Indonesia Butuh Investasi Industri Tembakau Berbasis Riset dan Inovasi

Kontribusi cukai yang terus tumbuh signifikan ternyata tak sebanding dengan insentif terhadap inovasi produk turunan tembakau.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Mar 2021, 22:01 WIB
Ilustrasi Tembakau (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah mengerek cukai tembakau dan produk turunannya terus jadi sorotan. Sebab, kontribusi cukai yang terus tumbuh signifikan ternyata tak sebanding dengan insentif terhadap inovasi produk turunan tembakau.

Berlaku efektif pada 2019, industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) telah berhasil menyumbang penerimaan cukai senilai Rp426,6 miliar. Sementara tahun lalu, dalam kondisi pandemi, kontribusinya tumbuh sampai 60 persen menjadi Rp680,3 miliar.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya menyerukan pentingnya solusi alternatif terhadap produk-produk tembakau yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. Apalagi dalam situasi pandemi kini, industri HPTL juga masih tumbuh signifikan.

“Harus fair menilai rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya. Makanya perlu ada insentif inovasi bagi industri olahan tembakau untuk pengembangan produk agar dapat diterima publik,” ungkap Willy, seperti dikutip Selasa (2/3/2021).

Rantai pasok industri HPTL yang cukup kompleks disebut Willy juga bisa jadi peluang buat masuknya investasi lebih banyak. Dengan kompleksitasnya, insentif ke industri HPTL juga secara simultan bakal mendorong industri lain, semisal industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.

Ia menambahkan, Undang-Undang Cipta Kerja yang dihasilkan DPR bersama pemerintah bisa jadi sarana mendorong investasi di sektor industri ini. Sekarang giliran pemerintah untuk memanfaatkan beleid tersebut sekaligus regulasi turunannya untuk menciptakan iklim investasi yang sederhana, mudah dan cepat, dan berperan aktif dalam menarik investor masuk ke tanah air.

“Industri tembakau harus dilihat dengan lebih terbuka, kita harus jujur dan adil menilai realitas, termasuk dalam hal produk hasil tembakau ini. Karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat,” sambungnya.

Di sisi lain, Willy juga mengimbau agar pabrikan rokok, terutama yang besar dan memiliki sumber daya, untuk berinvestasi di industri HPTL. Pasalnya, selain berkontribusi pada penerimaan negara, produk HPTL pun memiliki dampak eksternalitas yang lebih rendah.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Solusi Alternatif

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Peneliti Indef Bhima Yudhistira pun sepakat, industri HPTL memang bisa jadi solusi alternatif mendorong investasi, apalagi tahun ini pemerintah punya target yang cukup ambisius untuk merealisasikan investasi Rp 900 triliun.

“HPTL ini merupakan produk inovasi dengan risiko kesehatan yang lebih rendah, tidak heran jika pelaku usaha mau berinvestasi dan menyerap tenaga kerja karena peluangnya besar,” kata Bhima

Oleh karena itu, lanjut dia, untuk lebih mendorong perkembangan industri ini dan banyak yang melakukan investasi, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal. Misalnya melalui kebijakan tarif cukai yang lebih rendah yang sesuai dengan risiko produknya.

“Penyesuaian tarif cukai untuk HPTL saja akan sangat signifikan meningkatkan investasi di produk inovatif. Pemerintah sebaiknya memang membuka ruang diskusi lebih lanjut dengan pelaku usaha atau investor untuk merumuskan insentif apa yang cocok diberikan,” sambungnya.

Saat ini produk-produk HPTL dikenakan sistem tarif cukai persentase (ad valorem) sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE). Sistem ini berbeda dengan yang diberlakukan atas produk rokok konvensional yang menggunakan sistem tarif cukai spesifik yang lebih sederhana.

Skema ad valorem sejatinya dirasa memberatkan para pelaku industri HPTL. Terlebih, besaran tarif 57 persen itu merupakan yang tertinggi dalam Undang-Undang Cukai dan lebih tinggi dari rerata persentase tarif cukai untuk rokok konvensional.

Padahal, produk-produk HPTL dan rokok elektrik memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Ini sudah dibuktikan oleh penelitian Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2015 dan 2018, serta diperbaharui pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.

Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar I Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Putu Eko Prasetio pun mengaku saat ini pihaknya memang tengah mengkaji untuk mengubah sistem tarif cukai HPTL menjadi spesifik.

“Sudah menjadi perhatian utama kami untuk menyamakan dengan tarif pada rokok konvensional yang spesifik. Ada wacana ke sana memang untuk mengubah bentuk tarif menjadi spesifik,” jelasnya dalam dalam webinar Universitas Trisakti terkait HPTL, pekan lalu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya