Liputan6.com, Jakarta - Pasar modal Indonesia mencatatkan kinerja cukup baik pada Februari 2021. Hal ini seiring laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat meski terbatas. IHSG naik 0,16 persen ke posisi 6.241 pada periode 22-26 Februari 2021.
Sementara itu, kapitalisasi pasar saham naik 0,16 persen menjadi Rp 7.355,57 triliun pada pekan ini dibandingkan pekan lalu Rp 7.343,54 triliun.
Mengutip laporan Ashmore Asset Management, ada sejumlah hal yang menjadi perhatian pada pekan ini. Pertama, perkembangan COVID-19. WHO melaporkan ada penurunan kasus COVID-19 secara global dalam enam minggu.
Baca Juga
Advertisement
Di sisi lain, Food and Drug Administration (FDA) AS yang merupakan lembaga pengawas obat-obatan di Amerika Serikat (AS) telah mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk vaksin COVID-19 dari Johnson & Johnson.
Kedua, obligasi AS. Imbal hasil treasury atau obligasi AS naik 1,5 persen pada Kamis waktu setempat setelah investor menunjukkan permintaan USD 62 miliar untuk obligasi bertenor 7 tahun.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pengeluaran Pemerintah Meningkat
Ketiga, dari dalam negeri menunjukkan, tingkat hunian rumah sakit di Jakarta menurun. Saat ini, ruang isolasi mencapai 68 persen dan ruang ICU 71 persen dari bulan lalu. Rata-rata kasus COVID-19 di Indonesia juga turun.
Keempat, pengeluaran pemerintah meningkat 32,4 persen pada Januari 2021. Pada Januari 2015-2020, rata-rata pengeluaran 11 persen. Pengeluaran pemerintah terbanyak dipimpin untuk sosial yaitu program bantuan langsung tunai, modal.
Pendapatan mengalami kontraksi seiring pajak turun 5,1 persen secara year on year. Stimulus program pemulihan ekonomi nasional (PEN) diperbesar, defisit anggaran dipertahankan 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Advertisement
Kekhawatiran Tapering
Lalu apa yang dicermati selanjutnya?
Ashmore menyoroti soal kekhawatiran tapering atau langkah pengurangan stilus oleh bank sentral Amerika Serikat (AS). Ketakutan tapering dinilai salah tempat. Imbal hasil treasury AS sudah naik sejak akhir Juli 2020 sekiar 100 basis poin.
Sebagian besar kenaikan imbal hasil dikaitkan dengan penetapan harga seiring inlasi diperkirakan naik dari 1,5 persen menjadi 2,16 persen. Ini menyebabkan perbedaan dengan tapering pada 2013.
4 Perbedaan dengan Kondisi 2013
Ashmore pun membagikan ada empat hal yang membedakan antara lain:
1.Reaksi the Federal Reserve
Dalam risalah rapat the Federal Reserve pada Januari menunjukkan sikap akan bersabar dan mempertahankan kebijakan dengan sangat baik untuk mengakomodasi kasus COVID-19 yang terjadi.
2.Neraca berjalan negara berkembang surplus
Pada 2013, rata-rata negara berkembang mencatat defisit neraca transaksi berjalan 1,8 persen dari PDB yang mendekati level terendah sejak 2002. Sebaliknya, saat ini negara berkembang dengan rata-rata surplus 1,3 persen dari PDB dan mendekati level terkuat dalam 20 tahun.
3.Perdagangan mata uang negara berkembang cenderung rendah
Saat ini mata yang negara berkembang cenderung rendah dibandingkan 2013 yang relatif mahal. Berdasarkan indeks GBI EM GD yang mengukur mata uang negara berkembang tercatat turun 39,9 persen pada Jumat pekan lalu dan dibandingkan April 2013.
Selain itu, investor juga memiliki eksposur lebih ringan ke negara berkembang saat ini dibandingkan 2013. Sebelum 2013, pasar negara berkembang diserbu investor sehingga mencatat kinerja lebih baik.
4. Harga komoditas menguat
Harga komoditas menguat sehingga menunjukkan ekonomi global pulih dari kondisi COVID-19. Harga komoditas mempengaruhi sejumlah negara berkembang. Akan tetapi, ekonomi cenderung sensitive dengan pergerakan harga komoditas yang lebih tinggi dan mendukung mata uang negara berkembang.
Advertisement
Imbal Hasil Obligasi AS Masih Bakal Berfluktuasi
Ashmore memperkirakan, dalam beberapa bulan ke depan, imbal hasil obligasi AS akan berfluktuasi seiring suku bunga riil lebih tinggi dan meningkatnya harapan inflasi.
Skenario ini konstruktif untuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global dan harus mendukung mata uang dan imbal hasil obligasi tinggi sebagai bantalan imbal hasil obligasi AS yang lebih tinggi.
Lalu apakah ini menjadi alasan untuk meningkatkan porsi saham?Ashmore melihal hal itu dapat dilakukan. Di tengah obligasi dengan imbal hasil tinggi tetap ada dalam jangka panjang. “Kami menyarankan bersikap defensip pada obligasi dan tetap pegang saham,” dikutip dari laporan Ashmore.