Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI), Saut Marpaung mengecam gencarnya upaya yang sistematis untuk mendiskreditkan satu produk air mineral kemasan galon berbahan PET. Padahal, masih banyak persoalan sampah yang lebih mendesak dan berbahaya untuk diselesaikan.
Menurutnya, isu sampah plastik banyak sekali baik dari jenisnya maupun jumlahnya yang justru lebih bermasalah seperti popok sekali pakai, puntung rokok, sampah medis masker sekali pakai serta kemasan yang ukurannya kecil-kecil tidak bernilai ekonomis. Untuk itulah, kata Saut, ketika banyak isu plastik yang lebih bermasalah tidak dikupas dan hanya mendiskreditkan kemasan galon yang berbahan PET yang sudah jelas mudah didaur ulang.
Hal ini jelas mengindikasikan adanya maksud terselubung dibaliknya. "Saya menduga ada motif persaingan bisnis di balik gencarnya upaya masif mendiskreditkan produk galon PET," ujar Saut. Menurut Saut, persoalan sampah bukan hanya timbulan plastik, tetapi mengenai tata kelolanya, mulai dari pemilahan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan limbah-limbah berbahaya.
Baca Juga
Advertisement
Pemilahan sampah di hulu harus digencarkan, hingga bagaimana menyiapkan infrastruktur membenahi proses sistem pengangkutan agar sampah terpilah dengan baik hingga masuk industri daur ulang menghasilkan kualitas yang tinggi. Sedangkan khusus untuk sampah plastik, ia mengakui bahwa persoalan disebabkan masih adanya di plastik-plastik yang sulit didaur ulang, yang bernilai rendah hingga yang tidak laku, sehingga menyebabkan tingkat kolektabilitas sampah di Indonesia masih rendah.
"Kalau PET, apalagi ukuran nya besar seperti galon, fleksibel mudah digepengkan saya jamin pasti terserap industri daur ulang," ungkapnya. Terkait dengan efektifitas daur ulang plastik ini, dirinya juga mengecam pihak-pihak yang membelokkan pernyataannya, seolah-olah tingkat daur ulang plastik PET rendah.
Dalam webinar bertema “Kemitraan ideal Pengelolaan Sampah di Indonesia” ia mengatakan bahwa tingkat kolektibilitas sampah plastik masih rendah dijadikan argumentasi untuk mendukung narasi penolakan penggunaan galon PET. "Konteksnya saya berbicara sampah plastik secara keseluruhan. Namun pernyataan saya diplintir seakan-akan memperkuat alasan untuk menolak galon PET sekali pakai ini," tukasnya.
Saut menjelaskan, pernyataanya di webinar tersebut bahwa dari 64 juta ton sampah yang ada di Indonesia, 16% merupakan sampah plastik, dan dari 16% itu hanya 40% yang dapat terdaur ulang. Sementara sebagian besarnya menumpuk dan tercecer di lingkungan karena faktor dari bahan plastiknya yang sulit terdaur ulang dan memang sudah tidak bernilai lagi untuk didaur ulang.
“Selain pernyataan saya diplintir, acara tersebut sebenarnya bertujuan baik untuk mengedukasi masyarakat terkait pengelolaan sampah di Indonesia. Tetapi hampir semua berita yang keluar, digoreng menjadi isu penolakan galon PET. Justru ini yang berbahaya, edukasi konsumen, diskusi-diskusi positif semuanya di pemberitaan jadi dikaburkan hanya untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Inilah yang saya maksud dengan penyesatan publik” tambahnya.
Dikatakan Saut, dirinya tidak mungkin untuk menolak penggunaan kemasan PET, karena material plastik tersebut merupakan komoditas bernilai ekonomi bagi para anggota APSI. Bahkan, ujar Saut, APSI tengah menggagas peran sebagai pengepul untuk melakukan pengumpulan dan pendaurulangan kemasan galon PET bekas ini.
Plastik jenis PET ini, lanjut Saut, paling dicari oleh pemulung, apalagi yang bobotnya besar seperti galon, yang hanya memerlukan 3-4 botol saja sudah mencapai 1 kg dan mudah diremukkan seperti botol. Potensi PET, ujarnya, harusnya dikembangkan sebagai siklus ekonomi bukan malah dibelokkan faktanya.
Ia pun mengajak seluruh pihak untuk bergerak maju ke depan memikirkan bagaimana membangun sistem pengelolaan sampah yang baik, tidak terjebak pada isu-isu praktis yang hanya dilatarbelakangi persaingan bisnis semata.
"Mari gaungkan penerapan ekonomi sirkular mulai dari edukasi pemilahan sampah di masyarakat, pembenahan proses pengangkutan hingga meningkatkan teknologi di pusat daur ulang. Sehingga perlakuan sampah plastik jenis ini selain aksi penyelamatan lingkungan, juga mendorong ekonomi sirkular para pelaku UKM pengolahan sampah," tutur Saut.
Saut menambahkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam Puncak Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2021 mendorong sampah kemasan diperlakukan sebagai bahan baku pendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia dimasa pandemi. “Jika kita semua peduli, mari sukseskan agenda besar pemerintah dalam upaya pengelolaan sampah ini,” tegas Saut.
Kedepannya, APSI juga mengharapkan keseriusan dan komitmen seluruh pihak untuk dapat merealisasikan waste management system yang terstruktur agar dapat mendaur ulang plastik. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab bekas kemasan plastik bukan hanya pada produsen semata, melainkan semua pihak termasuk juga pemerintah, kawasan, dan konsumen.