtual police bekerja layaknya pengawas di mana seseorang bisa didisiplinkan dalam bertingkah laku di ruang siber layaknya di dunia nyata.
"Ini disebut efek panoptic, efek pengawasan. Misalnya kalau kita di perempatan itu kan ruang publik ya. Kemudian ada gardu polisi, gardunya pakai kaca riben. Meskipun di situ enggak ada polisi tapi orang di situ merasa diawasi. Nah efeknya nanti muncul ketertiban orang cenderung tidak melanggar traffic light karena merasa diawasi di ruang publik," papar dia.
Dengan sistem seperti itu, menurut Heru, penguasa saat ini dinilai sukses menciptakan panopticon karena orang merasa diawasi, karena adanya simbol "gardu polisi". Sehingga tercipta kedisiplinan sosial.
Meminjam kacamata penguasa, menurut Heru, hadirnya virtual police ini mungkin saja untuk menertibkan dunia maya yang dianggapnya tak teratur. Di mana dalam ruang virtual banyak berseliweran kabar bohong atau hoaks dan ujaran kebencian.
"Ini kan mengganggu, oleh karena itu saya kira maksud dari polisi di satu sisi untuk menghadirkan panoptic, pengawasan terhadap ruang publik virtual ini yang dihuni oleh banyak netizen-netizen ini loh supaya merasa diawasi sehingga tidak ngawur lagi, tidak seenaknya lagi. Ada aturannya, kita mau ngeritik ya ngeritik," jelas dia.
Heru menegaskan bahwa keberadaan panopticon dalam ruang maya memang dibutuhkan, namun ini juga bisa menjadi penekan masyarakat untuk mengungkapkan pendapat. Lebih jauh Heru memandang virtual police ini sebagai pisau bermata dua.
Untuk itu diperlukan penjelasan lebih terperinci soal kriteria atau batasan-batasan bagi polisi untuk melabeli sebuah postingan dalam media sosial dianggap melanggar.
"Seperti kalau di RRI itu yang membahas soal dunia siber, kemudian menjelaskan soal berita-berita hoaks, lalu hoaks ini udah diunggah sekian kali, asal usulnya dari mana (cek fakta), nah saya kira polisi kalau mau mendidik harus ada seperti itu. Perlu ada penjelasan-penjelasan bahwa misalnya polisi menuduh sebuah postingan hoaks harus ada penjelasannya bahwa ini benar atau tidak benar ada data-datanya," jelas dia.
Advertisement
Kriminolog UI
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menilai konsep virtual police yang dijalankan Polri memerlukan rumusan ketat melibatkan algoritma digital. Jika tidak, maka pada akhirnya malah berpotensi menciptakan ketidakadilan baru di masyarakat.
"Jika virtual polisi ini toh ujung-ujungnya digerakkan oleh manusia juga. Manusia yang mengawasi, manusia yang memindai adanya pelanggaran, manusia yang memutuskan untuk memberikan peringatan, atau manusia juga yang memutuskan mengadakan penindakan, maka selalu dikhawatirkan adanya bias," kata Adrianus dalam keterangannya, Jumat (26/2/2021).
Adrianus menyambut baik virtual police sebagai sebuah inisiatif Polri menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dalam ruang digital Indonesia. Hanya saja, teknis dan eksekusi konsep tersebut sangat menjadi perhatian.
"Bias di mana sang polisi yang menjadi pelakunya, pengawas dunia virtual, ini melakukan oh kalau yang melakukannya si A enggak apa-apa, kalau orangnya si B wah ini perlu diberikan sanksi, atau kalau orangnya si C wah ini perlu diberikan peringatan, atau dari segi kontennya. Kalau kontennya menyerang pemerintah wah ini enggak boleh, tapi ketika menyerang yang lain boleh, tidak boleh, dan seterusnya," tutur dia.
"Jika ini terjadi maka virtual police akan menjadi sumber ketidakadilan baru yang kemudian alih-alih menciptakan kamtibmas malah menciptakan situasi yang tidak aman dan tidak tertib, minimal di beberapa kalangan," lanjut Adrianus.
Pengawasan dunia digital, kata dia, memerlukan rumusan dasar secara digital juga untuk menentukan alasan pihak kepolisian memberikan teguran hingga penindakan terhadap si pengguna media sosial. Dengan begitu, tidak lagi terjadi bias dan dunia media sosial menjadi sehat.
"Saya berpendapat bahwa seyogyanya virtual ini digerakkan oleh rumus, oleh formula, dengan kata lain ada satu algoritma yang menjadi dasar mengapa polisi mengirimkan email berisi teguran, atau pesan WA atau SMS kepada seseorang atau akun tertentu itu. Bukan karena polisinya melihat orangnya, pesannya, siapa yang dituju, dan seterusnya, yang mana menimbulkan bias. Tapi ada algoritma dijadikan satu parameter sehingga nah ini yang dikatakam melanggar dan perlu diperingatkan, atau ini yang sudah diperingatkan berkali-kali sehingga perlu ditindak," Adrianus menandaskan.
(Dinda Permata)
Mekanisme Virtual Police Awasi Pengguna Media Sosial
Advertisement