Liputan6.com, Los Angeles - Orang LGBT dengan kulit berwana (dalam konteks ras) disebut lebih berisiko terinfeksi COVID-19 jika dibandingkan LGBT berkulit putih dan kelompok straight (non-LGBT), menurut sebuah riset di Amerika Serikat.
Sebuah laporan yang diterbitkan pada 25 Februari 2021 menemukan mereka dengan identitas LGBT kulit berwarna atau dikenal dengan singkatan QTPOC, berada pada risiko COVID-19 yang lebih tinggi.
Williams Institute UCLA menemukan orang-orang QTPOC dua kali lebih mungkin untuk dites positif COVID-19 (15%) daripada kelompok orientasi seksual 'lurus' atau straight (7%), dan rekan-rekan LGBT berkulit putih (10,4%), demikian seperti dikutip dari Insider, Sabtu (27/2/2021).
Persentase itu berlaku pada populasi survei yang relatif disiplin memakai masker dan jarak sosial.
Baca Juga
Advertisement
Para ahli mengatakan, hasil riset itu terkait dengan sejumlah faktor termasuk bagaimana rasisme sistemik memperburuk kesehatan dan menciptakan hambatan untuk perawatan kesehatan, menjadi lebih mungkin untuk melakukan pekerjaan garis depan (yang lebih berisiko untuk terinfeksi COVID-19), dan kondisi medis yang mendasarinya yang disebabkan oleh rasisme sistemik dan homofobia.
Para peneliti mengatakan bahwa, meskipun tidak jelas mengapa kelompok LGBT kulit berwarna lebih cenderung menunjukkan hasil positif dalam sejumlah tes COVID-19, namun, hasil penelitian --yang saat ini masih bersifat persentase umum-- dianggap penting dalam menunjukkan pandemi berdampak pada kelompok sosial tersebut.
"Temuan utama kami adalah bahwa dampak pandemi pada komunitas LGBT tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa mempertimbangkan ras dan etnis serta orientasi seksual dan identitas gender," bunyi penelitian tersebut.
Para peneliti mensurvei lebih dari 12.000 subjek di seluruh Amerika Serikat dari Agustus 2020 - Desember 2020. Survei nasional itu mengajukan pertanyaan tentang stabilitas ekonomi selama pandemi, pengalaman mereka dengan COVID-19, dan kepercayaan mereka kepada pemerintah untuk menangani pandemi.
Selain lebih sering menunjukkan hasil positif COVID-19, kelompok LGBT kulit berwarna lebih cenderung mengenal seseorang yang telah meninggal karena COVID-19 daripada orang kulit putih berorientasi seksual lurus (straight white person). Satu dari tiga orang QTPOC tahu seseorang yang telah meninggal, sebagai lawan dari satu dari lima orang straight white person yang disurvei.
Studi terbaru lainnya oleh Centers for Disease Control and Prevention menemukan orang LGBTQ+ lebih cenderung memiliki kondisi mendasar yang membuat COVID-19 lebih mematikan seperti asma dan diabetes. Mereka juga lebih cenderung mengidap gejala COVID-19 yang parah.
Menurut Brad Sears, direktur eksekutif Williams Institute UCLA dan penulis laporan, hasil penelitian itu memainkan peran besar dalam perbedaan yang terlihat di kelompok-kelompok sosial berbasis warna kulit dan ras, serta orientasi seksual.
"Ras memainkan peran besar di sini," kata Sears.
Simak video pilihan berikut:
Update COVID-19 Dunia 27 Februari 2021
Total infeksi Virus Corona COVID-19 di seluruh dunia pada hari Sabtu 27 Februari 2021 pukul 13.40 WIB telah mencapai 113.415.604 kasus, dan 63.992.563 di antaranya telah dinyatakan sembuh berdasarkan COVID-19 Dashboard by the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University.
Total 2.517.422 orang di dunia tercatat telah meninggal dunia akibat COVID-19, seperti dikutip dari gisanddata.maps.arcgis.com, Sabtu (27/2/2021).
Data Johns Hopkins University juga menunjukkan bahwa India berada di posisi teratas untuk pasien pulih yaitu 10.763.451 lalu disusul Brasil sebanyak 9.309.568.
Infeksi di Amerika Serikat, negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbesar di dunia, telah mencapai 28.486.394.
India, Brasil, Rusia dan Inggris kini tercatat sebagai negara dengan kasus infeksi Virus Corona terbanyak di dunia setelah AS. Berikut adalah angka terkininya:
India: 11.079.979 kasus.
Brasil: 10.455.630 kasus.
Rusia: 4.175.757 infeksi dan 3.741.058 orang sembuh.
Inggris: 4.175.315 infeksi dan 11.579 orang pulih.
Advertisement