Menakar Dampak Volatilitas Obligasi AS terhadap Pasar Keuangan RI

Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) telah pengaruhi bursa saham AS. Bagaimana dampaknya ke Indonesia?

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 01 Mar 2021, 18:20 WIB
Layar sekuritas menunjukkan data-data saat kompetisi Trading Challenge 2017 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (7/12). Kompetisi Trading Challenge 2017 ini sebagai sarana untuk menciptakan investor pasar modal berkualitas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Analis memperkirakan kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) masih akan menghantui pergerakan pasar modal termasuk obligasi Indonesia.

Head of Research Panin Sekuritas, Nico Laurens menuturkan, kenaikan tersebut akan berdampak pada ketertarikan terhadap saham yang berkurang dibandingkan dengan obligasi. Di sisi lain, kenaikan ini juga nampaknya memancing kekhawatiean dari investor.

“Investor juga khawatir yang meningkat signifikan, takutnya nanti bunga dinaikkan atau taper tantrum (pengurangan pembelian obligasi),” kata Nico kepada Liputan6.com, Senin (1/3/2021).

Nico menambahkan, kenaikan yield obligasi AS ini juga berpengaruh pada aliran modal asing. Pada periode 22-25 Februari 2021, Bank Indonesia (BI) mencatat dana asing keluar dari Indonesia mencapai Rp37,77 triliun.

Dari jumlah tersebut sebanyak Rp 18,2 triliun dari non residen di pasar keuangan domestik, sisanya Rp19,50 triliun dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Dihubungi secara terpisah, Analis Asia Valbury Futures Lukman Leong mengatakan dampak dari kenaikan yield obligasi AS cenderung negatif. Ini karena hal tersebut memperbesar kemungkinan naiknya biaya pinjaman.

"Saya kira secara keseluruhan semua sektor akan negatif. Mungkin positif bagi eksportir, di mana USD masih akan menguat,” kata Lukman.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Imbas ke IHSG

Sebuah layar tentang tabel saham dipajang saat Festival Pasar Modal Syariah 2016, Jakarta, Kamis (31/3). Pertumbuhan pangsa pasar saham syariah lebih dominan dibandingkan dengan nonsyariah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di sisi lain, sentimen kenaikan yield obligasi AS turut mempengaruhi gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Nico mengatakan, jika yield kembali naik, IHSG akan tertekan.

"Kalau naik lagi akan pressure,” kata Nico. 

Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee menuturkan yield obligasi 10 tahun AS sempat naik melewati level 1,6 persen. Yield tersebut termasuk tertinggi dalam lebih dari satu tahun terakhir.

Akan tetapi, pada perdagangan akhir pekan, yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun terpantau mulai turun. Pada saat berita ini tertulis, yield obligasi 10 tahun AS terpantau berada pada level 1,427 persen. 

"Lonjakan yield tersebut didorong ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan inflasi naik akibat sentimen program vaksinasi COVID-19. Selain itu, potensi pengesahan stimulus fiskal jumbo AS berpotensi mendorong pemulihan ekonomi,” kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (1/3/2021).

Hans menambahkan, stimulus besar AS juga meningkatkan defisit anggaran yang akhirnya mendorong penerbitan obligasi baru dengan yield lebih tinggi.

"Bila yield government bond US masih terus naik, kemungkinan besar pasar saham dunia masih akan terus terkoreksi,” kata Hans.

Pada situasi ini, Head Of Research Reliance Sekuritas Indonesia, Lanjar Nafi menyarankan investor agar memperhatikan manajemen risiko pada investasi jangka pendek hingga menengah. 

"Tetap perhatikan manajemen risiko bagi investasi jangka pendek hingga menengah,” kata dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya