Liputan6.com, Jakarta Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyatakan pemasukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang berasal dari usaha sarang burung walet bersifat subjektif dan spekulatif.
Jaksa KPK Takdir Suhan mengatakan, Nurhadi tak mampu mengajukan bukti-bukti konkrit soal penghasilan dari pengelolaan rumah sarang burung walet tersebut sejak 1981 - 2016.
Advertisement
"Sehingga besaran perolehan Nurhadi atas pengelolaan rumah sarang burung walet nyata sangat subjektif dan spekulatif," kata JPU KPK Takdir Suhan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa, 2 Maret 2021 malam.
Dalam persidangan Nurhadi menyebutkan sejak 1981 mempunyai penghasilan tambahan dari usaha sarang burung walet yang ia beli dari mertuanya yaitu ibu dari Tin Zuraida.
Menurut keterangan Nurhadi, pada awalnya ia mempunyai 10 lokasi sarang burung walet yaitu di Tulung Agung sejak 1981 yang dibeli dari mertua, di Sambi Kediri sejak 1994/1995, di Mojokerto (2 lokasi), di Malang Tumpang, di Batu, di Pace Nganjuk, Lamongan dan Karawang. Namun sampai saat ini yang masih dikelola oleh Nurhadi tinggal 4 lokasi yaitu di Tulung Agung, Mojokerto (2 lokasi) dan Samabi (Kediri).
"Dari usaha sarang burung walet tersebut terdakwa I memperoleh perdapatan yang besar namun patut disayangkan keterangan terdakwa I mengenai penghasilannya ini tidak didukung dengan bukti yang cukup," tambah jaksa.
Apalagi menurut jaksa KPK, Nurhadi tidak mengajukan bukti catatan penjualan yang dilakukan oleh ibu dari Tin Zuraida atau saksi-saksi yang dulunya membeli sarang burung walet tersebut.
Di persidangan Nurhadi telah menampilkan video rumah sarang burung walet di beberapa lokasi namun tidak dapat membuktikan bahwa lokasi-lokasi itu benar-benar adalah lokasi miliknya.
"Lebih lanjut bila benar perolehan terdakwa I Nurhadi atas pengelolaan rumah sarang burung walet sangat fantastis maka tidak diperlukan oleh terdakwa I Nurhadi untuk meminjam sejumlah dana kepada pihak lain antara lain adalah kepada bank maupun ke haji Sudirman sebesar Rp 17,5 miliar dengan jaminan sertifikat SHM No 77 tahun 1997 dan malah sampai dengan saat ini pinjaman tersebut belum dilunasi," ungkap jaksa seperti dikutip dari Antara .
Selain itu bukti pelaporan LHKPN pada 2012 atas nama Nurhadi diketahui pada 2012 dilaporkan adanya pendapatan lain-lain di luar gaji hanya sebesar Rp 600 juta per tahun.
"Jumlah tersebut tidak bersesuaian atau jauh di bawah jumlah perolehan atas pengelolaan rumah sarang burung walet versi terdakwa I Nurhadi saat memberikan keterangan di muka persidangan," kata jaksa.
Selain jumlah perolehan pengelolaan rumah sarang burung walet bersifat subjektif dan spekulatif karena tidak didukung bukti yang cukup, gaya hidup mewah Nurhadi dan keluarganya sangat patut untuk diperhatikan karena nyata akan berdampak pada berkurangnya kemampuan finansial Nurhadi.
Nurhadi, menurut jaksa KPK, selama diangkat sebagai Sekretari MA sejak 2 Desember 2011 sampai 28 Juli 2016 mendapat gaji Rp 50 juta - 60 juta per bulan, sedangkan istrinya yaitu Tin Zuraida mendapat gaji sebesar Rp 25 juta - 30 juta per bulan.
Dalam perkara ini eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dituntut 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan sedangkan menantunya Rezky Herbiyono dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Terima suap Rp 45,726 miliar
Dalam surat tuntutan keduanya disebut menerima suap sejumlah Rp 45,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait pengurusan dua gugatan hukum serta menerima gratifikasi dari sejumlah pihak sebesar Rp 37,287 miliar.
Nurhadi dan Rezky juga dituntut untuk membayar uang pengganti senilai total Rp 83,013 miliar yang bila tidak dibayarkan setelah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap maka keduanya harus menjalani hukuman pidana selama 2 tahun penjara.
Dalam dakwaan pertama, JPU KPK menilai Nurhadi dan Rizki terbukti menerima uang Rp 45,726 miliar dari Hiendra Soenjoto terkait pengurusan dua gugatan.
Gugatan pertama adalah perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kav C3-4.3, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Gugatan kedua adalah gugatatan Hiendra Soenjto melawan Azhar Umar. Azhar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Hiendra Soenjoto di PN Jakarta Pusat (Jakpus) pada 5 Januari 2015 tentang akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT dan perubahan komisaris PT MIT yang didaftarkan pada 13 Februari 2015.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Nurhadi bersama-sama dengan Rezky juga dinilai terbukti menerima gratifikasi sejumlah Rp 37,287 miliar dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
Pemberian tersebut berasal dari pertama, Handoko Sutjitro senilai Rp 2,4 miliar; dari Renny Susetyo Wardhani sejumlah Rp 2,7 miliar; dari Direktur PT Multi Bangun Sarana Donny Gunawan senilai Rp8 miliar; dari Freddy Setiawan sejumlah Rp 20,5 miliar serta dari Riadi Waluyo sebesar Rp 1,687 miliar.
Terhadap tuntutan tersebut Nurhadi dan Rezky akan mengajukan pleidoi (pembelaan) pada 5 Maret 2021.
Advertisement