Liputan6.com, Jakarta - Aung San Suu Kyi telah menghabiskan hampir 15 tahun hidupnya dalam tahanan rumah antara 1989 dan 2010. Setelah 10 tahun bebas, Suu Kyi kini kembali ke tahanan setelah pemerintahannya dikudeta Jenderal militer Min Aung Hlaing.
Suu Kyi merupakan putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung San. Ayahnya dibunuh ketika Suu Kyi baru berusia dua tahun, tepat sebelum Myanmar memperoleh kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1948.
Advertisement
Pada 1960, seperti dikutip dari BBC, Suu Kyi pergi ke India bersama ibunya, Daw Khin Kyi yang ditunjuk sebagai duta besar Myanmar di Delhi. Empat tahun kemudian dia pergi ke Universitas Oxford di Inggris untuk belajar filsafat, politik, dan ekonomi.
Di Inggris, Suu Kyi bertemu dengan pria yang jadi suaminya, seorang akademisi, Michael Aris. Setelah tinggal dan bekerja di Jepang dan Bhutan, dia menetap di Inggris untuk membesarkan kedua anak mereka, Alexander dan Kim, tetapi Myanmar tidak pernah jauh dari pikirannya.
Ketika Suu Kyi tiba kembali ke Rangoon (sekarang Yangon) pada 1988 untuk merawat ibunya yang sakit kritis, Myanmar berada di tengah pergolakan politik besar. Ribuan pelajar, pekerja kantoran dan biksu turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi. "Saya tidak bisa, sebagai putri ayah saya, tidak peduli dengan semua yang terjadi," katanya dalam pidato di Rangoon pada 26 Agustus 1988.
Wanita dengan julukan "The Lady" yang sering memakai bunga di rambutnya ini kemudian memimpin pemberontakan melawan diktator kala itu, Jenderal Ne Win. Sikap kerasnya melawan junta militer pun mengubahnya menjadi simbol perlawanan damai melawan penindas. Perlawanan Suu Kyi akhirnya diganjar Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991.
Pada November 2015, dia memimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan meraih kemenangan telak dalam pemilihan umum pertama Myanmar yang diperebutkan secara terbuka selama 25 tahun. Meski konstitusi Myanmar melarangnya menjadi presiden karena memiliki anak yang merupakan warga negara asing, Suu Kyi secara luas tetap dipandang sebagai pemimpin de facto. Gelar resminya adalah penasihat negara, dan Presiden Win Myint adalah ajudan dekatnya.
Selama memerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi malah menuai banyak kritik karena pertaruhan politik yang dibuatnya. Antara lain menunjukkan rasa hormat kepada militer sambil mengabaikan dan terkadang bahkan membela kekejaman tentara, terutama tindakan kekerasan pada 2017 terhadap Muslim Rohingya yang disebut Amerika Serikat dan negara lainnya sebagai aksi genosida.
Adalah Min Aung Hlaing, sosok jenderal militer yang berada di balik tragedi Rohingya 2017 itu. Kontroversi menaungi Sang Jenderal ketika operasi militer di negara bagian Rakhine itu memaksa lebih dari 730.000 warga etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Penyidik PBB mencatat perang yang dilancarkan Min Aung melibatkan pembantaian, pemerkosaan massal dan aksi pembakaran yang dieksekusi "dengan niatan genosida," seperti dilansir DW.
Jenderal Min Aung Hlaing seharusnya sudah pensiun pada Juli 2020 saat menginjak usia 65 tahun. Tapi bukannya menikmati masa tua, sang panglima malah melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil dan merebut kekuasaan mutlak di Myanmar.
Dia menuduh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang meraup 83% suara telah mencurangi daftar pemilih. Sebab itu Min Aung merasa harus merebut kekuasaan demi mereformasi komisi pemilihan umum, dan berjanji menyelenggarakan pemilu satu tahun dari sekarang.
Geliat militer Myanmar atau Tatmadaw sudah pernah tercium tim investigasi New York Times, 2017 lalu. Menurut laporan tersebut Min Aung memang berniat menjalankan kekuasaan tunggal tanpa keterlibatan pemimpin sipil. "Rencana dia adalah menjadi presiden pada 2020," kata U Win Htein, seorang penasihat Aung San Suu Kyi, kepada harian AS tersebut.
Namun pemilu pada November 2020 lalu mengaburkan rencana para jenderal. NLD yang dipimpin Suu Kyi menyapu kursi mayoritas di parlemen, sementara partai bentukan militer, Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP), harus menangguk malu usai hanya mengamankan 33 dari 476 kursi di badan legislatif.
Pada Senin 1 Februari, saat sesi pertama parlemen akan dimulai, militer melancarkan kudeta dengan menyatakan pihaknya menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing karena "kecurangan pemilu". TV militer mengatakan keadaan darurat telah diumumkan selama satu tahun dan kekuasaan dialihkan.
Aung San Suu Kyi tidak diam dan mendesak para pendukungnya "untuk tidak menerima ini" dan "memprotes kudeta". Sejak itu, gelombang demonstrasi sipil menolak kudeta militer pun berlangsung setiap hari hingga tulisan ini dibuat, tepat 1 bulan junta menguasai Myanmar.