Liputan6.com, Jakarta - Malam semakin larut, mungkin sebagian orang mungkin sedang tertidur lelap di rumah. Tetapi tidak bagi perawat dan dokter di ruang ICU yang masih berjibaku membantu pasien Covid-19 tengah berjuang antara hidup dan mati.
Dengan memakai alat pelindung diri (APD) yang lengkap, mereka melakukan berbagai upaya agar pasien Covid-19 bisa selamat.
Advertisement
Perasaan bercampur aduk malam itu. Napas pasien terus menipis. Selang oksigen sudah dimasukkan ke dalam mulut. Para perawat dan dokter berdoa, berharap masa kritis bisa dilalui sang pasien.
Jantung terus berdebar. Semua petugas menunggu keajaiban. Selang beberapa waktu, pasien Covid-19 itu berhasil melewati masa kritis. Kondisinya berangsur tenang.
Bukan berarti semua telah selesai. Namun mereka tetap bersyukur. Doa dan harapan para tim tenaga kesehatan (nakes) malam itu dikabulkan Tuhan. Mereka diberi kesempatan untuk menyelamatkan satu nyawa dari ganasnya virus Corona Covid-19.
"Suasana di dalam ruang ICU teringat terus di otak saya walau sedang libur panjang sekali pun," ujar Maftukhin, seorang perawat RSUD Dr. R. Koesma, Tuban, Jawa Timur, bercerita kepada merdeka.com.
Semenjak Covid-19 melanda Indonesia sejak 2 Maret 2020, setiap hari selalu bertambah angka kasus positif. Mulai dari puluhan kasus, lalu menjadi sejuta kasus.
Sebagian pasien Covid-19 mengalami kondisi berat dan kritis. Para pasien dalam kondisi ini tentunya harus segera mendapat pertolongan khusus.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Nakes Pejuang Ruang ICU
Tingginya angka pasien positif Covid-19 di Indonesia tentu menjadi masalah tersendiri. Bahkan, kebutuhan atas ruang ICU juga semakin penuh.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) bahkan mengungkapkan, ketersediaan tempat tidur khususnya ruang ICU rumah sakit di Pulau Jawa masih penuh merawat pasien positif Covid-19.
Ketersediaan ruang ICU untuk pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga kritis di beberapa rumah sakit di Jawa masih di atas 60 persen per Februari 2021 ini. Walaupun, harus diakui jumlah pasien positif jumlahnya telah menurun tiap harinya.
Sudah hampir setahun pandemi ini menghantui, rasa takut itu belum juga hilang. Sebagai garda terdepan pejuang Covid-19, para nakes ini menjadi kelompok paling rentan tertular.
Sulit sekali rasanya untuk menghindar. Mereka hanya bisa menjaga dan tidak menularkan kepada orang lain maupun keluarga.
Sudah banyak para perawat di tempat Maftukhin kerja tertular. Bukan hanya perawat, ada juga petugas administrasi rumah sakit juga tertular. Hal ini tentu diharapkan tidak terjadi lagi di kemudian hari. Para pekerja di rumah sakit kini tentu semakin lebih waspada.
Para petugas ICU memang harus benar-benar dalam keadaan fit. Mereka tidak boleh dalam keadaan drop. Bila ada keluhan sakit meski ringan, itu harus segera dilaporkan ke koordinator, kemudian diminta diganti agar perawat tersebut tidak mudah tertular.
Beruntung Maftukhin tidak pernah tertular Covid-19 selama bertugas. Tiap hasil tes usap selalu menunjukkan hasil negatif.
Meski begitu, perasaan gugup memang masih selalu menggelayuti. Maftukhin masih menemukan ada beberapa teman sejawatnya pingsan sebelum masuk ruang ICU.
Kondisi ini bukan untuk ditertawakan. Tentu menjadi gambaran bahwa nakes juga manusia. Mereka tak luput dari rasa takut.
"Pada Desember itu masih ada yang suka pingsan. Takut. Mereka pingsan sebelum masuk ruang ICU. Jadi malah perawatnya masuk UGD (unit gawat darurat)," kata Maftukhin mengenang kejadian itu.
Bekerja di ruang ICU memang rumit. Para nakes tidak bisa sembarangan. Ada banyak tahapan harus dilalui apalagi ketika menangani pasien kritis yang semua harus dikerjakan cepat tanggap dan tepat tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Kerja sama antara dokter dan perawat menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Advertisement
Covid-19 Ajarkan Kesabaran
Hari-hari Dokter Erni Juwita Nelwan seperti tak kenal libur. Pandemi Covid-19 ini telah memberikan banyak pelajaran penting, terutama bagi dirinya.
Setiap hari Erni bersama para koleganya harus selalu siap lahir dan batin sebelum bertemu dengan pasien.
Menjalani profesi dokter spesialis penyakit dalam, tentu sangat rentan bagi dirinya. Semua harus dipersiapkan baik-baik agar terhindar penularan. Sebab, tidak ada yang tahu kapan virus tersebut merasuk ke dalam badan.
Kondisi itu pun membuat Dokter Erni dan rekan seprofesinya diharuskan siap lahir batin menjalani pekerjaan.
"Setiap hari kita bekerja harus diawali bismillah. Menyiapkan segala upaya agar tidak tertular," ungkap Dokter Erni kepada merdeka.com.
Lelah mungkin yang dirasakan Dokter Erni selama bertugas di masa pandemi. Namun, jalan berisiko ini sudah menjadi pilihan. Dia selalu mengingatkan dirinya agar tidak mudah menyerah.
Covid-19 bukan satu-satunya penyakit ditakutkan. Kalau pun itu hilang, masih banyak virus lain mengancam keselamatan para tenaga kesehatan. Salah satunya penyakit tuberkulosis (TBC) yang sampai kini terus menghantui.
"Ini adalah profesi saya, semua yang bekerja di bidang kesehatan melihat ini sebagai satu tantangan," ujar dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini.
Catatan IDI
Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat jumlah tenaga kesehatan yang meninggal dunia akibat Covid-19 selama pandemi di Indonesia. Sejak 2 Maret 2020 hingga 27 Januari 2021, sebanyak 647 tenaga kesehatan meninggal dunia.
Dari 647 tenaga kesehatan meninggal dunia, 289 di antaranya merupakan dokter. Sementara itu, 27 orang merupakan dokter gigi, 221 perawat, 84 bidan, 11 apoteker dan 15 tenaga laboratorium medik.
Ada pun, para dokter yang wafat tersebut terdiri dari 161 dokter umum, 123 dokter spesialis, serta 5 residen.
IDI bahkan menyebut kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia dan tiga besar di seluruh dunia. Angka itu dilihat berdasarkan perbandingan statistik testing Covid-19 dan populasi.
Melihat kondisi ini, Kementerian Kesehatan segera mengambil langkah. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut tingginya kasus positif Covid-19 tidak berbanding lurus dengan jumlah tenaga kesehatan. Indonesia semakin kekurangan tenaga kesehatan.
Ada pun solusi diberikan, yakni merelaksasi beberapa aturan yang mengizinkan agar tiap perawat yang belum memiliki surat tanda registrasi (STR) resmi, boleh langsung masuk bekerja. Sejauh ini ada sekitar 10.000 orang calon perawat.
Hal serupa rencananya juga diterapkan kepada dokter. Tim IDI dan Tim Kemenkes kini sedang mengkaji. Mereka sejauh ini melihat ada sekitar 4000 dokter belum memiliki STR bisa diperbantukan.
Budi berharap, solusi ini dapat diterima dan direalisasi. Namun, sebelum itu diberlakukan dia berharap angka penyebaran Covid-19 bisa ditekan.
Advertisement
Harus Bangkit dan Semangat
Sejak diumumkannya dua kasus pertama pada 2 Maret 2020, semua sisi kehidupan masyarakat bergerak semakin menjauhi normal.
Setiap harinya deretan data pertambahan kasus dan daftar pasien Covid-19 meninggal kian bertambah. Tapi bukannya tanpa harapan, sebab ada juga berhasil bangkit dari sakit.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menyoroti beragam kebijakan sepanjang masa pandemi di Indonesia. Hasilnya, ada banyak kebijakan lahir. Namun, sayangnya peningkatan kasus masih terus terjadi.
Terkait hal ini, dia menyebutkan, adanya inkonsistensi kebijakan pemerintah sejak awal ketika merespon pandemi.
Jika diurut, kata dia, hal pertama dalam penanganan pandemi yakni pencegahan, penemuan kasus, dan respon yang diambil untuk mencegah dan mengatasi penyebaran Covid-19.
"Kita sudah dengan PSBB digoda-goda dengan 'New normal', dengan 'kebiasaan baru', lalu 'berdamai dengan Covid', 'enggak boleh mudik, tapi boleh pulang kampung'. Bikin pusing semua," ujar Ede kepada merdeka.com.
Alasan lain yang dapat menjadi penyebab naiknya kasus Covid-19, lanjut dia, berkaitan dengan penemuan kasus.
Pada awal pandemi laboratorium yang tersedia masih minim. Seiring dengan berjalannya waktu, kekurangan ini terus diperbaiki.
Pemerintah memang harus terus memperhatikan aspek ketersediaan laboratorium di seluruh wilayah Indonesia dan jangan sampai laboratorium hanya terpusat di satu wilayah saja.
Dengan demikian, kata Ede, proses penemuan kasus baru dapat lebih mudah dan lebih cepat. Sehingga, penemuan kasus lebih awal dan segera cepat memutus rantai penularan.
"Kita tidak bisa menahan laju kasus di pencegahan dan di penemuan kasus. Dan logikanya harus memperkuat masyarakat karena garda terdepan ada di masyarakat. Pelayanan rumah sakit itu benteng terakhir," tegas dia.
Kita Lelah, Tapi Secercah Cahaya Muncul
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo melihat bahwa masyarakat sudah lelah menghadapi pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia selama satu tahun ini.
Mulai dari kehilangan anggota keluarga, pekerjaan, dan harus mampu beradaptasi dengan tiap kebiasaan baru. Ditambah lagi rentetan bencana alam yang juga menimbulkan korban jiwa.
Sebenarnya kelelahan itu wajar. Manusia bukan robot. Namun, jika seluruh warga negara lelah, maka pandemi tak akan pernah berakhir.
Untuk itu, menurut Windhu, tidak boleh ada kata lelah dan menyerah dari akademisi, pemerintah hingga para nakes menghadapi situasi ini.
"Masyarakat boleh lelah, tapi kita tidak boleh lelah, kita harus membangkitkan semangat mereka, supaya tidak lelah," kata Windhu mengungkapkan kepada merdeka.com.
Hadirnya vaksin Covid-19 mungkin menjadi semangat di tengah ketakutan. Pemerintah memang menargetkan para nakes menjadi prioritas penerima.
Vaksinasi Covid-19 kini memang sedang berlangsung. Data per 25 Februari 2021 mencatat sudah 100 persen nakes mendapat vaksinasi dosis pertama.
Itu artinya, sudah 1,4 juta lebih nakes mendapatkan vaksinasi Covid-19. Sebagian kini menunggu untuk vaksinasi dosis kedua. Ditargetkan 181.554.465 jiwa di Indonesia akan mendapatkan vaksin.
Walau vaksinasi sedang berlangsung, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebut bahwa ini bukan satu-satunya jalan mengakhiri pandemi Covid-19. Masyarakat tetap diminta untuk patuh terhadap protokol kesehatan.
"Vaksin bukan lah alasan untuk berhenti untuk menjalankan protokol kesehatan," ujar Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito.
Reporter : Rifa Yusya Adilah, Bachtiarudin Alam, Wilfridus Setu Embu, Henny Rachma Sari
Sumber : Merdeka
Advertisement