Proses Universal Newborn Hearing Screening untuk Deteksi Dini Tuli Bawaan, Apa Itu?

Melakukan deteksi dini pada anak yang lahir dengan Tuli bawaan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Indonesia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Mar 2021, 12:00 WIB
Ilustrasi Tuli Foto oleh Ksenia Chernaya dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Melakukan deteksi dini pada anak yang lahir dengan Tuli bawaan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.

Seperti disampaikan Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, Sp. THT-KL(K) dari Perhimpunan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL), Indonesia masih belum bisa melakukan Universal Newborn Hearing Screening. Padahal berbagai negara berkembang lain sudah bisa melakukannya.

“Artinya, semua bayi lahir di manapun dia berada harus kita lakukan deteksi dini. Ini bisa dilakukan dengan alat-alat yang tradisional tapi kalau di luar negeri sudah menggunakan alat yang disebut otoacoustic emission,” ujar Jenny dalam seminar daring, Selasa (2/3/2021) lalu.

Alat yang juga disebut OAE itu berfungsi untuk mendeteksi gangguan yang terjadi di koklea atau rumah siput telinga yang nantinya akan menjadi gangguan pendengaran yang disebut tuli kongenital.

Lebih lanjut, Jenny mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan sudah membuat algoritma pemeriksaanya. Yakni, pada bayi yang baru lahir akan dilakukan deteksi, jika emisi akustiknya tidak menjawab maka akan diulang satu bulan.

Jika masih tidak terdeteksi, maka pemeriksaan diulang hingga total tiga bulan. Jika masih tidak terdeteksi, maka sebelum 6 bulan harus dilakukan habilitasi yang juga disebut early hearing detection and intervention.

“Nah, kita punya PR, kita belum bisa melakukan universal newborn hearing screening karena keterbatasan SDM dan alat.”

 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Simak Video Berikut Ini


Pengembangan Tenaga Audiologi

Dalam upaya menangani masalah ini, Kementerian Kesehatan telah mendukung pengembangan tenaga-tenaga audiologi.

“Kita baru punya satu sekolahan untuk tenaga madya audiologi dan kita sudah akan tingkatkan dari D3 menjadi D4, tapi lulusannya baru kurang dari 200. Padahal, dokter THT ada 1.700 di seluruh Indonesia,” kata Jenny.

Walaupun dari segi sumber daya manusia para tenaga audiologi sudah diakui sebagai tenaga kesehatan, tapi belum banyak karena sekolahnya juga masih sedikit, tambahnya.

“Nanti ke depannya mudah-mudahan Kementerian Kesehatan akan membuka sekolah-sekolah untuk audiologi ini,” tutupnya.

 


Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya